Rasa iri dengan teman-teman sebaya sudah Kodir (26), nama samaran, pendam sejak kecil. Hingga akhirnya ia terpaksa menjadi maling, jadi buronan polisi, bahkan masuk bui. Kalau meminjam kalimat Kodir, ia lelah punya orang tua miskin. Sehingga jalan berisiko—masuk penjara—pun ia ambil agar tetap bisa merasa relevan dengan teman-temannya.
***
Puncak lelah Kodir terjadi di masa kelas 3 SMP. Banyak temannya amat mudah mengganti sepatu, tas, atau buku tiap kali ada kerusakan atau ganti tahun ajaran. Sementara ia, selama sepatu atau tas jebol masih bisa dijahit, maka orang tuanya tidak akan pernah membelikannya sepatu atau tas baru.
Begitu juga dengan buku. Jika buku dari kelas 1 masih memiliki halaman-halaman kosong, maka buku itu masih harus Kodir gunakan lagi di kelas 2. Seragam pun, sudah sebuluk apa pun, asal masih muat ya berarti tidak akan dibelikan seragam yang lebih baru.
Kodir kerap merasa malu. Tapi mau bagaimana lagi. Kondisi orang tua yang miskin (lagi-lagi meminjam kalimat Kodir sendiri) membuatnya harus menjalani masa kecil-remaja dengan “puasa”: Banyak menahan keinginan.
“Bapakku tukang ojek. Ibuku ibu rumah tangga dan ya ngurus kebun palawija. Aku punya satu adik,” ungkap Kodir, Minggu (21/12/2025).
“Uang sakuku juga kecil dibanding teman lain. Di tahun segitu (2013-an), teman-teman sudah punya uang saku Rp5 ribu bahkan lebih. Aku cuma Rp3 ribu. Rp2 ribu buat ongkos naik angkot pergi-pulang. Rp1 ribu buat jajan,” kata pemuda asal Jawa Tengah itu. Alhasil, Kodir lebih sering ngiler ketika melihat teman-temannya bisa bolak-balik ke kantin sekolah.
Dikeluarkan dari sekolah dan kemuakan punya orang tua miskin
Saat itu, Kodir merasa amat muak dengan kondisinya—terutama atas orang tuanya yang tidak bisa memberi lebih. “Aku dari kecil selalu banyak nggak keturutan. Mainan aja aku nggak dibelikan. Kalau anak-anak lain ngerengek pasti orang tuanya luluh. Tapi kalau aku, mau nangis sampai suara habis dan air mata kering, nggak bakal dibelikan.”
Maka ia nekat mencuri uang di sekolah. Ia mencari-cari celah ketika suasana kelas kosong. Lalu ia akan menggeledah tas-tas yang tergolek di bangku-bangku kelas.
Dari uang-uang itu ia bisa membeli jajan banyak. Ia juga mulai sering mengajak temannya pergi ke rental PS.
“Rasanya ketagihan. Punya uang ternyata bisa buat aku menebus hal-hal yang nggak bisa orang tuaku kasih,” ucapnya.
Singkat cerita, karena mulai banyak yang meresahkan “uang hilang”, pihak sekolah pun melakukan penyelidikan. Hasilnya, Kodir mengakui kalau ia lah pelakunya. Di hadapan para guru, Kodir menyebut motifnya mencuri uang adalah karena lelah punya orang tua miskin.
Bagi para guru, mencuri tetap lah mencuri. Tidak ada toleransi. Akhirnya, ia pun dikeluarkan dari sekolah.
Tamparan bapak dan tangisan ibu, entah menyesali punya anak “maling” atau menyesali kalau mereka miskin
Orang tua Kodir kecewa berat. Kodir bahkan tidak disekolahkan orang tuanya lagi.
“Kalau bapak-ibu nggak miskin, aku pasti nggak akan jadi maling!” Teriak Kodir pada suatu malam ketika ia disidang di rumahnya dan baru saja menerima tamparan keras dari lengan besar bapaknya di pipi kiri dan kanan.
Teriakan Kodir itu nyaris memancing sang bapak melayangkan tamparan susulan. Tapi sang ibu meminta sang bapak berhenti sembari menangis tersedu. Entah menangis karena menyesali kelakuan sang anak (karena kabar dikeluarkannya Kodir dari sekolah gara-gara mencuri sudah tersebar di seantero desa) atau karena sadar bahwa mereka adalah orang tua yang gagal bagi Kodir.
“Yang jelas, malam itu chaos. Ibu berisik sekali menangis. Bapak berisik sekali marah-marah,” beber Kodir.
Maling kecil di desa hingga diusir
Kodir sempat dikurung lama di rumah. Maksudnya tidak boleh beraktivitas jauh-jauh dari rumah. Mungkin sang bapak ingin riuh suara-suara orang desa tentang Kodir yang jadi maling mereda dulu.
Beberapa bulan kemudian, banyak orang desa—khususnya tetangga Kodir—mengeluh sering kehilangan. Kehilangan ayam lah, spion motor lah, burung peliharaan, handphone, bahkan ada juga yang mengaku uang dan perhiasan mereka raib.
Tentu saja orang-orang langsung menaruh curiga ke Kodir. Tapi waktu itu ibu Kodir sampai muntab ke orang-orang yang menaruh curiga. Sebab, sepengetahuan sang ibu, Kodir sedang dalam masa dihukum. Selalu berada di rumah. Keluar pun pamit ke langgar dekat rumah.
“Mereka nggak tahu kalau aku sering menyelinap. Waktu Magrib, pas orang-orang ke langgar, aku masuk rumah tetangga, mencuri barang berharga. Atau lewat tengah malam, aku keluar rumah dari pintu belakang,” tuturnya.
Barang-barang hasil curian Kodir itu ia jual diam-diam di siang hari. Saat di mana sang ibu masih sibuk di kebun dan sang bapak masih di pangkalan ojek. “Cara pikir maling itu banyak siasat dan jeli melihat celah,” sambung Kodir.
Tapi jejak Kodir bukannya tak terendus. Banyak orang desa mengaku memergoki gerak-gerik mencurigakannya. Termasuk saat Magrib dan saat siang hari hendak menjual barang hasil curian ke pasar kecamatan.
Waktu itu, Kodir mengaku tengah menabung (dari hasil curian) untuk membeli HP. Sebab, di antara keirian Kodir yang lain terhadap teman-temannya adalah, mereka SMP sudah pegang HP sendiri. Sementara Kodir tidak.
Hingga suatu malam, seorang tetangga mengikuti langkah Kodir pada jam-jam menjelang Subuh. Ia pun tertangkap basah membobol jendela belakang rumah seorang warga desa.
“Aku diarak ke rumahku. Bapak-ibuku cuma bisa mematung dan menangis pasrah. Masih untung aku nggak dihajar. Mau dilaporkan polisi, tapi ibuku sampai sujud-sujud biar aku nggak dibawa ke polsek,” jelas Kodir. Setelah itu, ia diusir oleh sang bapak.
“Minggat! Jangan pernah balik lagi ke rumah ini!” Kalimat sang bapak itu terngiang jelas di telinga Kodir. Sementara sang ibu yang mencoba menahan kepergian Kodir tak punya kuasa lebih malawan kehendak bapak Kodir.
“Iya, aku minggat! Aku lelah hidup miskin! Capek punya orang tua miskin!,” balas Kodir waktu itu sembari menenteng tas meninggalkan rumah dan desa.
Membacok orang, jadi buronan polisi, hingga masuk penjara
Kodir sempat minggat ke Surabaya. Di sana ada beberapa saudaranya yang bekerja sebagai kuli bangunan. Kodir ikut mereka.
Cerita Kodir amat panjang kalau dituliskan seluruhnya. Tapi begitu lah kehidupan Kodir setelah diusir dari rumah. Ia hidup dari satu proyek ke proyek bangunan lain, sebagai kuli.
Setelah bertahun-tahun, persisnya ketika seumur anak kelas 3 SMA (2016), Kodir sempat pulang kembali ke rumah. Itu gara-gara ada saudara yang menitip pesan agar Kodir pulang. Kesalahannya sudah dimaafkan. Ibunya juga sudah sangat kangen.
“Ibuku seneng karena aku pulang. Tapi bapakku nggak. Aku dan bapak nggak ngobrol. Tapi bodo amat. Orang miskin aja songong,” ucap Kodir.
Banyak orang akhirnya melihat kalau Kodir sudah berubah. Ia dikenal sebagai pekerja keras, di usianya yang masih muda, saat anak-anak seusianya menikmati masa sekolah, bermain, dan minta duit dari orang tua. Walhasil, Kodir beberapa kali diajak nguli di kecamatan sekitar.
“Entah kenapa insting maling hidup lagi dalam diriku. Mungkin karena upah daerahku nggak sebesar upah nguli di Surabaya. Aku merasa kurang. Akhirnya aku mencuri lagi.” Bedanya dengan tahun-tahun sebelumnya, ia mencuri di desa lain, bukan di desa sendiri.
Sampai akhirnya, dalam sebuah momen pencurian yang nekat di desa sebelah, Kodir sampai membacok lengan kanan tuan rumah yang mencoba menggagalkan aksi pencuriannya (Untung lukanya tak serius dan orangnya tak terbunuh).
Kodir sempat jadi buronan polisi. Pelariannya ke Surabaya terlacak, hingga akhirnya dijebloskan di penjara selama 3 tahunan.
Menjauh dari rumah, selamanya
Bebas dari penjara pada 2019, Kodir memutuskan tak pulang ke rumahnya. Walaupun ia mendekam di penjara kabupaten asalnya di Jawa Tengah. Ia memutuskan menjauh dari rumah. Niatnya ya selamanya. Paling tidak sejak saat itu hingga hari ini.
“Aku bingung dengan perasaanku. Antara nggak mau mengecewakan orang tuaku terus-menerus, atau aku benci saja dekat dengan mereka. Karena gara-gara mereka miskin lah aku jadi seperti ini,” tutur Kodir.
Sekeluar dari penjara, Kodir sempat kesulitan mencari pekerjaan. Sebab, saudara-saudara yang pernah ia ikuti saat di Surabaya, mulai tak menaruh percaya padanya.
Tapi untung, ia punya teman dekat dari satu selnya di penjara. Bersama temannya itu ia kemudian hidup dari satu proyek ke proyek lain, dari satu kota ke kota lain, hingga sekarang. Kalau toh pulang ke kabupaten asal, Kodir lebih memilih menyewa kos alih-alih pulang ke rumahnya.
Saya terhubung dengan Kodir melalui adiknya. Karena hanya sang adik lah yang masih menjalin komunikasi dengan Kodir.
Di luar dugaan, tak alot mengajak Kodir berbincang. Ia menceritakan semuanya tanpa beban. Bahkan ia sempat meminta agar namanya tak perlu disamarkan.
“Namaku sudah nggak berarti. Aku sudah kehilangan banyak hal, terutama kepercayaan dari orang. Jadi silakan beritakan (tulis) saja semua, seterang-terangnya,” katanya.
Tapi biar lah orang tidak tahu identitas Kodir. Biar lah orang hanya “sebatas” tahu, bahwa cerita Kodir adalah realitas sosial-ekonomi masyarakat Indonesia—pedesaan—yang dekat dan nyata.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Mitos Kerukunan dan Hidup Ayem di Desa: Aslinya Penuh Kepalsuan, Baik di Depan tapi Busuk di Belakang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan














