Sebagai komikus asal Indonesia, Toni Masdiono menyadari bahwa perkembangan sastra anak karya penulis Indonesia masih tertinggal, bahkan sempat mandek selama hampir dua dekade pada tahun 80-an. Apalagi di masa itu, buku anak terjemahan seperti komik Jepang maupun Eropa membanjiri pasar Indonesia, hingga menyaingi karya populer seperti “Gundala Putra Petir” dari Harya Suraminata (Hasmi).
Terlebih, kata Toni, akses untuk membeli komik masih sulit baik dari segi jarak maupun biaya. Pemuda asal Malang itu bahkan harus pergi ke Surabaya untuk berburu komik.
“Setelah 1980 (buku anak karya penulis Indonesia) nggak ada yang benar-benar jelas karena sisa-sisa semua. Bahkan, saat saya masih kuliah pembahasan soal ini masih dianggap sepele,” kata Toni saat menjadi pembicara dalam Pameran Arsip dan Ilustrasi Putek Umpet Sastra Anak, Jogja, Minggu (9/11/2025).
Sampai kemudian pertanyaan tentang buku anak terus berkembang, salah satunya “apa yang membedakan buku anak Indonesia dengan buku anak karya luar negeri?”
Buku anak Indonesia vs karya dari luar negeri
Toni berujar justru yang menjadi pembeda utama buku anak Indonesia dengan karya luar negeri, khususnya komik bukanlah dari sisi gambar, melainkan dari alur cerita yang dibangun.

“Sebetulnya yang membedakan semua itu adalah mindset, yakni cara berpikir dan tindak tanduk. Kalau di Jawa ada unggah-ungguh. Artinya, cerita bisa dibangun lewat bagaimana keseharian hidup orang Indonesia dalam berperilaku dan berpikir,” ucap Toni.
Toni menjelaskan, baik seorang kreator, komikus, maupun penulis buku anak tentu memiliki sesuatu yang unik–hanya ada dalam dirinya. Misalnya, gestur tubuh yang berbeda dengan orang selainnya. Sementara itu, mindset berbicara soal cara orang Indonesia dalam menyelesaikan masalah.
“Beberapa cerita anak di Hongkong misalnya, menunjukkan bahwa penyelesaian masalah harus dengan bertengkar, sedangkan di Indonesia lebih banyak dialog. Beda lagi dengan komik Eropa yang selalu menggambarkan petualangan tokoh keliling dunia,” ucap Toni.
Meski begitu, kata Toni, ide cerita untuk membuat sebuah buku anak maupun komik bisa diambil dari mana saja. Sebab, kata dia, cerita di sekitar masyarakat sebetulnya tak banyak berubah. Misalnya, soal bullying, diskriminasi, dan sebagainya.
Cerita anak harus mengakar dengan bumi Indonesia
Selain Toni, Djokoleono selaku sastrawan sekaligus penulis buku anak asal Indonesia juga turut membagikan tipsnya dalam diskusi. Ia berujar bahwa buku anak Indonesia harus berpijak pada cerita yang mengakar dengan bumi Indonesia.
“Bukan hanya situasi atau lingkungannya, tapi orang-orangnya. Jadi kalau kita mau cerita soal kehidupan orang desa misalnya, sampaikan kalau ada ayam berkokok dan suara beduk subuh,” ucapnya.
Joko menjelaskan penulis juga bisa memberikan sentuhan-sentuhan kejadian yang hanya ada di Indonesia. Misalnya, seorang ibu yang mengendarai sepeda motor, lalu memberi tanda lampu sein kanan padahal belok kiri. Atau fenomena “bus telolet” yang hanya terjadi di Indonesia.
Kedua, penulis harus bisa menunjukkan karaker orang Indonesia dalam penokohan. Misalnya, sifat gotong royong, saling peduli, atau korupsi. Ketiga, menyajikan kearifan lokal dalam cerita.
“Kalau di Jawa, budayanya kental dengan ‘unggah-ungguh’. Ada juga istilahnya ‘tepo seliro’, ‘nguwongke uwong’, ‘gugon tuhon’, atau kalau lagi hujan ada nasihan untuk meletakkan celana dalam di luar agar hujannya berhenti,” kata Djoko.
Keempat, menunjukkan keberagaman suku yang tidak perlu didramatisir, sehingga terjadi secara alamiah. Kelima, menggunakan bahasa yang tidak terlalu baku tapi bisa menghidupkan cerita.
Tantangan kreator dalam membuat karya di zaman sekarang
Joko pun tak menampik jika tantangan mengembangkan buku anak Indonesia semakin kompleks, terutama di era Gen Z. Sebab, kata Joko, Gen Z saat ini jauh lebih mandiri dan pintar dalam memperoleh informasi.
“Kalau ngomong soal Gen Z itu benar-benar di luar pikiran saya juga, karena mereka sudah terpapar dengan kemajuan teknologi yang makin pesat, sehingga hampir segala macamnya mereka tahu,” ucapnya.
“Karena itu, sejujurnya pertanyaan ini mengerikan bagi pengarang-pengarang besar.” Lanjutnya.
Sementara itu, sebagai orang yang lahir di tahun 1961, Toni pun masih harus mengikuti perkembangan zaman jika ingin membuat suatu karya. Salah satunya dengan menonton drama korea (drakor). Baru-baru ini, lulusan seni grafis Institut Teknologi Bandung (ITB) itu tertarik dengan drakor berjudul “Bon Appetit, Your Majesty”.
Drakor itu bercerita soal tokoh perempuan yang berperan sebagai chef Prancis. Ia tidak sengaja melakukan perjalanan waktu ke masa lalu dan harus memasak untuk raja yang kejam di era Joseon.
“Jadi dari cerita itu, meskipun terasa dicampur-campur semuanya, tapi ternyata ceritanya tetap menarik,” ucap Toni.
Toni pun pernah diminta membuat suatu proyek yang mengadopsi cerita anak dari cerita-cerita lawas. Namun, kebanyakan cerita itu sudah tidak relevan dengan anak-anak zaman sekarang. Oleh karena itu, ia menegaskan agar penulis buku anak harus tegas dalam menentukan sasaran pembaca.
“Jadi memang, membuat sesuatu yang relevan itu adalah jawaban yang paling pas. Kalau kita buat ke anak-anak sekarang, ya kita mesti berbicara dengan anak-anak sekarang.” Ujar Toni.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Mentor Animasi Hizaro, Pemuda Sederhana dari Jogja yang Merawat Industri Animasi di Indonesia seperti “Anak Sendiri” atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan