Beruntunglah orang-orang yang memiliki orangtua dengan ketulusan dan keluasan hati dalam menerima setiap kondisi yang dihadapi sang enak. Karena di luar sana, ternyata ada orangtua yang tidak demikian. Misalnya yang Jaza (25) alami. Usai menjadi lulusan universitas alias sarjana, bapaknya justru menuntut “ganti rugi” atas biaya mahal yang telah dikeluarkan semasa kuliah Agil gara-gara dia menjadi pengangguran.
***
Sebanyak 1,01 juta sarjana (lulusan universitas) di Indonesia dalam situasi susah cari kerja alias menjadi pengangguran. Begitu bunyi rilis Badan Pusat Statistika (BPS) yang dilaporkan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli, dalam Kajian Tengah Tahun INDEF 2025 pada Rabu, (2/7/2025) di Jakarta.
Angka itu di satu sisi melegakan Jaza. Sebab, selama ini dia merasa tersudut sendiri. Menjadi lulusan universitas yang kelimpungan mencari kerja. Namun, di sisi lain, data itu juga menjadi ironi. Pasalnya, data itu semakin membenarkan sang bapak untuk terus menyudutkannya.
Bagi bapak, kuliah hanya buang-buang waktu dan uang
Pemuda asal Madura itu lulus kuliah pada 2023 lalu. Jauh sebelumnya, Jaza mengaku sebenarnya keinginannya untuk kuliah sempat ditentang keras oleh sang bapak.
Bagi bapak Jaza, kuliah tidak ada bedanya dengan sekolah (SMP atau SMA). Hanya belajar pengetahuan yang tidak praktis. Bapak Jaza lebih menghendaki anaknya tersebut lulus SMA langsung merantau untuk bekerja, ke daerah paling jauh sekalipun.
Apalagi memang orang-orang Madura dikenal sebagai komunitas perantau yang tersebar nyaris di seluruh daerah Indonesia. Mereka rata-rata berniaga: warung makan, membuka kelontong, bahkan membuat bisnis jual beli barang bekas.
Hasilnya, setidaknya bagi bapak Jaza, kebanyakan bisa dibilang sukses secara materi. Ambil contoh warung Madura. Beberapa pemberitaan menyebut, warung Madura bisa meraup omzet puluhan juta perbulan.
“Menurut bapak, begitu lebih produktif, karena capeknya menghasilkan uang. Sementara kalau kuliah, nggak produktif. Waktu hilang, uang keluar banyak, cuma dapat pengetahuan di kepala. Tapi nggak ada uang yang masuk. Sementara hidup butuh uang,” kata Jaza, Kamis (3/7/2025) pagi WIB.
“Kata bapak, kalau untuk nambah wawasan, sekarang zaman sudah canggih. Bisa lewat YouTube, internet,” sambungnya.
Tertolong ibu meniti jalan menjadi sarjana
Untungnya, sang bapak luluh dengan bujukan ibu Jaza. Entah bagaimana cara membujuknya, Jaza tidak tahu. Yang dia tahu, kemudian bapak Jaza—meski dengan agak enggan—sudi membiayai kuliahnya.
Alhasil, Jaza pun bisa meniti jalan untuk menjadi sarjana. Dia kuliah di sebuah kampus negeri di Surabaya, mengambil jurusan Ilmu Politik.
“Madura punya tokoh Mahfud MD. Aku juga suka dengan isu politik nasional maupun global. Jadi aku ambil jurusan itu. Siapa tahu kelak bisa jadi politisi ulung, bisa membanggakan orangtua dari situ, bisa buktikan ke bapak kalau lulusan universitas bisa sukses,” kata Jaza.
Jaza kuliah sepenuhnya mengandalkan biaya dari sang bapak. Meski kadang sang bapak agak kesal karena harus keluar uang banyak untuk kiriman bulanan atau UKT, tapi toh tetap dikirim juga.
Tapi Jaza juga tahu diri. Dia memutuskan kuliah dengan serius. Meraup ilmu sebanyak-banyaknya dari mana saja. Tidak hanya dari bangku kelas, tapi juga dari beragam organisasi yang dia ikuti. Berbagai judul buku pun di lahap.
Baca halaman selanjutnya…
Lulus kuliah jadi pengangguran, bapak tuntut ganti rugi
Jadi sarjana pengangguran, bapak minta “ganti rugi”
Jaza lulus pada 2023 lalu. Setelah menjadi sarjana, hari-harinya malah semakin berat karena terus tersudut oleh sang bapak.
Jaza sempat ikut CASN pada 2024. Sayangnya dia tidak lolos sehingga masih harus menganggur. Di saat bersamaa bapaknya terus-menerus menyudutkan, “Lulusan unversitas nganggur. Susah cari kerja. Cuma buang-buang uang.”
“Ternyata nggak semudah bayanganku, kalau jurusan politik, nanti lulus akan mudah cari pekerjaan yang berhubungan dengan politik,” ungkap Jaza. “Teman organisasiku ada yang berkiprah di partai. Ikut nempel politisi. Tapi aku minta dibukakan jalan dia nggak bisa.”
Maka, Jaza sempat mencoba mencari-cari pekerjaan formal lain. Paling tidak jika dia sudah bekerja, bapaknya tidak akan terus-menerus menyudutkan.
Tapi nyatanya juga tidak mudah. Sebab, rata-rata lowongan kerja formal hanya membuka untuk jurusan ekonomi atau akuntansi, teknik, atau desain. Bidang yang tidak begitu Jaza dalami.
Di titik itu, Jaza berpikir untuk menjadi dosen. Tapi untuk itu, dia harus menempuh Magister terlebih dulu. Dia sempat mengutarakan niatnya tersebut pada sang ibu. Lalu ketika sang ibu mencoba membicarakan kepada bapak Jaza, respons yang keluar dari sang bapak justru kalimat-kalimat menyakitkan.
“S1 saja sudah banyak buang uang tapi susah juga cari kerja, masih mau S2? Kalau cuma nganggur terus, kapan kamu bisa gantian memberi uang ke bapak? Uang bapak sudah terkuras untuk kuliah itu, rugi, investasi bodong,” begitu ucapan sang bapak yang membuat Jaza tercenung, sementara ibunya hanya bisa menangis sesenggukan.
Mencari cara ganti rugi, tapi masih buntu
Jaza menangkap ucapan sang bapak sebagai tuntutan ganti rugi. Karena rasa-rasanya sang bapak menganggap membiayai kuliah Jaza adalah bentuk investasi, sehingga harus ada timbal balik yang lebih besar.
Kini Jaza bekerja di Surabaya, sebagai pekerja swasta. Hanya saja, gajinya tidak menyentuh UMR.
“Positip masih disinggung. Karena gaji kecil nggak mungkin bisa ngasih balik ke orangtua di rumah. Hanya bisa untuk diri sendiri,” katanya.
Jaza sempat tergiur dengan kabar-kabar kalau omzet warung Madura bisa puluhan juta perbulan. Bahkan, penjaga warung bisa menerima gaji jutaan perhari. Dia ingin bekerja sebagai penjaga warung Madura.
Persoalannya, rata-rata warung Madura—sejauh penemuannya—mempekerjakan keluarga atau orang terdekat. Sedangkan jaza tidak punya keluarga atau orang dekat yang menggeluti bisnis tersebut.
“Tapi aku ada paman yang sukses di Jakarta menurut ukuran orang desaku, bisnis jual beli barang bekas. Pilihan terakhir mungkin aku bakal minta bantuan ke sana, walaupun masih buntu juga mau seperti apa nanti. Sambil terus cari-cari peluang, siapa tahu ijazah ilmu politikku bisa mengubah hidupku,” tutup Jaza.
Adakah solusi konkret untuk lulusan universitas yang susah cari kerja?
Menaker Yassierli menyebut, pemerintah saat ini sedang berupaya mengatasi pengangguran di Indonesia yang jumlahnya totalnya di angka 7,28 juta.
“Sudah jelas bahwa pemerintah, Pak Presiden, memiliki program prioritas yang menghabiskan sekian ratus triliun. Kita masih banyak wait and see,” ujar Yassierli di hari yang sama dengan Kajian Tengah Tahun INDEF 2025.
Salah satu program yang Yassierli maksud adalah Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih yang ditargetkan beroperasi pada 2025 ini.
Menurut Yassierli, program tersebut bisa jadi salah satu solusi menciptakan lapangan kerja baru untuk mengurangi pengangguran.
“Kalau seandainya pengelola, karena koperasi itu nanti ada pengelola, ada pekerja, 25 orang saja dikali 80.000 itu sudah 2,5 juta, 2 juta sekian (lapangan kerja terbentuk),” sambungnya.
Belum program-program lain yang sedang pemerintah siapkan.
Lulusan universitas pilih-pilih kerja dan gaji?
Di lain sisi, sebagaimana mengutip Kompas, Wakil Kementerian Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer menyebut, minimnya lapangan kerja tidak menjadi faktor tunggal dari maraknya sarjana menganggur.
Dia menilai, kerap kali lulusan universitas pilih-pilih gaji dan perusahaan yang diincar. Bahkan, ada juga sarjana yang tidak memiliki kompetensi sesuai kebutuhan industri. Alhasil, banyak sarjana berakhir menjadi pengangguran.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Tinggalkan Skripsi demi Jadi Penjaga Warung Madura, Cuannya bikin Gelar Sarjana Terasa Tak Guna atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
