Sebagai sebuah film, Siksa Neraka (2023) punya berbagai syarat untuk bisa memanjakan mata: visualnya yang oke, CGI-nya mumpuni, serta gambaran siksaan yang pedih dan terlihat nyata. Sadis!
Namun, ada banyak lubang di kanan, kiri, atas, bawah, bahkan tengah, yang bisa kita isi dengan aneka kritikan pedas. Jadi, Siksa Neraka hanya cocok jadi tontonan buat kalian yang sedang malas jadi kritikus film, alias emang lagi gabut aja.
Ceritanya, pada Jumat (15/12/2023) malam saya membuladkan tekad buat nonton Siksa Neraka. Malam itu merupakan hari kedua penayangan dari film adaptasi dari komik religi kondang karya MB Rahimsyah berjudul serupa ini.
Perlu jadi catatan, sebagai pembaca setia komik yang menciptakan trauma bagi anak-anak itu (setidaknya bagi saya saat kecil), saya cukup antusias menyambut penayangannya. Apalagi, saya adalah pecinta film horor subgenre slasher. Maka, gambaran orang-orang yang disetrika, dibelah badannya menjadi dua, atau digorok kepalanya, bakal menjadi wahana rumah hantu yang siap saya nikmati malam itu.
Sutradara film ini adalah Anggi Umbara. Ya, salah satu sineas paling produktif tahun ini, khususnya ihwal bikin film horor–khususnya lagi menyoal horor religi. Bagi yang mengikuti film-film horornya sepanjang 2023, paham kan bagaimana garingnya nonton film-film Anggy Umbara?
Alhasil, saya pun terpaksa harus menurunkan ekspektasi. Persetan dengan alur cerita, intinya saya hanya mau nostalgia. Kursi bernomor E14 ini sangat strategis untuk menyaksikan wahana penyiksaan sepanjang satu setengah jam durasi film.
Siksa Neraka klise seperti halnya film-film religi
Siksa Neraka mengikuti kisah empat kakak beradik, yakni Saleh (Rizky Fachrel), Fajar (Kiesha Alvaro), Tyas (Ratu Sofya), dan Azizah (Nayla Purnama). Mereka tumbuh di lingkungan keluarga agamis, sebab bapak mereka (Ariyo Wahab) merupakan ustaz kondang di kampungnya.
Sejak kecil, sebagaimana ajaran agama pada umumnya, dogma indahnya surga dan pedihnya neraka tumbuh bersama mereka. Apalagi, semasa kecil Tyas pernah “menyaksikan secara neraka secara langsung”. Ya, melalui semacam indera keenam atau kemampuan vision tertentu(?).
Saat tumbuh besar, dogma tadi terus menempel di kepala mereka. Namun, selayaknya manusia, mereka tumbuh dengan cara dan jalannya masing-masing. Ada rahasia yang mereka sembunyikan dari anggota keluarganya yang lain.
Pada suatu malam, sebuah tragedi terjadi. Ketika tengah menyeberangi sungai, keempat anak ini terseret arus. Tiga di antaranya meninggal dunia. Mulai dari sini, gambaran neraka mulai bermunculan.
Siksaan-siksaan yang sudah saya tunggu sejak awal akhirnya bergulir juga. Sambil sesekali flashback ke rahasia dan dosa dunia yang pernah mereka lakukan, penonton disajikan visual yang mumpuni tentang gambaran neraka.
Api di mana-mana. Orang-orang berjubah juga silih berganti menyiksa orang-orang sesuai dengan dosa mereka di dunia. Ada yang dosa syirik, tukang fitnah, tukang judi, dan ahli zina. Masing-masing siksaan sesuai dengan dosa mereka. Mantap!
Meski studio yang saya tempati cukup sepi, teriakan-teriakan kecil yang berasal dari rasa takut masih bisa saya dengar. Terutama empat perempuan di depan saya yang sejak visual siksaan muncul, mereka mungkin sudah merasa tak nyaman. Sesekali ada yang teriak. Tapi sesekali juga ada yang mengabadikannya di kamera. Brengsek sekali.
Siksaan yang bikin penonton trauma
Agustina (19) adalah perempuan yang tadi duduk di barisan kursi depan saya. Ia bukan pembaca komik Siksa Neraka, bukan juga fanboy-fangirl Anggy Umbara, dan tak pernah kritis akan sebuah film laiknya seorang sinefil.
Gampangnya, ia nonton film memang karena cuma mau nonton aja. Kehadirannya bersama teman-temannya tadi pun, kata dia, “full karena kepo”. Sebab film Siksa Neraka memang cukup banyak dibicarakan di kalangan teman-teman kuliahnya.
“Karena lagi hype aja, jadi aku sama teman-temanku nonton,” katanya kepada saya selepas nonton Siksa Neraka. Artinya, Agustina memang tak bermaksud bernostalgia, merayakan sinema, ataupun mengkritisi aspek teknis dan estetis dari film tadi.
Sebagai penonton “awam”, baginya Siksa Neraka cukup bisa dinikmati. Terlebih bagi penonton-penonton yang menggemari film bertema gore atau menampakkan banyak adegan sadis. Jujur, Agustina mengaku cukup ngeri dengan adegan siksaan di neraka yang cukup tablang dan telanjang.
“Kalau enggak kuat bisa trauma kali ya. Aku yang enggak terlalu suka film-film sadis masih suka kepikiran sama adegan-adegan tadi,” ujarnya.
Senada dengan Agustina, Ahmad Arie (25) yang menyaksikan Siksa Neraka di hari pertama penayangan pada Kamis (14/12/2023) mengalami perasaan yang sama. Perasaan ngeri, ngilu, bahkan jijik ia rasakan tatkala film mulai memasuki babak penyiksaan.
Bahkan, bagi Arie yang sudah menyaksikan banyak film horor Indonesia sepanjang 2023, ia berani mengklaim kalau Siksa Neraka jadi yang paling sadis tahun ini.
“Level sadisnya udah sama dengan Saw kalau bagiku. Bedanya ini religi aja.”
Kolumnis majalah New York, David Edelstein, pada 2006 lalu menciptakan sebuah istilah bernama “torture-porn“. Secara mudah, istilah itu dapat berarti sebagai adegan ultra-kekerasan dalam sebuah film dengan menggambarkan penyiksaan yang berkelanjutan. Pengamat komik dari Koalisi Seni Indonesia, Hikmat Darmawan, bahkan juga me-mention istilah ini untuk mendeskripsikan betapa sadisnya komik Siksa Neraka yang beredar sepanjang 1990-an.
Sinetron yang bernuansa torture-porn
Bagi saya, yang memang menyukai film bersubgenre ini, aura torture-porn begitu saya rasakan. Sebagaimana pengalaman Agustina dan Arie, perasaan tidak nyaman tatkala melihat Saleh, Fajar, dan Azizah disiksa, beberapa kali bikin saya menahan nafas.
Misalnya saja, spoiler alert!: ada kengiluan di punggung saya tatkala melihat Fajar disetrika, mata mendadak tak nyaman saat menyaksikan tokoh lain ditusuk matanya. Bahkan, saya juga beberapa kali misuh saat menyaksikan adegan Saleh menenggak darah dan nanah–ini adegan ikonik dalam versi komik.
Namun, seperti halnya torture-porn di film-film lain, ia hanya efektif dalam menampilkan kengerian tapi lupa bagaimana caranya bercerita. Bagi saya, Siksa Neraka tak ubahnya sinetron Azab yang tayang tiap hari di Indosiar. Ia hanya ingin menggurui: mana yang benar dan mana yang salah, mana yang hitam dan mana yang putih; jika benar kamu selamat, saat salah maka kamu bakal dapat siksaan. Klise ala-ala dogma.
Pertanyaan pun beberapa kali juga terlintas, “kalau ‘dosa kecil’ saja hukumannya sedemikian pedih, bagaimana yang ‘dosa besar’?” atau “bukan ‘kah semua orang pasti punya dosa, berarti bakal disiksa begitu juga dong?”, dan sebagainya. Pertanyaan ini tak terjawab sepanjang film. Seolah Anggy Umbara hanya ingin menyampaikan, “ya kalau salah, neraka tempatnya!”.
Sampai di titik itu, saya rasanya ingin mendesak Anggy Umbara buat bikin versi lain, di mana yang disiksa itu pejabat-pejabat korup, setan-setan tanah, atau politisi-politisi yang gila jabatan–dan bukan hanya anak remaja yang suka bercinta bareng pacarnya seperti tokoh Fajar. Toh, tingkat destruktif dosa-dosa mereka bagi masyarakat lebih besar ‘kan?
Sayangnya, kegeraman itu saya tahan saja. Bagaimana pun memang film ini arahnya memang bukan untuk ke situ. Lagian, apa sih yang diharapkan dari sinetron Azab yang dibingkai dengan adegan-adegan sadis?
Makanya, di awal saya sudah bilang kalau film ini memang cukup dinikmati saja sebagai wahana penyiksaan. Tonton film ini kalau kamu lagi malas mikir yang berat-berat, niscaya Siksa Neraka bakal jadi film yang bagus dan menyenangkan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Curhatan Mereka yang Bernasib Sial karena Tertipu Konser Bodong
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News