Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Ragam

Saya Imigran, Muslim, dan Difabel yang Hidup di Negara Diskriminatif. Tapi Allah dan Badminton Menemani Perjalanan Hidup Saya

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
31 Oktober 2025
A A
Saya Imigran, Muslim, dan Difabel yang Hidup di Negara Diskriminatif. Tapi Allah dan Badminton Menemani Perjalanan Hidup Saya.MOJOK.CO

Ilustrasi - Saya Imigran, Muslim, dan Difabel yang Hidup di Negara Diskriminatif. Tapi Allah dan Badminton Menemani Perjalanan Hidup Saya (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Bagi sebagian atlet badminton, lapangan hanyalah tempat bertanding, demi menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Namun, bagi Abdoullah, lapangan adalah ruang untuk menegaskan bahwa kekurangan bukan alasan untuk berhenti berjuang. Sekalipun dunia seolah ingin menjatuhkan dia.

***

Pertandingan hari kedua Polytron Indonesia Para Badminton International (PIBI) 2025 tengah berlangsung di GOR Manahan, Solo, Kamis (30/10/2025). Siang itu, saya memutuskan untuk menyaksikan pertandingan antara kontingen India vs Prancis. Sebab, ada satu atlet yang mencuri perhatian saya.

Kulitnya sawo matang, berbeda dengan kawan-kawan senegaranya yang putih-pucat. Rambutnya hitam sedikit ikal. Ia bermain di kategori Standing Upper 5 (SU5) dalam turnamen yang diselenggarakan Bakti Olahraga Djarum Foundation tersebut.

SU 5 sendiri merupakan kelas untuk atlet yang memiliki gangguan atau keterbatasan fisik pada anggota tubuh bagian atas (tangan atau lengan).

Sepanjang pertandingan, ia bermain dengan tangan kiri. Tangan kanannya tampak diam di sisi tubuh yang lain. Gerakannya memang tidak cepat, tapi rapi dan terukur. Setiap kali shuttlecock datang, ia memutar tubuh sedikit lebih jauh agar ayunan raketnya tetap seimbang. 

Nama di papan skor membuat saya berhenti sejenak: “Abdoullah Aït Bella”. Dari namanya saja, saya tahu ia bukan keturunan Prancis asli. Sosoknya berbeda dari kebanyakan atlet Eropa yang tampil di turnamen itu. Bukan hanya karena atribut fisiknya, tapi juga karena keramahan dan kesederhanaannya.

para badminton.MOJOK.CO
Abdoullah bermain di kategori Standing Upper 5 (SU5) dalam turnamen Polytron Indonesia Para Badminton International 2025. (Mojok.co/Eko Susanto)

Namun, di balik keramahan itu, ternyata tersimpan kisah panjang tentang bagaimana seorang anak imigran muslim yang lahir sebagai difabel berjuang mencari tempat di negeri yang sering memandangnya liyan. 

“Hidup sebagai imigran saja sudah berat. Apalagi kalau kamu difabel, itu sudah seperti bencana,” katanya pelan ketika saya temui seusai pertandingan. Ia berbicara sambil melempar senyum, meskipun sorot matanya tak bisa menyembunyikan kegetiran.

Kesalahan dokter yang membuatnya “kehilangan” tangan kanan

Abdoullah merupakan imigran asal Maroko. Kisah keluarganya berawal dari Kota Marrakesh. Pada 1960-an, kakek dan neneknya pindah ke Prancis untuk bekerja di tambang, mengikuti gelombang besar perekrutan buruh tambang dari Afrika Utara kala itu. 

Kakek dan neneknya menetap sebagai imigran di Nord-Pas-de-Calais, wilayah industri di utara Prancis. Dari sana, lahirlah ayah Abdoullah, yang kelak bekerja di sebuah sekolah dan menjalankan proyek-proyek kimia. Sementara ibunya menjadi ibu rumah tangga.

Kehidupan sederhana itu dijalani di masa yang tidak mudah. Ketika Abdoullah lahir pada 12 April 2000, Prancis dipimpin Jacques Chirac, presiden sayap kanan yang dikenal dengan kebijakan keras terhadap imigran. Apalagi, keluarganya adalah muslim.

“Hidup ayah saya sudah berat,” ujarnya. “Di masa itu pemerintah sangat anti-imigran, muslim, dan kulit hitam. Apalagi saya terlahir difabel, membuat hidup kami makin berat.”

Masalah disabilitasnya bermula sejak hari pertama ia melihat dunia. Karena malapraktik medis saat proses kelahiran, Abdoullah mengalami brachial plexus injury–kerusakan saraf yang menghubungkan leher ke bahu, lengan, dan tangan. 

Iklan

Saat itu, ia harus menjalani perawatan di rumah sakit sejak lahir hingga usia tiga bulan. Enam belas kali operasi dilakukan, tapi hasilnya nihil. Tangan kanannya pun tak lagi bisa diselamatkan. 

“Sejak kecil, saya harus belajar hidup dengan satu tangan,” kenangnya.

para badminton, abdoullah ait bella.MOJOK.CO
Saat lahir, Abdoullah mengalami brachial plexus injury, yakni kerusakan saraf yang menghubungkan leher ke bahu, lengan, dan tangan. Ia pun harus hidup sebagai penyandang disabilitas (Mojok.co/Eko Susanto)

Mencoba sepakbola dan atletik, sampai akhirnya menemukan jalan di badminton

Meski hidup sebagai penyandang disabilitas, sang ayah tak pernah membiarkan Abdoullah merasa kecil.

“Ayah selalu bilang, jangan pernah takut kalah. Tubuhmu bukan batas,” ujarnya.

Dukungan ayahnya membuat Abdoullah berani mencoba banyak hal. Pada usia tujuh tahun, misalnya, ia bergabung dengan klub sepak bola junior USL Dunkerque, tim kecil dari kota pelabuhan Dunkirk, dekat perbatasan Belgia. 

Namun, di lapangan, tatapan orang seringkali menganggapnya “berbeda”. “Anak difabel dianggap aneh memainkan sepak bola,” katanya.

Sang ayah kemudian menyarankan agar ia mencoba atletik. Di lintasan lari, Abdoullah menemukan kembali rasa percaya diri yang sempat hilang. Ia mulai berlatih serius dan berhasil memenangkan beberapa medali di kejuaraan remaja. 

Meski demikian, ada sesuatu yang masih mengganjal dalam dirinya. 

“Saya ingin lebih dari itu,” ujarnya. “Saya ingin membuktikan bahwa penyandang disabilitas pun bisa berprestasi, melebihi orang normal.”

Saat berusia delapan belas tahun, ia menemukan jalan baru dalam badminton. Alasannya sederhana, tapi penuh makna: di Prancis, baik di level umum maupun disabilitas, badminton didominasi oleh atlet kulit putih, warga “asli” Prancis. Dan, Abdoullah ingin menembus dinding itu. 

“Saya ingin membuktikan bahwa kami juga bisa berprestasi, meski dianggap berbeda dan selalu didiskriminasi,” katanya tegas.

Melampaui batas, berjaya di lapangan badminton

Perjalanan barunya di lapangan badminton tidak mudah. Ia harus menyesuaikan teknik bermain dengan kondisi tubuhnya. Setiap gerakan, setiap servis, butuh keseimbangan. Berbeda, misalnya, dengan sepakbola dan lari yang sepenuhnya mengandalkan kaki.

“Badminton adalah olahraga tangan, saya harus menyesuaikan ulang,” kata dia.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Abdoullah AitBella (@abdoullah_off)


Namun, kerja keras itu berbuah hasil. Abdoullah kini dikenal sebagai salah satu pemain para-badminton paling menjanjikan di Prancis. Ia meraih medali emas ganda putra di Spain Open 2021, perak di Brasil 2022, dan perunggu di Peru di tahun yang sama. 

Di tingkat nasional, ia tampil impresif dengan raihan emas ganda putra dan perak tunggal pada Kejuaraan Para-Badminton Prancis 2023. Konsistensinya membuatnya menempati peringkat kedua nasional dan ke-12 dunia, pencapaian yang menegaskan posisinya di panggung internasional.

Dan ingat, ia adalah orang yang selama ini diremehkan: imigran, minoritas, dan difabel.

Namun, Abdoullah belum berhenti. Ia menargetkan masuk peringkat sepuluh besar dunia. Untuk itu, ia mengaku berlatih lebih dari 35 jam setiap minggu dan berencana mengikuti sepuluh turnamen internasional di berbagai benua.

“Saya ingin membuat orang percaya bahwa kerja keras bisa menembus batas apapun,” ujarnya.

abdoullah ait bella, para badminton.MOJOK.CO
Ait Bela saat berpasangan dengan Bergeron melawan Oktila dan Ramdani dari Indonesia (Mojok.co/Eko Susanto)

Bagi Abdoullah, badminton bukan sekadar olahraga. Di lapangan, ia merasa bebas. Bebas dari pandangan diskriminatif, dan bebas dari label imigran atau difabel. 

“Di lapangan, saya bukan siapapun selain seorang pemain yang ingin menang,” katanya tersenyum. 

‘Allah terus bersama saya’

Namun, di balik kerja keras dan disiplin yang ketat, Abdoullah tak pernah merasa berjalan sendiri. Ia percaya ada kekuatan yang lebih besar yang menuntunnya. 

“Kekuatan terbesar saya datang dari Allah,” ujarnya lirih. “Tanpa-Nya, saya mungkin sudah menyerah sejak lama.”

Setiap kali rasa lelah datang, Abdoullah selalu kembali pada keyakinannya. Ia mengaku sering berdoa sebelum bertanding, bukan untuk meminta kemenangan, tapi agar diberi ketenangan hati. 

“Kalau Allah bersama saya, semuanya terasa lebih mudah,” katanya. “Saya tidak takut kalah, karena saya tahu setiap kekalahan pun adalah bagian dari rencana-Nya.”

Keyakinan itu membuatnya mampu menghadapi diskriminasi dan keterbatasan dengan kepala tegak. Ia belajar bahwa iman bukan hanya soal ritual, tapi tentang cara memaknai perjuangan. Di lapangan, ia menemukan bentuk ibadah lain: kerja keras, kesabaran, dan rasa syukur.

“Ketika saya bermain, saya merasa dekat dengan Allah. Setiap pertandingan seperti ibadah, setiap pukulan adalah doa, dan setiap kemenangan adalah hadiah dari-Nya.”

***

Di ajang PIBI 2025 jalan Abdoullah harus berhenti di babak penyisihan. Dalam kategori ganda SL3-SU5, ia harus menyerah dari pasangan Indonesia, Hikmat Ramdani dan Leani Ratri Oktila (21-9, 21-9). Sementara di Grup D tunggal putra kategori SU5, ia dua kali menelan kekalahan atas Tay Wei Ming (Singapura) dan Ruthick Ragupathi (India).

PIBI 2025 sendiri terselenggara atas kolaborasi Bakti Olahraga Djarum Foundation, Polytron, bersama BWF dan NPC Indonesia. Kejuaraan yang diikuti atlit dari 24 negara berlangsung di GOR Indoor Manahan Solo, 29 Oktober hingga 2 November 2025.

PIBI 2025 mempertandingkan 22 kategori yang meliputi sektor tunggal putra dan putri masing-masing enam kategori, ganda putra empat kategori, ganda putri tiga kategori, dan ganda campuran tiga kategori dengan klasifikasi WH 1, WH 2, SL 3, SL 4, SU 5 dan SH 6.

“Setelah pulang dari Indonesia, saya akan fokus latihan untuk turnamen berikutnya,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Jalan Tak Terduga Atlet Para-Badminton: Berhasil Mengharumkan Nama Negara Setelah Kehilangan Satu Kaki di Usia Remaja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Terakhir diperbarui pada 31 Oktober 2025 oleh

Tags: Badmintonbakti olahraga djarum foundationDjarum Foundationimigranpara badmintonPolytron Indonesia Para Badminton International 2025
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

Cerita Pengasuh Anak Seribu Pulau dan Hal-hal Kecil yang Membuat Bahagia setelah Menangis MOJOK.CO
Ragam

Cerita Pengasuh Anak Seribu Pulau dan Hal-hal Kecil yang Membuat Bahagia setelah Menangis

26 November 2025
Hal-hal di Luar Nalar yang Dilakukan Gus Yayan untuk LKSA Daarul Muthola'ah dan Keluarga MOJOK.CO
Ragam

Hal-hal di Luar Nalar yang Dilakukan Gus Yayan untuk LKSA Daarul Muthola’ah dan Keluarga

25 November 2025
Suka Duka Jadi Pelatih Atlet Para-badminton: Dari Pemain yang Ngambek,  hingga Iming-iming Hadiah dari Kantong Sendiri MOJOK.CO
Sosok

Suka Duka Pelatih Atlet Para-badminton: Dari Pemain yang Ngambek, hingga Iming-iming Hadiah dari Kocek Pribadi

4 November 2025
PPT BLDF Kudus, Tempat Pohon-Pohon Langka Menemukan Rumahnya.MOJOK.CO
Ragam

PPT BLDF Kudus, Tempat Pohon-Pohon Langka Menemukan Rumahnya

4 November 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.