Audisi Umum PB Djarum 2025 selalu menyimpan cerita tak biasa. Salah satunya dari Maritha, peserta asal Semarang yang punya kisah dengan raket murah pemberian simbah.
***
Di antara ratusan anak dengan raket-raket mahal dan tas berlogo brand ternama, seorang gadis kecil tampak menonjol dengan raket tuanya. Cat raket itu sudah mengelupas, pegangannya sobek, bahkan shock-nya pernah dijahit ulang. Tapi justru raket itulah yang ia genggam paling erat.
Namanya Maritha Khazania Julianny. Usianya 12 tahun. Ia datang dari Semarang bukan hanya sebagai peserta Audisi Umum PB Djarum 2025, tetapi juga sebagai cucu yang membawa bukti kasih sayang kakeknya ke lapangan bulu tangkis.
Riuh GOR Jati dan ribuan mimpi
GOR Jati, Kudus, Rabu (10/9/2025) sore itu riuh. Udara di dalam gedung terasa sedikit gerah meski pendingin ruangan sudah dinyalakan. Bunyi kok beradu dengan raket terdengar bersahut-sahutan.
Sorak sorai orang tua yang memenuhi tribun, sesekali bercampur dengan suara decit sepatu di lantai kayu.
Momen itu merupakan hari ketiga Audisi Umum PB Djarum 2025. Sejak Senin, total 1.726 peserta telah bertanding di fase screening. Satu per satu peserta sudah pulang lebih awal, dan kini hanya ratusan yang tersisa untuk memperebutkan Super Ticket—tiket istimewa menuju tahap seleksi berikutnya.

Bagi sebagian anak, audisi ini adalah panggung pertama mereka. Bagi yang lain, kesempatan langka untuk dilirik pelatih-pelatih terbaik. Semua datang dengan mimpi besar: menjadi atlet nasional, mengangkat piala, dan suatu hari mengharumkan nama Indonesia.
Di tengah hiruk pikuk itu, Maritha terlihat berbeda. Raket yang ia genggam bukan raket baru seharga jutaan, melainkan raket sederhana pemberian kakeknya, seorang penjaga GOR di Semarang.
Raket Rp150 ribu yang jadi sejarah
Kisah raket ini bermula lima tahun lalu, saat Maritha berusia tujuh tahun. Suatu sore, kakeknya mengajaknya menonton pertandingan bulu tangkis amatir atau tarkam di GOR tempat ia bekerja.
Maritha kecil awalnya hanya duduk di bangku penonton, tapi matanya tak pernah lepas dari kok yang melayang dan smash keras para pemain.
Melihat cucunya terpikat, sang kakek tergerak hatinya. Dari gajinya sebagai penjaga GOR, ia sisihkan Rp150 ribu untuk membelikan Maritha sebuah raket.
Tidak ada merek ternama. Tidak ada tas khusus.
Hanya raket sederhana yang kemudian menjadi pintu masuk bagi Maritha mengenal dunia bulu tangkis.
“Ini raket dari simbah,” ucap Maritha pelan, sambil tersenyum kecil. Matanya berbinar, seakan raket itu punya nyawa.

Sejak hari itu, raket pemberian simbah ini selalu menemaninya berlatih. Sore hingga malam, Maritha berlari di lapangan, memukul kok berkali-kali, ditemani suara pelan kakeknya yang sesekali memberi semangat.
Kata Heni, bibi Maritha yang sore itu menemani keponakannya bertanding di Audisi Umum PB Djarum 2025, tak ada pelatih profesional. Maritha tak berlatih di klub manapun. Ia cuma latihan di sekolah, “berbekal niat dan kebersamaan.”

Dari GOR kecil ke panggung Audisi Umum PB Djarum
Berkat ketekunan, raket murah yang sudah usang itu malah membawa Maritha meraih banyak prestasi.
Heni bercerita, keponakannya itu telah menjuarai Pekan Olahraga Daerah (Popda) Tingkat SD se-Kabupaten Demak sebanyak dua kali, menyabet dua gelar juara Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) se-Kabupaten Demak, serta memenangkan beberapa kompetisi antarsekolah hingga Kejuaraan Bulu Tangkis se-Kota Semarang.
“Aduh, saking banyaknya sampai nggak bisa mengingat, Mas,” kenangnya.
Hadiah dari berbagai turnamen perlahan ia tabung. Dari situ, Maritha mampu membeli raket lain. Bahkan, ada yang harganya mencapai Rp750 ribu.
Namun, entah mengapa, raket pemberian kakeknya tetap jadi andalan. Bukan karena kualitasnya, melainkan karena cerita yang melekat di dalamnya.
Entah kebetulan atau bukan, tiap kali pakai raket mahal untuk berkompetisi, performa Maritha selalu flop. Tapi ketika memakai raket lama pemberian kakeknya, ia selalu bisa tampil maksimal. Makanya, raket lain ia gunakan saat latihan, sedangkan saat kompetisi tiba ia memilih memakai raket kesayangannya tadi.
“Merasa nyaman kalau pakai raket ini,” kata atlet cilik yang memang hemat kata-kata ini.
Atmosfer audisi yang penuh tekanan
Hari itu, ratusan pasang mata menyaksikan setiap gerakan Maritha di lapangan. Tangannya gesit, langkah kakinya lincah, dan setiap pukulan koknya terarah. Harus diakui, smash-nya begitu kencang.
Maritha memang tak dibina di klub profesional mana pun. Namun, sejak Senin-Rabu, ia selalu bisa menyingkirkan lawan-lawan yang lebih diunggulkan. Kebanyakan dari mereka adalah atlet cilik binaan klub lokal.
Di pertandingan pertama, Senin (8/9/2025), ia berhasil mengalahkan Ainun April Al Farras dari klub PB Champion Kudus dengan skor 21-9.
Sehari berselang, Selasa (9/9/2025) ia menjalani dua pertandingan sekaligus. Dua-duanya menang mudah. Yang pertama atas Olivia Almiron dari klub Star Badminton Club dengan skor 21-13. Yang kedua menang 21-11 melawan Qiana Aspina Putri asal PB Champion Kudus.
Pada hari ketiga, Rabu (10/9/2025), Maritha kembali melenggang. Ia menang dua set langsung (21-18, 21-11) atas Wahyu Nur Fajriani asal BBC Limpung, Batang. Semua lawan di Audisi Umum PB Djarum dikalahkan berbekal raket lama pemberian kakeknya.

Sayangnya pada hari keempat, Kamis (11/9/2025), langkahnya terhenti. Ia kalah dari Shallom Angelica Sari asal klub Champion Klaten (8-21, 10-21).
Pulang dari Audisi Umum PB Djarum 2025 dengan kepala tegak
Meskipun kalah, Maritha tetap pulang dengan kepala tegak. Pasalnya, atlet yang mengalahkannya, memang menjadi unggulan di ajang seleksi ini. Klub Champion Klaten memang langganan juara, dalam Kejuaraan Mitra PB Djarum maupun kompetisi lain.
Apapun hasilnya, kisah Maritha adalah pengingat sederhana. Di tengah modernitas peralatan olahraga dan gempuran merek ternama, ada hal yang jauh lebih berharga: kenangan, ketulusan, dan cinta.
Pelatih dan penonton mungkin melihat Marita sebagai peserta Audisi Umum PB Djarum biasa. Tapi bagi Heni, setiap langkah kaki kepnakannya di GOR Jati adalah lanjutan dari perjalanan panjang yang dimulai dari sebuah raket murahan.
“Yang penting itu bukan raketnya, tapi niat sama semangatnya,” kata Heni.
Siang itu, Kamis (11/9/2025) setelah pertandingan usai, Maritha menepuk-nepuk raketnya pelan. Tangannya kecil, tapi genggamannya kuat. Seolah ia tahu, perjalanan panjangnya baru saja dimulai.
Setelah ini, masih ada banyak kompetisi yang siap ia taklukkan dengan raket murah pemberian simbah.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Tak Minder Pakai Raket Murah, Meski Seadanya tapi Bisa Beri Kebanggaan pada Orangtua di Lapangan Bulu Tangkis atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.















