Guru les jadi pilihan paling masuk akal untuk meraup cuan bagi Titah dan Pertiwi. Gaji yang lebih manusiawi, kerja lebih ringan, serta masa depan lebih jelas jadi alasan mereka menekuni profesi ini. Seluruh keunggulan itu tak ada pada guru honorer.
***
Titah, lulusan IAIN Ponorogo angkatan 2019 ini adalah salah satu dari sekian banyak lulusan jurusan pendidikan yang ogah jadi guru. Alasannya karena fresh graduate macam dia akan berakhir jadi honorer, dan gaji honorer amat kecil, jelas tak cukup baginya. Akhirnya, dia memilih menekuni jadi guru les di Kumon, pekerjaan yang ia tekuni hingga kini.
“Jarak lulus ke kerja di Kumon, jujur gak ada jeda. Soalnya sebelum lulus, udah jadi asisten part time. Jadi, setelah lulus memang langsung ditawari untuk full time, mas. Alhamdulillah.”
Menurut Titah, menekuni pekerjaannya di Kumon, selain memang sudah dia tekuni sebelum lulus, karena gajinya lebih tinggi dari jadi honorer.
“Gaji part time-ku mungkin malah lebih banyak daripada guru honorer. Jadi ya mending jadi tutor Kumon. Kebetulan udah cocok sama lingkungannya juga sih, Mas.”
Beban administrasi juga jadi salah satu alasan Titah tak ingin menjadi guru sekolah. Beban yang lebih berat ketimbang mengajar membuat Titah tak berminat, apalagi mempertimbangkannya, meski gajinya cocok.
Masalah administrasi guru ini memang jadi momok terbesar guru masa kini. Dikutip dari detikEdu, Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan dan Pendidikan Guru, Iman Zanaetul Heri menyatakan bahwa platform pendidikan dan pembelajaran jadi masalah untuk semua yang terlibat dalam proses pendikan, dari guru hingga siswa. Beban administrasi jadi bertambah semenjak kemunculan platform-platform tersebut.
Honor guru les yang besar
Honor yang diterima guru les memang jauh lebih tinggi ketimbang guru honorer. Pertiwi, guru honorer di salah satu kabupaten di Jawa Tengah mengakui tersebut. sebagai guru honorer, dia hanya menerima 200-300 ribu per bulan. Itu pun kadang dirapel. Beda dengan jadi guru les, dia bisa menerima jauh lebih banyak dari itu.
“Aku seminggu ngajar les 4-5 kali seminggu, tergantung muridnya selo atau nggak sih. Kalau pas penuh, ya aku bisa mendapat 1 juta lebih. Tapi kalau kuhitung, gaji ngeles seminggu lebih banyak ketimbang jadi tenaga honorer sebulan.”
Pertiwi tak bisa mematok tarif tinggi, hidup di kabupaten kecil membuat dia susah untuk mematok tarif setinggi Jogja, tempat dia kuliah dulu. Tapi, tak berarti dia tak bisa sejahtera gara-gara hal itu.
“Yang aku dapat terlihat kecil karena memang aku nggak ngajar banyak orang. Untuk kelas privat, aku hanya mematok 35 ribu per orang, dan aku hanya ngajar 4 anak seminggu. Tapi kalau aku ngajar banyak orang, katakanlah 8 orang per pertemuan, dan ngajarnya seminggu 4 kali, ya jelas lebih banyak dari honorer lah.”
Kesibukannya di kantor bikin Pertiwi tak berani menerima terlalu banyak murid. Passion-nya memang mengajar, tapi seperti yang Titah katakan di atas, beban administrasi yang kelewat banyak sudah menguras tenaganya. Dia tak berani untuk mengajar terlalu banyak anak, takut tidak maksimal.
“Kalau maksa dan nggak maksimal, malah nanti reputasiku yang kena, Mas.”
Masa depan simpang siur
Gaji guru honorer memang menyedihkan. Oleh karena gaji guru honorer ditanggung oleh APBN dan APBD, besarannya tergantung seberapa besar alokasi dana yang disediakan.
Menurut Detik, gaji guru honorer daerah berkisar 300 ribu-1 juta rupiah. Ini jelas jauh di bawah upah minimum daerah mana saja. Wajar kalau Titah menolak menjadi guru honorer dan Pertiwi masih harus jadi guru les setelah jam kerja selesai. Sebab, menurut perhitungan yang ada, gaji guru honorer nggak akan cukup. Hal ini bikin banyak lulusan jurusan pendidikan yang jadinya ogah lanjut jadi guru di sekolah seperti Titah.
Skill yang diajarkan di kampus memang bisa diaplikasikan untuk mengajar di tempat lain. Titah juga menjelaskan bahwa dia mengaplikasikan apa yang dia dapat selama kuliah di jurusan Tadris Bahasa Inggris IAIN Ponorogo. Tak jadi soal jika akhirnya dia tak jadi guru, sebab ilmunya masih terpakai.
Beda cerita untuk Pertiwi. Karena sudah telanjur nyemplung, dia tak punya pilihan selain menghadapi yang ada. Dia masih bertahan karena seniornya bilang ada kesempatan keterima P3K, jalan yang bisa ditempuh untuk “memperbaiki” nasib. Masalahnya adalah, info yang diterima simpang siur dan selalu ada kebijakan-kebijakan baru.
“Ada yang bilang nggak ada formasi guru, ada yang bilang ada. Ada juga katanya nunggu keputusan bupati kayak gimana. Kalau kayak gitu ya susah, kan ini mau pemilu.”
Rencana
Pertiwi berencana akan fokus jadi guru les misal memang tak ada harapan dari sekolah. Kebijakan-kebijakan yang ada bikin dia pesimis dan mulai memikirkan opsi. Passion sebesar apa pun, tidak sepadan jika hanya diganjar dengan gaji yang kelewat dikit.
Titah tidak kepikiran jadi guru meskipun gajinya cocok, sebab beban administrasi mengajar dia rasa tak sepadan.
Tapi andai mereka berdua pada akhirnya mau jadi guru full time, mereka harus menempuh PPG selama beberapa waktu, yang tetap saja tak memberi mereka kepastian perkara kesejahteraan.
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.