Menolak gabung pencak silat PSHT karena lebih tertarik dengan bela diri karate. Keputusan itu tak membuat menyesal narasumber Mojok karena karate cenderung jauh dari keributan. Ya meskipun dia sampai harus dimusuhi saudara sendiri.
Didoktrin PSHT sejak kecil
Bachtiar (21) punya kakak seorang warga PSHT. Usianya sekarang 30-an tahun. Sudah sejak SD Bachtiar menerima doktrin pencak silat PSHT dari sang kakak.
Misalnya, dalam beberapa momen, Bachtiar diajari sang kakak memeragakan kembangan, tendangan T, hingga cara memiting tangan dan menjatuhkan orang lain (misalnya dalam kondisi terancam).
Bahkan, ketika SMP, sang kakak terang-terangan mengajak Bachtiar ikut latihan rutin PSHT di daerahnya di Gresik, Jawa Timur.
“Sebagai laki-laki, harus bisa pencak silat. Penting untuk jaga diri,” begitu salah satu bujukan sang kakak.
“Dia juga sering bilang lah, PSHT itu salah satu pencak silat tertua di Indonesia,” jelas Bachtiar saat terhubung dengan Mojok, Rabu (9/7/2025) malam WIB. “Bahkan kerap dibumbui nuansa mistis, seperti kebal bacok lah, ada khodam pelindung lah, dan lain-lain. Bagi anak-anak desa kami, hal-hal semacam itu memang menggiurkan.”
Lebih-lebih, di desanya, anak-anak laki-laki yang ikut PSHT biasanya memang bisa “sok gagah”. Itu menjadi daya tarik lain: karena dengan ikut PSHT, seolah siap berhadapan dengan siapapun.
Tak siap dengan latihan keras PSHT
Saat itu, Bachtiar bimbang. Satu sisi tergiur, tapi satu sisi entah kenapa ada perasaan tidak siap untuk gabung dengan pencak silat yang berpusat di Madiun, Jawa Timur tersebut.
Beberapa kali Bachtiar melihat latihan langsung anggota pencak silat PSHT di desanya, di mana kakaknya menjadi salah satu yang melatih. Bachtiar mengakui, dia memang tertarik dengan beberapa gerakan perguruan tersebut: tampak luwes dan estetik.
“Dan kayak keren memang kalau sudah jadi warga. Pakai sabuk mori, wibawanya kelihatan,” ucap Bachtiar.
Namun, ada bagian yang membuat Bachtiar akhirnya memilih tidak begabung dengan ajakan sang kakak, yakni porses latihannya. Terlihat sangat keras, baik secara verbal maupun fisik.
Si warga bisa melayangkan pukulan dan tendangan ke ulu hati siswanya tanpa ampun dan seperti tanpa perhitungan. Jika ada yang tumbang, atau sesederhana salah gerak, bisa dibentak hingga kena makian.
Mental Bachtiar tidak terlalu siap untuk menerima itu. Dalam batinnya, memangnya tidak ada cara yang lebih humanis jika urusannya untuk menempa mental siswa?
“Selain itu, mesti kalau ada ribut-ribut di sekolah, kok ya melibatkan anak PSHT. Jadi citranya tukang bikin ribut,” tutur Bachtiar.
Baca halaman selanjutnya…
Dimusuhi kakak sendiri tapi tak nyesel karena jauh dari keburukan












