Meski kini banyak warung makan yang menyajikan sambal belut atau sambel welut sebagai sajian utama, tak membuat warung Sambel Welut Pak Sabar kehilangan pamornya. Warung yang dirintis awal tahun 1990-an ini tak segan untuk berbagi resep bagi pelanggan yang ingin tahu.
***
Sambal belut atau lebih dikenal dengan sambel welut adalah salah satu kuliner yang ingin saya cicipi di awal tahun ini. Sudah sering saya mendengar nama warung Sambel Welut Pak Sabar, tapi baru hari ini saya bisa menyempatkan diri ke warung yang ada di Jalan Imogiri Barat, Tamanan, Banguntapan, Kabupaten Bantul.
Kalau dari rumah saya di Jalan Godean, kira-kira 15 kilometer. Sedang kalau dari pusat Kota Yogya, tepatnya dari Titik Nol Kilometer, kira-kira 7 kilometer ke arah tenggara Yogyakarta. Kuliner ini beberapa kali muncul di televisi nasional. Artis-artis kenamaan maupun kalangan pejabat wira-wiri di warung yang punya menu utama sambal belut.
Maka 17 Januari lalu, saya ingin menuntaskan janji ke perut saya untuk menyantap menu-menu yang ada di warung Sambel Welut Pak Sabar. Lokasi warung ini terbilang terpencil dan nyaris tidak terlihat dari jalan raya.
Sambel Welut Pak Sabar, menyediakan aneka olahan belut, ikan gabus, dan wader. Jika dari luar, warung makan ini terlihat kecil. Ternyata di dalamnya cukup luas. Perlu melewati dua ruangan tempat makan untuk mencapai kasir di pojok dekat dapur.
Sekilas menu Sambel Welut Pak Sabar tampak beda dari warung makan pada umumnya. Tidak per porsi, melainkan disajikan per kilogram. Ada tiga menu unggulan, yakni sambal belut minimal order satu ons, oseng welut minimal order setengah kilogram, dan welut goreng minimal order tiga ons.
“Belut kan ukurannya tidak sama, jadi sulit jika per porsi,” ungkap Fitri Apriyani (30), penerus Sambel Welut Pak Sabar. Satu ekor belut bisa mencapai ukuran dua sampai tiga ons.
Perkiraan Fitri, satu kilogram sambal belut bisa dinikmati delapan sampai sepuluh orang, satu kilogram welut goreng bisa dinikmati lima orang, dan satu kilogram oseng belut bisa dinikmati tiga orang.
Ditanya lebih suka yang mana, Fitri mengaku memilih oseng belut yang berkuah dan tidak terlalu pedas.
Saya pun lantas mencicipi sambal belut, rasanya pedas dengan sedikit rasa manis. Rempahnya terasa, sayang tadi lupa mengatur tingkat kepedasannya. Sedangkan belut gorengnya renyah dan berdaging lembut, dan memiliki rasa gurih. Sangat nikmat dimakan dengan nasi putih hangat dan dicocol sambal bawang.
Berawal dari teman Pak Sabar yang titip belut untuk digoreng
Fitri menceritakan awal mula lahirnya warung Sambel Welut Pak Sabar. Sebelum Fitri lahir, Pak Sabar kerja serabutan. Mulai dari tukang becak sampai tukang bangunan, semua dilakoni untuk keluarga. Dibantu istrinya, akhirnya keinginan Pak Sabar untuk buka angkringan terlaksana.
Angkringan itu dibuka di depan rumahnya. Pak Sabar menyajikan nasi kucing dan jahe hangat bagi pelanggannya. “Sekitar tahun 1993, daerah sini belum banyak rumah, masih didominasi sawah,” ungkap Fitri yang tahu berdasarkan cerita ayahnya. Maklum, saat itu ia masih tiga tahun.
Fitri bercerita, suatu malam, teman Pak Sabar datang membawa ember plastik berisi belut hasil tangkapan di sawah. Bukan pertama kali laki-laki tua itu menumpang menggoreng belut di angkringan milik Pak Sabar.
“Teman Bapak usul, daripada digoreng, mending dibuat sambal,” ungkap Fitri. Maka, Pak Sabar dan istrinya mencari resep membuat sambal belut. Daging belut dipisahkan dengan durinya, kemudian ditumbuk alu sampai lembut dan dicampur bumbu, lalu dimasak. Sambel welut itu lantas dibungkus kertas dan dikaret layaknya nasi kucing. Ternyata memang menjadi jalan rezeki, sebab rasa sambal belut itu sesuai dengan lidah pelanggan angkringan.
Ketika gempa melanda Yogya tahun 2006, rumah Pak Sabar dan rumah-rumah lain di desa tersebut hancur. Harta benda Pak Sabar habis. “Hanya satu dua rumah yang masih terlihat temboknya,” kenang Fitri.
Menggunakan alat pertukangan dan bahan seadanya, Pak Sabar membuat rumah sederhana. Dinding-dindingnya menggunakan gedek. Atapnya menggunakan daun rapak. Semua dimulai dari nol, termasuk usaha sambel welutnya.
Rumah tinggalnya menjadi tempat usaha. “Saya saat itu masih kelas satu SMP, ikut membantu Bapak masak sambel welut dan melayani pembeli,” ungkap Fitri. Saat itu, satu ons sambal belut masih sembilan ribu rupiah.
Warung Sambel Welut Pak Sabar makin dikenal setelah diulas oleh media massa nasional. Kata media-media itu, cita rasa di warung Pak Sabar autentik. Banyak pelanggan datang silih berganti. Hingga seorang teman Pak Sabar kembali datang menawarkan ikan gabus dan wader untuk diolah menjadi menu tambahan. Begitu pun dengan teman lainnya yang membawa lele lokal.
Semua disetujui Pak Sabar. “Sampai sekarang, masih ada olahan ikan gabus dan wader yang di goreng atau di oseng,” ungkap Fitri. Sedangkan lele lokal sudah tidak ada karena rawa-rawa sekitar rumah Pak Sabar beralih lahan menjadi bangunan dan gedung tinggi.
Belut yang semula dari sawah di Bantul pun kini harus mendatangkan dari Kalimantan dan Jawa Timur. “Sebelum dimasak, belut-belutnya sudah naik pesawat,” tambah Fitri tertawa.
Seingatnya, belut terakhir dari sawah di sekitar rumahnya sekitar tahun 2010. Saat itu sedang digalakkan tidak mengambil ikan menggunakan setrum listrik.
Sambel Welut Pak Sabar memiliki standar kualitas dari sisi ukuran. Setengah kilogram hanya isi tiga sampai empat belut saja. Hal itu lantaran jika terlalu kecil, belut tidak ada dagingnya.
Mencari bahan baku belut bukan perkara mudah. Peminatnya banyak, harganya tinggi, dan harus bersaing dengan pengiriman ke Jepang. Bahkan, jika tidak punya stok, bisa kekurangan. Pasalnya saat bulan purnama, belut susah dicari, harganya akan melonjak tinggi. “Yang penting ada bahannya, kalau sudah kehabisan, hanya bisa tutup,” kata Fitri.
Bukan hanya sulit mencari bahan baku, untuk kualitas, Sambel Welut Pak Sabar juga harus selektif. Terlebih jika mendapat yang tidak bagus, seperti belut hitam di pasaran Kalimantan. “Harganya memang lebih murah, tapi warnanya jelek dan dagingnya menempel, takut kalau dikira belut lawas,” ungkap Fitri.
Selepas kepergian Pak Sabar
Sekitar tahun 2019, Pak Sabar memasrahkan pengelolaan dan manajemen Sambal Welut Pak Sabar kepada istri dan dua anaknya. Pak Sabar meminta salah satu anaknya harus mengurus warung makan ini.
Kebetulan, Fitri merupakan sarjana boga. Ia mengenyam pendidikan di SMK 6 Yogya mengambil jurusan boga. Setelahnya, melanjutkan di Universitas Negeri Yogyakarta dengan bidang yang sama. Alhasil ia memegang manajemen Sambal Welut Pak Sabar. Sedangkan, adiknya memilih berkarir di bank swasta ternama Yogyakarta.
Meskipun tidak terjun langsung, Pak Sabar tetap memantau. Sesekali ia menengok dapur dan mencari tahu masalah yang muncul. Pak Sabar memang punya riwayat jantung dan diabetes melitus. Ia berharap ketika kelak sudah tidak ada, anak-anaknya bisa berjalan tanpa bimbingannya. “Bapak meninggal saat tidur, usia lima puluh delapan tahun, bulan Juli 2021 kemarin,” ungkap Fitri.
Setelah kepergian Pak Sabar, tidak ada yang berubah di Sambel Welut Pak Sabar. Fitri bisa mengerjakan semua urusan dapur, membuat sambal, menggoreng, membuat oseng, dan membuat minum. Tanpa perlu catatan dan resep, hasil masakan Fitri sama persis dengan Bapaknya. Itu semua didapatkan karena ia selalu membantu bapaknya saat memasak.
Satu yang berbeda. Jika bersama Pak Sabar mereka berjualan nyaris dua puluh empat jam. Saat ini, Fitri dan tujuh karyawannya hanya mampu buka dari pukul 8.00 WIB-22.00 WIB. Jika lebih dari itu, badannya sudah capek.
Tak ada resep rahasia
Fitri sering ditanya resep sambel welut oleh pelanggan. “Kasih tahu saja, lagi pula beda tangan juga beda rasa,” ungkap Fitri. Ia yakin bahwa rezeki ada yang mengatur.
Fitri memberi informasi agar belut tidak amis rahasianya adalah direndam bawang, kencur, dan kunyit. Untuk membuat sambel welut, caranya belut yang sudah dikukus dipisahkan duri dan dagingnya. Garam, cabai, kencur, daun jeruk, dan bawang putih, dimasukan ke dalam lumpang batu. Kemudian ditumbuk hingga halus. Selanjutnya daging belut dimasukan dan ditumbuk.
Dari tahun ke tahun, resep Sambel Welut Pak Sabar tidak berubah. Hanya saja, jika dulu menggunakan bumbu matang, sekarang menggunakan bumbu mentah. Rasanya memang sudah pas. Karena itu, ciri Sambel Welut Pak Sabar ini terletak pada rasa dan cara membuatnya yang unik.
Fitri dan para pekerja mulai menyiapkan belut di pagi hari usai subuh. Mereka menyiangi belut. Pekerjanya merupakan warga sekitar, tetangga, dan saudara. “Sudah lima tahun bareng-bareng,” ungkap Fitri. Tidak ada hari libur. Kadang, jika tubuh terasa lelah, mereka kompak mengambil satu hari antara Senin atau Selasa untuk istirahat bersama-sama.
Jika hari biasa, Sambel Welut Pak Sabar menghabiskan dua puluh sampai tiga puluh kilogram belut. Pelanggan yang datang dari sekitar Yogya, termasuk orang-orang kantoran. Namun, jika libur, bisa lebih dari lima puluh kilogram. “Tahun baru kemarin, habis dua setengah kuintal dalam satu minggu,” ungkap Fitri menunjukkan foto belut penuh sesak di bak. Pengunjung saat itu kebanyakan berasal dari Surabaya dan Jakarta.
Sebenarnya, Fitri ingin menambah menu. Misalnya saja belut bakar. Namun, ia ragu, takut cita rasanya kurang nikmat karena belum ahli. Sambal belut tidak menyisakan limbah. Duri-duri atau tulang belut yang telah dipisahkan diolah menjadi keripik. Tulang belut dibalur tepung lalu digoreng hingga garing. Memberikan sensasi kres ketika digigit.
Teh istimewa racikan Pak Sabar
Di Warung Sambel Welut Pak Sabar, selain sambel welutnya, yang juga jadi andalan adalah tehnya. Ini tak lepas dari prinsip Pak Sabar, yang menilai keberlangsungan warung makan dinilai dari minumannya. Sehingga saat membangun warungnya, ia survei dan belajar tentang teh. Ia mencari teh yang paling enak.
“Jika minumnya enak, warung makan itu akan ramai, banyak pelanggan yang balik lagi,” kata Fitri menirukan kata-kata bapaknya. Sampai saat ini penyajian teh di Sabel Welut Pak Sabar menggunakan gula batu.
Beberapa selebriti yang pernah berkunjung antara lain Ashanty, Anang, Omes, Wendy, dan Dude Herlino. Namun, yang pertama kali datang adalah Bondan Winarno. “Senang banget, apalagi kalau boleh diminta foto bersama,” ungkap Fitri tertawa.
Seperti beberapa hari yang lalu ketika Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta untuk makan di Sambel Welut Pak Sabar. Fitri merasa trenyuh, dari banyaknya warung makan di Yogya, menteri agama memilih warung makan miliknya.
Seluruh masakan di Sambel Welut Pak Sabar disajikan dalam keadaan panas atau sesaat setelah dimasak. Jika sambal belut maka hanya perlu menunggu lima menit, welut goreng sepuluh menit, dan oseng welut lima belas menit. Jika musim liburan maka antrean berkisar tiga puluh menit sampai satu jam.
Fitri senang dan bersyukur dengan pekerjaannya mengelola Sambal Welut Pak Sabar. Harapannya ia ingin mewariskan sampai ke anak cucunya kelak.
Salah satu pelanggan setia warung makan ini adalah Siska (43), pekerja perusahaan swasta di Yogya. Ia datang bersama teman-temannya menggunakan mobil putih. Ini bukan kali pertama, karena ia sudah langganan sejak empat tahun yang lalu. “Kalau tidak sama teman, ya mengajak keluarga,” ungkap Siska tertawa.
Menurutnya, Sambel Welut Pak Sabar punya cita rasa yang berbeda. “Sudah beberapa kali mencoba sambal welut lain, tapi selalu kembali ke sini,” ungkap Siska. Alasannya tidak repot memilah duri atau tulang. Selain itu, daging belutnya tebal, sehingga bisa puas. Rempah kencur yang digunakan cukup terasa. Begitu pun tempat dan harga yang ditawarkan sebanding, tidak menguras kantong, dan bisa digunakan untuk mengobrol saat jam istirahat. Kebetulan, kantor Siska memang hanya tiga kilometer jauhnya.
Jika dulu Pak sabar satu-satunya pembuat sambal belut, kini persaingan semakin ketat. Banyak warung makan dengan menu belut yang mengusung konsep beragam. “Tidak apa, itu akan memacu saya membuat Sambal Welut Pak Sabar menjadi lebih baik,” ungkap Fitri.
Reporter : Brigitta Adelia
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Warung Pojok Mbak Yuni yang Tak Pernah Sepi karena Berkah Satpol PP dan liputan menarik lainnya di Susul.