Bagi sebagian orang, broken home menjadi stigma negatif bagi orang-orang yang mengalaminya. Di sisi lain, banyak dari mereka, berjuang untuk membuktikan bahwa cap itu tak menghalangi mereka menemukan ‘rumah’ yang diinginkan.
Mojok.co berkesempatan berbincang dengan mereka yang rindu rumah yang nyaman, aman dan menjadi tujuan utama untuk pulang. Kami bertemu dengan beberapa anak muda broken home, sebuah komunitas di Yogyakarta, dan psikolog.
Kirana, masa kecil, dan rumahnya
“Kalau waktu boleh diputar aku ingin kembali ke masa kecil. Tapi, aku juga iri, masa kecilku yang bahagia nggak bertahan lama, sekejap mata lalu hancur,” ungkap Kirana* (21), mahasiswi semester 6 universitas swasta di Yogyakarta. Kata Kirana, rumahnya bukan lagi tempat untuk dia bisa pulang.
“Bukan soal bangunannya, tapi ketenangan di dalamnya memang sudah tidak ada, kalau Allah memperbolehkan aku memilih, lebih baik mereka cerai saja,” kata gadis berhijab itu sembari tertawa hambar saat menceritakan rumah yang dirindukan sekaligus dibencinya..
Orang tuanya memang tidak pernah akur sejak Kirana duduk di bangku SD. Namun, Kirana baru menyadari itu ketika SMP. Hampir setiap hari, rumah Kirana selalu ramai. Bukan karena ada tamu, namun ada saja hal yang dijadikan bahan bertengkar oleh orang tuanya. Melihat pertengkaran orang tuanya sudah menjadi makanan sehari-hari Kirana.
“Padahal kalau dipikir-pikir, banyak orang yang ingin ada di posisiku. Bayangkan saja, aku anak terakhir dari tiga bersaudara, anak perempuan satu-satunya, kedua kakakku sudah kerja. Harusnya kan aku bahagia, tapi malah…,” ungkap Kirana mengantung dan mulai menghela nafas panjang.
Usia Kirana dan kedua kakaknya memang terpaut jauh. Kakak pertamanya saat ini bekerja di Korea Selatan. Sedangkan, kakak keduanya menjadi pekerja swasta di Yogyakarta. Satu hal yang sebenarnya patut Kirana syukuri, sampai detik ini ia tak pernah kekurangan uang karena kedua kakaknya yang membiayai kuliah dan kebutuhan sehari-harinya.
Tapi, sepertinya kedua kakak Kirana itu lupa. “Ada satu hal yang nggak bisa mereka kasih buat aku, mereka nggak bisa membuat mental adiknya tetap baik-baik saja,” ungkap Kirana getir.
Bahkan, ketika Kirana dengan gamblang meminta diperhatikan, kedua kakaknya memilih saling adu nasib. “Kowe kesel kuliah, aku yo kesel kerjo,” ujar Kirana mengikuti kalimat yang biasa diucapkan kedua kakaknya dalam Bahasa Jawa. Kedua kakaknya bekerja banting tulang tanpa peduli dengan adiknya yang butuh kasih sayang.
Kirana memang tidak bisa berharap banyak. Bagaimanapun juga hampir seluruh biaya untuk kehidupan keluarga ditanggung oleh kedua kakaknya. Singkatnya seperti biaya untuk makan dan kebutuhan pokok sehari-hari keluarganya, biaya untuk ia kuliah di jurusan keperawatan universitas swasta yang mahalnya menguras kantong, biaya uang bensin yang jaraknya lebih dari sepuluh kilometer, biaya kuota untuk kuliah daring, dan masih banyak lagi tetek bengek biaya yang harus dipenuhi.
“Untuk semua biaya yang dikeluarkan, mereka cuma minta satu hal, aku jadi sosok Kirana yang penurut dengan kedua kakaknya,” ungkap Kirana sendu.
Berawal dari sebuah surat permohonan cerai
Air mata Kirana tidak terbendung lagi. “Jujur, aku nggak pernah berpikir keluargaku bakal sehancur ini. Waktu masih kecil sampai usia sekolah dasar, aku masih bisa main dengan kedua kakakku,” ungkap Kirana dengan suara bergetar.
Mungkin, masa kecilnya adalah masa yang sangat indah bagi Kirana, sebelum ia harus merasakan kehancuran keluarga. Selembar kertas putih yang Kirana kecil temukan, menjadi awal perasaannya terombang-ambing. Sebuah surat permohonan cerai dari ayah untuk ibunya dan keadaan di mana kedua orang yang ia sayang itu memutuskan pisah ranjang. Sampai sekarang.
“Anak mana yang nggak sedih waktu lihat orang tuanya, ayah ibunya sendiri yang sudah melahirkan dan merawat, sekarang mau cerai, mau berpisah,” ujar Kirana terbata-bata.
Kirana mencoba bercerita pada kakaknya. Kirana mencoba berbicara dengan orang tuanya untuk menanyakan permasalahan mereka dan kembali mendapatkan kasih sayang seperti waktu kecil dulu. Namun sayang, usaha Kirana tidak membuahkan hasil.
Mata Kirana semakin memerah. Air matanya terus keluar, menetes di rok panjang yang dipakainya. Suara isak tangisnya berpacu dalam keheningan teras rumah. “Hari itu terberat karena semuanya terbongkar. Rasa sayangku dengan ayah pudar, dia punya wanita simpanan,” ungkap Kirana di sela upayanya menarik umbel agar tidak ikut membasahi rok panjangnya.
Kirana marah. Ia protes dengan keluarganya. Kirana sering pergi dari rumah untuk menginap di rumah temannya. Kirana mulai menyibukkan diri di berbagai kegiatan. Ia menjadi sekretaris Badan Eksekutif Mahasiswa di universitasnya dan ketua Karang Taruna di desanya.
Kirana menghentikan ceritanya dan menghela nafas panjang. “Aku ingin punya rumah sendiri, tinggal sendiri. Rasanya sama saja, mau tinggal sendiri atau tinggal sama keluarga, tetap nggak ada yang peduli, tapi…,” ucapan Kirana sempat terjeda. “Tapi kok aku nggak punya uang buat beli rumah,” lanjut Kirana meneruskan ucapannya kemudian terkekeh.
Kirana terlihat sakit hati dengan keadaan keluarganya. “Kalau saja ada layanan penyedia tukar tambah keluarga, aku pasti sudah antre nomor satu lalu menukarkan keluargaku dengan keluarga yang harmonis dan perhatian,” tambah Kirana masih berusaha mengajakku bercanda.
Kirana memang sosok yang berbeda jika di luar rumah. Kirana sosok yang ceria. Namun, ia juga berulang kali berpikir ingin mencoba bunuh diri. Keinginan Kirana selalu gagal lantaran ia takut jika masuk neraka.
Kirana juga mengaku pernah diajak untuk minum minuman beralkohol. Tapi, gadis yang rajin beribadah dan mengajar TPA di masjid dekat rumahnya ini menolak dengan tegas. “Aku masih memikirkan hidupku, mentalku sudah rusak, masa iya sih pergaulanku juga ikut rusak,” ungkap Kirana yakin.
Di usianya yang dua puluh satu tahun, Kirana belum pernah sekalipun berpacaran. Awalnya, Kirana memang merasa takut mendapatkan sosok laki-laki seperti ayahnya. “Aku perempuan, jelas nggak mau dimadu, nggak mau kalau suamiku nanti punya wanita simpanan dan membuat aku sakit hati,” ungkap Kirana mempertahankan pendapatnya.
Kirana tidak menunjukkan kesedihannya di depan umum, itulah hal yang menarik dari kisahnya. “Kita harus tahu, semua orang pasti punya masalah, entah berat, entah ringan. Aku punya prinsip untuk tidak membebani orang dengan bergantung setiap kali ada masalah. Aku berusaha untuk mencari cara menghadapi masalahku atau rehat sejenak dengan makan, main, dan jalan-jalan sendiri atau me time,” ungkap Kirana santai.
Cempaka dan pelariannya ke Yogyakarta
Cempaka* (23), seorang mahasiswi universitas negeri yang katanya sedang pontang-panting menyelesaikan skripsi berkisah tentang dirinya yang broken home. Gadis yang hobi keluar masuk hutan ini pernah menceritakan awal mulanya menempuh pendidikan di Yogyakarta ini sebagai sebuah pelarian.
Saat duduk di kelas tiga bangku SMA, Cempaka harus menerima orang tuanya akan bercerai. Cempaka yang berasal dari Jepara ini sudah merasakan perang dingin antara ayah dan ibunya. Cempaka tidak bisa berbuat banyak dengan mendamaikan mereka. “Kekuatanku hanya sebagai anak, nggak bisa membantu menyelesaikan permasalahan mereka,” ungkap Cempaka sedih.
Cempaka sadar, sebagai seorang anak pertama, hal yang harus dilakukannya adalah menjaga kedua adiknya ketika orang tuanya sedang perang dingin. Cempaka berusaha mengajak adiknya bermain, seolah-olah supaya mereka tidak tahu ada pertengkaran di lantai bawah pada rumah dua lantai itu. “Semua orang tahu, tugas kakak adalah menjaga adiknya,” tambah Cempaka.
Matanya berkaca-kaca. Cempaka susah payah menguatkan hatinya sendiri di depan kedua adiknya. “Waktu itu, adikku masih kecil, yang pertama baru saja masuk SMP dan yang kedua masih SD,” ujar Cempaka getir.
Meskipun Cempaka tahu, orang tuanya juga sedang terluka, mereka sedang mati-matian bertarung antara mempertahankan anaknya atau menuruti ego. Kata Cempaka, kesalahan orang tuanya hanya satu, mereka lupa untuk mempertahankan pernikahan atas nama cinta.
Satu persatu air mata Cempaka menetes. Untung saja tempat saya bertemu dengan Cempaka ini sedang sepi pengunjung. “Orang tua itu pegangan bagi anak-anaknya. Orang tuaku peganganku. Waktu aku tahu mereka akan cerai, duniaku hancur, peganganku hilang, aku nggak tahu dengan hidupku selanjutnya,” ungkap Cempaka berurai air mata.
Namun, pemikiran Cempaka itu berubah ketika teringat kedua adiknya. “Nggak apa-apa, aku nggak punya pegangan, tapi kedua adikku jangan. Kedua adikku harus tetap punya aku yang selalu bisa mereka andalkan,” tambah Cempaka meralat kata-kata sebelumnya.
Keadaan menjadi berbeda ketika orang tua Cempaka memutuskan pisah rumah. Cempaka dan adiknya terpisah. “Aku memilih ikut ayah, aku sayang dengan ayah, selama ini aku memang lebih dekat dengan ayah dan aku nggak mau kehilangan ayah,” ungkap Cempaka yang saat itu berusaha tinggal dengan ayahnya. Sedangkan kedua adik Cempaka diwajibkan untuk ikut ibunya. Jauh dalam lubuk hati Cempaka, ia ingin bisa tinggal bergantian dengan kedua orang tuanya.
Sayang, angan hanya tinggal angan. Keluarga dari ibunya sudah melarang Cempaka untuk tinggal bergantian. Baru sebentar saja tinggal dengan ayahnya, Cempaka harus rela berpisah dan menurut pada keluarga ibunya untuk tinggal bersama ibu dan dua adiknya. “Aku sedih memikirkan ayah yang harus tinggal sendirian,” ungkap Cempaka yang nadanya kembali sedih mengingat Sang Ayah kebanggaannya.
Cempaka tidak bisa menolak. Cempaka tinggal bersama ibunya di sisa-sisa hari sebelum memulai petualangan di Yogyakarta untuk menempuh pendidikan sekaligus menata hatinya.
Setelah kepindahan Cempaka ke Yogyakarta, ia mengikuti banyak organisasi. Hampir semua kegiatan di universitasnya dilibas oleh Cempaka, mulai dari menjadi panitia berbagai kegiatan, menjadi pengurus himpunan, mengikuti penelitian, dan menjadi asisten dosen.
Cempaka juga mengikuti berbagai komunitas di luar kegiatan kampusnya, salah satunya adalah komunitas menulis. “Aku punya dua harapan, yang pertama aku bisa lupa dengan masalah keluargaku dan yang kedua adalah aku mencari uang,” ujar Cempaka gamblang.
Cempaka mencari uang bukan karena ia tidak mendapatkan kiriman uang saku. Meskipun orang tua Cempaka berpisah, tapi kedua orang tuanya tetap setia membayar kuliahnya dan memberikan uang saku yang selalu sisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Hanya saja, Cempaka merasa ia butuh uang yang banyak untuk berjaga-jaga.
Raut wajah Cempaka kembali sedih. “Aku sekarang ini sedang berpikir, ayah dan ibuku hidup sendiri-sendiri. Kebutuhan mereka pasti bertambah banyak. Biasanya seluruh keperluan ditanggung berdua, sekarang di tanggung sendiri,” ujar Cempaka sedih. Ia membayangkan jika ada kejadian tak terduga terkait finansial pada salah satu orang tuanya, Cempaka masih punya uang untuk membantu mereka, atau untuk membantu adiknya kuliah ketika orang tuanya pensiun.
Cempaka kembali mengingat ayahnya. “Aku sayang sekali dengan ayah. Aku nggak mau membebani ayah terlalu banyak, apalagi urusan biaya. Karena aku tahu, selama ini pun aku nggak bisa selalu ada untuk ayah, aku nggak bisa berada di samping ayah,” ungkap Cempaka getir. Keluarga ibunya memang tidak memperbolehkan Cempaka dan kedua adiknya bertemu dengan ayahnya. Sehingga komunikasi empat orang itu hanya sebatas melalui aplikasi Whatsapp.
Satu setengah tahun Cempaka menjalankan aktivitasnya di Yogyakarta. Tak pernah ia memutuskan komunikasi kepada kedua adiknya. Namun, Cempaka tidak ingin pulang ke Jepara, kota kelahirannya. “Aku mengabaikan telepon dari Ibuku, berusaha fokus pada kegiatanku, dan yang paling utama adalah berusaha mencari pacar,” ungkap Cempaka kini mencoba tertawa. Kali ini ganti saya yang menghela nafas.
Katanya, ia mencari pacar supaya mendapat teman berbagi cerita. “Padahal di sisi lain, aku juga takut kalau nanti menikah dengan pacarku, lalu cerai, karena kejadian cerai itu bukan pertama kali dalam silsilah keluarga, sering dan kayaknya keturunan deh,” ungkap Cempaka ragu-ragu.
Dengan pacarnya yang sekarang, Cempaka mengaku menjadi seorang budak cinta. “Walaupun pacarku yang sekarang ini cuek, tapi aku sangat sayang, i love him so much,” ungkap Cempaka terbahak-bahak. Tidak lupa ia menyampaikan pesan untuk saya jika menulisnya harus memasukkan ungkapan cinta ini agar tidak terjadi perang dunia.
“Aku nggak pernah merusak diri sendiri dengan minum alkohol atau merokok, aku sadar sebagai kakak punya kewajiban jadi panutan untuk kedua adikku,” ungkap Cempaka tegas.
Seiring berjalannya waktu, Cempaka memaafkan orang tuanya. Ia juga bisa menerima kalau dirinya berasal dari keluarga broken home. Cempaka tahu, semuanya tidak akan kembali seperti saat keluarganya masih harmonis. “Baru satu tahun yang lalu, ayah dan ibu resmi bercerai, dan satu tahun yang lalu juga, aku berhenti meminta Allah untuk mempersatukan mereka kembali. Selama ini, ternyata harapanku yang terlalu tinggi yang membuat aku selalu sakit hati,” ungkap Cempaka berusaha lapang dada.
Cempaka selalu bersyukur, kedua adiknya sudah dewasa dan kuat di usianya yang masih seharusnya bermain bersama teman-temannya. Menurut Cempaka, kedua adiknya tidak pernah menuntut apa pun dari Cempaka dan orang tuanya. “Semua sedang berjuang dengan lukanya masing-masing, sedang berjuang untuk sembuh, dan nggak bisa membantu satu sama lain,” ungkap Cempaka.
Piring terbang untuk Tania
Banyak pelajaran hidup yang dapat diambil ketika saya mendengar cerita dari mereka yang berjuang mempertahankan hidupnya di tengah berat situasi keluarga yang broken home.
Harta seolah tidak ada artinya di mata Tania (26). Nasib mujur ketika ia dilahirkan dengan seorang kakek mantan pejabat di masanya. Belum lagi ibunya yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil sebuah kantor pemerintahan dan ayahnya juga pegawai negeri sipil sebagai kepala SMA negeri.
Sayang, harta yang dimiliki tidak membuat kehidupan Tania bahagia. “Sejak kecil, aku sering melihat piring terbang di rumah,” ungkap Tania sedih. Piring terbang itu adalah piring yang dilemparkan orang tuanya ketika ayah ibunya itu bertengkar.
Masih banyak peralatan rumah tangga lain yang jadi korban jika orang tuanya bertengkar. “Mulai dari gelas, panci, bahkan pintu itu juga pernah dirusak ketika bertengkar,” ungkap Tania tertawa miris sembari menunjuk sebuah pintu penghubung ruang tengah dengan teras belakang ketika saya berkunjung ke rumahnya.
Sumber kekuatan Tania adalah kakek dan neneknya. Rumah Tania memang bersebelahan dengan rumah kakek dan neneknya. Ketika orang tuanya bertengkar, Tania akan berlari menuju rumah kakek dan neneknya untuk meminta perlindungan. “Aku takut, ayahku biasanya menarik ikat pinggang dan menjadikan aku pelampiasan rasa marahnya,” ungkap Tania.
Tania si anak bungsu yang menyedihkan. Kehadirannya dianggap sebuah kesalahan ketika orang tuanya menginginkan seorang bayi laki-laki. Sejak kecil, Tania dianggap layaknya seorang laki-laki. Rambut yang dipotong dengan gaya anak laki-laki dan pakaiannya yang didominasi oleh baju dan celana laki-laki.
“Ini aku dan kakakku,” ujar Tania menunjukkan foto bersama kakaknya. Sungguh berbanding terbalik, Tania menggunakan celana pendek dan kaos oblong dengan potongan rambut cepak dan kakaknya menggunakan rok terusan motif bunga dengan rambut panjang diurai. Padahal keduanya sama-sama terlahir sebagai anak perempuan.
Tidak hanya penampilan saja, namun Tania juga dipaksa mengikuti Karate, saat ini ia sudah berada di sabuk hitam. Ia juga diberi sebuah motor vixion sebagai motor untuk aktivitasnya bepergian keluar rumah. Alhasil, jika pergi ke sekolah, Tania selalu menggunakan seragam laki-laki, yaitu setelan kemeja dan celana panjang.
Orang tua Tania menikah tanpa restu. Namun, bukan itu yang menyakiti hati Tania, melainkan ketika ia tahu ayahnya selingkuh dan memiliki anak hasil perselingkuhan. Kehilangan kakek dan nenek merupakan pukulan terbesar bagi Tania hingga akhirnya memutuskan kuliah di Yogyakarta.
Meskipun sama-sama di Yogyakarta, Tania dan kakaknya berada di universitas dan kos yang berbeda. Dunia Tania dan kakaknya memang sama hancurnya. Tania yang memiliki penampilan seperti laki-laki memilih menggandeng seorang perempuan. Sedangkan kakaknya hamil di luar nikah.
“Aku yang dipaksa dengan karakterku laki-laki, ditambah ayahku adalah laki-laki yang kasar membuatku nggak berani untuk berdekatan apalagi menjalin hubungan dengan laki-laki, sedangkan kakakku dengan karakternya dimanjakan, menjadi menghalalkan seks bebas karena tidak pernah ditegur dan dimarahi,” ungkap Tania sedih. Namun apa daya, Tania tidak tahu harus mengubah keadaannya mulai dari mana.
Hilang arah, lampiaskan pada alkohol dan rokok
Setelah kakaknya menikah, Tania tetap tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Ayahnya meninggal karena diabetes. Ibunya menderita sakit yang sama dan asam urat yang membuatnya tidak bisa berjalan dan putus pengobatan karena keterbatasan biaya.
Tania hilang arah. Di masa terpuruknya, Tania menyalurkan perasaan kacaunya pada minuman beralkohol dan rokok. Tania pergi dari rumah dan memilih melakukan trading di Surabaya. Uangnya habis, modalnya untuk trading lenyap tak bersisa. Padahal ia harus membayar utang yang ditinggalkan oleh almarhum ayahnya.
“Setelah perjalananku, aku sadar bahwa kedewasaan orang bukan diukur dari usia, tapi dari kepahitan jalan yang telah dilewati,” ungkap Tania. Tidak lupa, Tania menyampaikan sebuah pesan untuk semua orang yang membaca tulisan ini.
“Bersyukurlah ketika lahir keluarga yang lengkap dan penuh kasih sayang. Bersyukurlah ketika orang tuamu sibuk bekerja atau ketika kehilangan pekerjaan. Apa pun keadaan keluargamu, ketika kamu mendapatkan perhatian dan kasih sayang keluarga, kamu harus bersyukur, karena di luar sana, banyak anak yang ingin dianggap ada oleh orang tuanya,” pungkas Tania.
Komunitas Hamur Inspiring di Yogyakarta
Hamur Inspiring, adalah komunitas di Yogyakarta yang mendampingi remaja dan dewasa yang berasal dari keluarga broken home. Saya menghubungi kontak person melalui sambungan telepon di aplikasi Line.
Indah Wulandini (21), Ketua Komunitas Hamur Inspiring periode 2021 menceritakan sejarah komunitas ini berdiri sejak sembilan tahun yang lalu, tepatnya bulan Februari 2012. “Tapi untuk peresmiannya pada bulan Agustus 2015,” ungkap gadis yang biasa dipanggil Indah ini menjawab pertanyaan saya.
Komunitas Hamur Inspiring ini didirikan oleh Dian Yuanita Wulandari, seorang alumni Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, dan dua rekannya yaitu Abdul Jalil dan Noventianto Rahma’an. Komunitas ini berawal dari keresahan terhadap stigma masyarakat pada kondisi keluarga broken home. “Ada yang bilang keluarga broken home nggak bisa mendidik anak, lalu anak broken home pasti rusak, nggak punya masa depan, dan stigma buruk lainnya yang disematkan pada kondisi broken home,” tambah Indah masih dengan gaya berceritanya yang khas.
Menurut Indah, stigma broken home sebagai hal yang buruk, membuat mereka yang terjebak di dalamnya menjadi kesulitan mengekspresikan diri dan bercerita. Alasan itulah yang membuat Komunitas Hamur Ispiring masih bertahan untuk mewadahi mereka yang broken home hingga saat ini.
Hamur jika dibalik maka dibaca rumah. “Kata hamur merepresentasikan broken home seperti rumah yang dibalik, di mana fondasinya yang harusnya di atas menjadi di bawah, dan pasti di dalamnya pun akan hancur, sedangkan inspiring yang dimaksud adalah seorang broken home dapat menginspirasi orang di sekitarnya,” jelas Indah menjawab pertanyaan saya perkara pemilihan nama Komunitas Hamur Inspiring.
Berbicara soal kegiatan yang dilakukan, awalnya Komunitas Hamur Inspiring memiliki fokus kegiatan di Yogyakarta. Namun, berjalannya waktu, kegiatan yang diadakan bukan hanya bertemu saja, melainkan juga merambah pada kegiatan online.
Beberapa kegiatan yang diadakan oleh Komunitas Hamur Inspiring antara lain adalah kelas inspirasi. Dalam kelas inspirasi ini, Komunitas Hamur Inspiring mengundang beberapa pembicara, seperti psikolog, psikater, ahli finansial, survivor broken home yang sukses, dan masih banyak lagi. Lalu, ada pula training class, seperti kelas pelatihan penulisan dan kelas kesehatan mental.
“Alhamdullilah, kegiatan yang diadakan di Komunitas Hamur Inspiring ini bisa diterima oleh teman-teman di luar Yogyakarta,” ungkap Indah dengan nada senang. Alhasil, anggota Komunitas Hamur Inspiring bukan dari Yogyakarta saja, melainkan tersebar di seluruh Indonesia.
Indah kemudian bercerita awal mulanya masuk di Komunitas Hamur Inspiring. Indah memang bukan berasal dari keluarga yang orang tuanya bercerai, namun ketidakharmonisan keluargalah yang mendorongnya masuk di Komunitas Hamur Inspiring.
Saat itu orang tua Indah memutuskan berpisah rumah. Di sisi lain, Indah sering dirisak oleh teman-temannya. “Saat kejadian itu, aku masih lima belas tahun dan akhirnya bergabung ke Komunitas Hamur Inspiring agar punya teman cerita,” ungkap Indah mengingat masa lalunya.
Menurut Indah, mendapatkan teman yang mau mendengar ceritanya adalah hal yang sulit. Indah bahkan pernah diberi cap sebagai ratu drama. “Kata mereka, kenapa sih hidup kamu drama banget,” ungkap Indah dengan sedikit terkekeh. Padahal Indah merasa bahwa dirinya harus mengalami dewasa dini, mendapatkan keadaan yang seharusnya belum dirasakan oleh anak umur lima belas tahun.
Bergabung di Komunitas Hamur Inspiring, membuat Indah peduli dengan kesehatan mental dalam kehidupannya sehari-hari. Indah menyadari setelah bergabung di Komunitas Hamur Inspiring, ia dapat berubah menjadi lebih baik. “Dulu aku nggak berani keluar dari kelas karena tidak tahan dengan olok-olok teman dan guru. Karena mendapatkan motivasi dari kakak-kakak yang lainnya, aku berani keluar kelas dengan cara menunjukkan aku bisa mendapatkan juara dalam berbagai perlombaan,” cerita Indah mengenang masa sekolahnya.
Sebuah harapan kemudian dilontarkan Indah kepada seluruh teman-teman yang berada dalam keluarga broken home.
“Kita tidak bisa mengubah keadaan, kita tidak bisa mengubah situasi dan kondisi, mungkin juga tidak bisa memperbaiki hal yang sudah rusak untuk kembali sempurna, tapi kita bisa mengubah diri untuk mempersiapkan hal baik yang ada di depan,” ungkap Indah.
Jangan beri stigma negatif pada broken home
Dilansir dari sebuah penelitian milik Sania Nurjannah (Universitas Islam Negeri Sumatera Utara) tahun 2018, broken home berhubungan dengan kesehatan mental seseorang. Saya pun kemudian menghubungi seorang psikolog untuk memperdalam tentang broken home.
“Broken home itu merupakan keadaan di mana orang berada dalam keluarga yang tidak utuh, diakibatkan oleh faktor perceraian, kematian anggota keluarga, atau keluarga yang tidak harmonis,” ungkap Asiska Danim Indranata (29), seorang psikolog yang sehari-hari praktik di Puskesmas Prambanan.
Menurut Siska, biasa ia dipanggil, semua keluarga pasti memiliki masalah. Hanya saja, kadar masalah itu yang berbeda-beda. Ada keluarga yang memiliki masalah berat, namun juga ada keluarga yang memiliki masalah ringan. Karena itulah, bertemu dengan seseorang yang berada di dalam keluarga broken home tidak boleh sok tahu atau asal menghakimi. Sebaliknya, ketika bertemu seseorang dengan keluarga broken home sebaiknya diberikan dukungan dan didengarkan ketika mereka bercerita.
Bagi Siska, jika memang berada di keluarga broken home, hal yang harus dilakukan adalah memikirkan langkah untuk masa depan bukan malah memberikan cap buruk pada diri sendiri.
Mereka yang tumbuh dalam kondisi keluarga broken home memang tidak bisa disamaratakan. Namun, menurut Siska, ada satu hal yang dibutuhkan oleh mereka, yaitu support system. Dukungan yang diberikan dapat bervariasi bentuknya, seperti mengajak bergabung di komunitas ataupun membuat kelompok kecil untuk saling bercerita.
Sebagai teman yang baik, kita tidak boleh memberikan stigma negatif pada orang yang berada dalam keluarga broken home. “Coba bayangkan, menjadi berada di keluarga broken home saja sudah diberi rasa sakit yang berasal dari keluarga, ditambah dengan kata-kata orang tua cerai karena nggak paham agama atau dicap masa depan suram, apa mereka nggak lebih sakit lagi, mungkin kalau di aplikasi Tiktok istilahnya kena mental,” ungkap Siska menjelaskan.
Sebuah pesan untuk kamu yang broken home
Berada dalam keluarga broken home sering kali berdampak pada prestasi yang menjadi menurun. Selain itu, ada kecenderungan untuk senang menyendiri. Karena itu, Siska menyarankan jika sudah muncul perasaan tidak nyaman, maka segera konsultasi pada psikolog. “Bukan karena psikolog biar laku, bukan begitu konsepnya, tapi kita harus tahu bahwa bercerita pada teman kadang tidak mampu melegakan masalah kita karena mereka tidak paham dengan kondisi mental yang kita hadapi,” ujar Siska terkekeh.
Selama ini, Siska sebagai seorang psikolog telah menangani beberapa dari mereka yang berada dalam keluarga broken home. Menurutnya, memang ada perbedaan ketika menangani anak, remaja, dan dewasa, karena tahap kematangan mental yang juga berbeda.
Broken home memang sering dikaitkan dengan sebuah pelarian. Namun bagi Siska, sebenarnya kata pelarian itu mengungkapkan cara seseorang dengan kondisi keluarga broken home untuk melepaskan diri dari masalahnya. “Jangan lari, kata pelarian itu konotasinya adalah pergi menjauh. Memang akan seberapa jauh larinya? Apa tidak capek kalau terus menerus berlari?” tanya Siska kepada mereka yang berada dalam keluarga broken home dan tidak bisa menerima keadaan keluarganya.
Menurut Siska, lebih baik menghadapi masalah dari pada meninggalkan masalah. Tidak ada cara terbaik dalam menghadapi masalah selain menyelesaikan dengan cara mencari hal yang positif dan yang disukai.
“Aku juga punya tips untuk menjaga kesehatan mental secara mandiri, yang pertama bisa dilakukan dengan mempunyai hobi atau kesenangan, yang kedua dengan mengukir prestasi, dan yang ketiga belajar dari kisah orang sukses yang latar belakang keluarganya broken home, contohnya Dian Sastro, pasti tahu kan, artis yang namanya pasti disebut di semua zaman,” jelas Siska dengan gayanya yang santai.
Sebuah pesan dari Siska untuk semua orang yang berada di tengah keluarga broken home, orang-orang yang rindu rumah yang nyaman. Sedih merupakan hal yang wajar, luka bisa disembuhkan, dan hidup harus tetap bertumbuh. Lakukan dengan memberikan kesempatan pada diri sendiri untuk melakukan hal yang positif, jauh lebih baik dari sebelumnya.
“Terima kasih sudah menjadi kuat dan tangguh. Kalian hebat!” pungkas Siska.
BACA JUGA Lagu Patah Hati dan Piknik di Kuburan: Sebuah Curhatan Wong Klaten yang Tinggal di Amerika dan liputan menarik lainnya di Mojok.