Kiai atau pengasuh di beberapa pondok pesantren ada yang berperan menjadi jembatan perjodohan santri-santriwati. Bahkan ada pesantren yang menjadi jujukan masyarakat umum yang mencari pasangan dari santriwati. Ada yang berakhir bahagia. Tapi ada juga yang berakhir tak semestinya.
***
Usia Abida (20), nama samaran, baru menginjak 19 tahun saat seorang laki-laki berumur 30-an tahun dikenalkan sebagai calon suaminya. Abida tak mengenalnya. Sebelumnya pun belum pernah bertemu.
Suatu hari, orang tua Abida dipanggil sang kiai datang pondok pesantren tempat Abida menimba ilmu. Abida tak terlibat dalam obrolan.
Lalu barulah dia tahu kalau dia hendak dijodohkan. Di lubuk terdalam, Abida sebenarnya menyadari kalau dia belum siap menikah. Dia masih ingin menikmati masa remaja sebagaimana remaja pada umumnya.
“Tapi kami dididik kalau pilihan kiai pasti bertujuan baik. Dan memang begitu, Mbah Kiai bilang kalau jodoh sudah ada, lebih baik cepat menikah biar lekas punya mahram, jauh dari fitnah zina,” ucap perempuan asal Jawa Tengah itu, Senin (6/10/2025).
Perjodohan di pondok pesantren, diming-imingi pasangan saleh
Tak ada waktu untuk berpikir dan menimbang. Laki-laki yang datang di suatu siang di ruang tengah rumah kiai itu sudah dikenalkan sebagai “calon suami”. Saat kiai dan orang tua Abida bertanya, “Piye, nduk? (Gimana, nak?”, Abida hanya bisa diam menunduk.
Sejujurnya dia membutuhkan waktu untuk berbicara dengan diri sendiri. Akan tetapi, diam dianggap sebagai tanda “setuju”, baik dalam keumuman Jawa maupun hukum Islam—sebagaimana hadis riwayat Imam Muslim nomor 421:
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid: Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Sa’d, dari ‘Abdullah bin Al-Fadhl, ia mendengar Naafi’ bin Jubair mengkhabarkan dari Ibnu ‘Abbaas: Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ats-tsayyibu (janda) lebih berhak kepada dirinya sendiri dibandingkan walinya. Adapun seorang gadis dimintai izin, dan izinnya itu adalah dengan diamnya.
“Mbah Kiai hanya menjamin kalau calon suamiku itu laki-laki saleh. Apa yang lebih baik dari itu?,” kata Abida mengingat momen itu.
Pernikahan pun lekas terjadi dalam nuansa sederhana. Dalam pidatonya, kiai pondok pesantren itu mendoakan agar keluarga Abida penuh berkah. Kendati usia terpaut jauh, kalau jodoh pasti akan hidup bahagia.
Apalagi, Abida akhirnya juga mendapat cerita-cerita serupa. Alumni-alumni di pesantren tersebut juga kerap mengikuti perjodohan dari sang kiai. Hasilnya, mereka beranak pinak dan langgeng sampai sekarang.
Saleh tapi kalau kasar dan malas kerja, bikin menderita
Belum genap satu tahun, Abida sudah mengeluhkan pernikahannya. Makan hati.
Dia mengamini kalau suaminya rajin salat. Namun, bagi Abida, rajin salat saja buat apa kalau sehari-hari suka berkata kasar kepada istri. Abida teramat kenyang dibentak-bentak hanya karena persoalan sepele.
Selain itu, Abida merasa ekonominya serba kekurangan. Pasalnya, sejak awal Abida tak tahu-menahu soal bibit-bebet-bobot secara detail dari si calon suami. Kiainya hanya meyakinkan kalau keluarganya akan penuh keberkahan.
“Dulu tahuku dia kerjanya bisa serabutan. Tapi selama kami nikah, dia kerja bisa dihitung jari. Bukan karena nggak ada kerjaan, ada, tapi antara setengah jalan dia berhenti, atau pas diajak nguli gitu misalnya menolak,” beber Abida.
Karena perut harus terisi dan suami yang rokoknya nyepur, Abida sampai berinisiatif jualan cilok. Awalnya, dia mengajak sang suami jualan: Abida yang membuat ciloknya, sang suami yang nanti menjajakan keliling. Tapi si suami menolak. Alasannya, malu. Nanti dia akan mencari pekerjaan.
Sayangnya hal itu tidak pernah terjadi. Abida makin menderita. Apalagi dia masih harus membebani orang tuanya: Minta bantuan beras, ikan, dan lain-lain jika Abida benar-benar tak pegang uang sama sekali.
Pernikahan itu tak berlangsung lama. persis setahun, Abida meminta berpisah dan masih menyimpan trauma soal pernikahan. Lebih-lebih dengan konsep perjodohan.
Pondok pesantren makelar jodoh
Setelah hampir enam tahun nyantri, Zabila (24), bukan nama asli, akhirnya tahu kalau pondok pesantren tempatnya bermukim selama ini menjadi “makelar jodoh”.
“Perjodohannya bukan antar-santri. Tapi misalnya, ada orang kampung belum dapat pasangan, tinggal sowan dan minta kiai dicarikan pasangan dari santriwati, maka pasti dicarikan. Sudah banyak santriwati sebelumku yang menikah lewat jalur itu,” kata Zabila.
Sebagian keluarganya baik-baik saja. Tapi ada pula yang bernasib seperti Abida.
“Biasanya santriwati yang sudah umur-umur 19-20 tahunan yang akan dibidik kalau ada orang minta dicarikan jodoh sama Pak Kiai,” kata Zabila.
Model pembidikannya: Saat ada tamu minta dicarikan jodoh, maka kiai akan menunjuk sejumlah “santriwati matang” untuk laden. Sekadar menyuguhkan minuman atau camilan. Itu menjadi momen bagi si pencari jodoh untuk memilih.
Setelah dipilih, maka kiai akan memanggil orang tua santriwati datang ke pesantren untuk perkenalan sekaligus persetujuan. Umumnya akan langsung memilih setuju, sam’an wa tho’atan kepada kiai.
Zabila menyaksikan proses itu sendiri. Dia juga pernah menjadi salah satu santriwati yang pernah mengalami proses laden itu dan nyaris mengalami perjodohan.
Melepaskan diri…
Zabila enggan tunduk dengan perjodohan. Dia merasa punya hak untuk memilih sendiri jalan hidupnya. Termasuk memilih pasangan.
Saat tahu dirinya sedang dibidik, perempuan asal Jawa Timur itu langsung wadul ke orang tuanya. Beruntungnya, sang bapak memang ingin Zabila memperbanyak ilmu dulu. Ingin menguliahkan hingga S3 sekalipun.
“Dengan a lot kami sowan untuk menolak dan boyongan. Kiai kecewa, tentu saja. Tapi prinsip keluargaku; Menikah itu ibadah, tapi cari ilmu juga ibadah. Keluargaku memilih ibadah jalur kedua,” katanya.
Memang banyak temannya bilang, pacaran setelah menikah itu menyenangkan. Atau cinta bisa tumbuh seiring kebersamaan. Namun, menikah tak sesederhana cinta atau tidak cinta. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan dan dimatangkan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Sisi Gelap Sebuah Pesantren di Tasikmalaya: Mulai dari Pelecehan Seksual Sesama Jenis, Senioritas, Kekerasan, Hingga Senior Memaksa Junior Jadi Kriminal atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
