Bukan dari perguruan pencak silat PSHT, tapi dari SH Winongo alias PSHW. Namun, kerena sesama SH, sering kali orang PSHW ikut kena imbasnya ketika PSHT menjadi sorotan karena menjadi biang kerusuhan.
Seperti rentetan kasus yang belakangan terjadi. PSHT menjadi sorotan karena beberapa hal: Satu, konvoi di Tulungagung yang sampai menewaskan seorang ibu-ibu. Dua, pembentangan spanduk besar perguruan di Jepang. Tiga, konvoi di Malang yang menyebabkan salah satu anggota pencak silat tewas karena tertusuk.
SH Winongo (PSHW), mencoba mengembalikan citra luhur pencak silat
Widadi (26), bukan nama asli, adalah anggota pencak silat SH Winongo (PSHW). Pemuda asal Ponorogo, Jawa Timur, itu mengaku beberapa perguruan pencak silah SH Winongo di level akar rumput sudah mencoba menertibkan anggotanya.
Misalnya dalam momen latihan, selalu ditekankan perihal nilai-nilai luhur dari perguruan yang secara historis sebenarnya tunggal guru dengan PSHT itu. Malah jika ada anggota yang bikin rusuh, maka akan ditatar habis-habisan.
“Karena sudah ditekankan, ilmu bela diri bukan itu bukan untuk sok jagoan. Tapi kendalikan diri. Ilmunya untuk berbuat baik, bukan merugikan lingkungan atau orang lain,” kata Widadi kepada Mojok, Minggu (6/7/2025).
“Ya masih ada satu atau dua anggota yang terlibat kerusuhan. Tapi ya tadi, di daerahku, para sesepuh ingin mengembalikan citra luhur pencak silat sebagai budaya asli Indonesia,” sambungnya.
Upaya panjang mengakhiri konflik dengan PSHT
Bertahun-tahun, perseteruan antara SH Winongo (PSHW) dengan PSHT seperti tidak berujung. Sering kali didasari karena persoalan klaim “siapa paling tua” antara dua perguruan pencak silat tersebut.
Akan tetapi, di Jawa Timur, pada Juli 2023 lalu sempat ada deklarasi damai antara SH Winongo dengan PSHT di Ponorogo dan Blitar demi menciptakan situasi damai di lingkungan masyarakat.
“Sejak itu, ya sudahlah, nggak usah ada lagi geger-geger antarperguruan pencak silat. Fokusnya bukan lagi sangar-sangaran atau tua-tuaan, tapi sama-sama mendidik anggota dengan nilai-nilai luhur dari para pendiri perguruan,” jelas Widadi.
Widadi tak memungkiri, di daerahnya, sering kali masih ada sensitivitas antara SH Winongo dengan PSHT. Di titik tertentu juga memicu keributan kecil. Namun, jika dibanding sebelum-sebelumnya, situasi itu jauh lebih terkendali karena tidak sampai memicu bentrokan besar yang yang sudah-sudah selama ini.
Baca halaman selanjutnya…
Selalu kena imbas gara-gara PSHT sering berulah
SH Winongo (PSHW) selalu kena imbas ulah PSHT
Yang Widadi sesali kemudian, misalnya seperti kasus-kasus yang belakangan mencatut nama PSHT, nama SH Winongo—setidaknya yang terjadi pada Widadi—ikut terkena imbasnya.
“Ada lah anggota baru yang akhirnya dilarang orangtuanya latihan sama kami,” kata Widadi.
Meski sudah dijelaskan bahwa yang terjerat kasus adalah PSHT, tapi orangtua sudah kadung menganggap kalau SH Winongo (PSHW) dengan PSHT saling terkait. Karena sama-sama berlabel “Setia Hati” (SH).
Tak hanya itu, di lingkungannya maupun di media sosial, dia melihat kemarahan bahkan kebencian publik kini mengarah pada SH. Pokoknya asal labelnya SH, pasti panen caci maki.
“Kalau begini-begini kan disayangkan juga. Satu perguruan yang berulah, eh perguruan lain yang dianggap punya kaitan hanya gara-gara nama jadi ikut kena,” keluh Widadi.
Sementara, dalam konteks SH Winongo di desa Widadi, sedang berupaya mengembalikan citra luhur perguruan pencak silat yang makin ke sini makin minor di mata publik.
Ancaman membubarkan pencak silat
Kata Widadi, kerusuhan yang terus-menerus melibatkan perguruan pencak silat—yang sering kali melibatkan PSHT—akhirnya pun tidak hanya berimbas pada SH Winongo (PSHW) yang pada dasarnya memang tunggal guru.
“Perguruan pencak silat lain kan juga kena cap buruk dari masyarakat,” kata Widadi.
Jika melihat konten-konten di media sosial, warganet sudah tidak lagi menudingkan jari telunjuk pada nama perguruan pencak silat yang terbukti berbuat rusuh. Tapi langsung menyasar “pencak silat” secara umum.
“Misalnya, ada yang bilang, perguruan-perguruan pencak silat ini dibubarkan saja. Sudah nggak ada manfaatnya, cuma bisa bikin onar,” tutur Widadi.
Bagi Widadi, tentu akhirnya membuat sesak di hati, ketika pencak silat sebagai salah satu warisan nenek moyang dan bela diri asli Indonesia, justru dianggap sebagai ancaman sehingga harus dibubarkan, alih-alih dilestarikan.
Fokus prestasi, bukan adu sangar
Pencak silat sebenarnya menjadi salah satu cabang olahraga yang mendapat tempat di level internasional. Di tingkat ASEAN (misalnya), Indonesia selalu mengirim atlet-atlet untuk tampil di SEA Games.
Turnamen tinggat pelajar dan mahasiswa pun tidak hanya berhenti di level daerah maupun nasional, tapi juga ASEAN.
“Selama ini, latihan keras yang diberikan di beberapa perguruan, terutama PSHT dan PSHW, itu justru melahirkan orang dengan karakter sok jagoan. Orientasinya sangar-sangaran,” beber Widadi.
Oleh karena itu, ada metode dan paradigma yang perlu diluruskan oleh perguruan silat manapun. Satu, tentu menekankan nilai luhur perguruan yang, Widadi yakin, pasti selalu mengarah pada misi menjaga kedamaian.
Dua, menekankan bahwa pencak silat bukan bela diri untuk semata berkelahi. Cara pandang ini, menurutnya, menjadi sebab kenapa banyak anggota pencak silat di daerahnya pengin adu kekuatan melalui bentrokan antarpeguruan. Karena orientasinya adu siapa kuat, siapa paling jago dalam berkelahi.
“Kita fokus lah di bagaimana menjadi pesilat yang profesional dan berprestasi. Bahwa bekal dari perguruan itu bisa dibawa untuk ikut turnamen dan sejenisnya,” tegas Widadi.
“Bahkan kalau jadi pesilat profesional, bisa jadi sosok seperti Yayan Ruhian atau Iko Uwais yang sekarang malang melintang di industri film, nggak cuma film Indonesia, tapi Hollywood, loh,” tutupnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pacaran sama Pendekar PSHT: Dulu Merasa Bangga dan Keren Punya Pacar Jago Gelut, Setelah Putus Eh Imbasnya Nggak Hilang-hilang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
