Pengemis meresahkan adalah masalah akut dan menahun di Malang. Sialnya, hal demikian juga terjadi di Jogja. Meskipun masalahnya sama, tetap ada perbedaan soal tipe pengemis di dua kota ini.
***
“Udah, wes, nggak usah ngasih. Biasanya yang begituan itu ada bosnya,” ujar Abdul, ketika melihat saya memberikan recehan koin kepada pengemis yang menghampiri kami di sekitaran Taman Stasiun Tugu, Jogja.
Saya tak menggubris omongannya. Toh, recehan yang saya berikan ke pengemis itu tak lebih besar dari tarif parkir yang kami bayar di parkiran Abu Bakar Ali.
“Kalau di tempatku, orang yang masih sehat dan kelihatan bugar gitu ngemis, pasti kerja sama bos. Udah ada yang nampung mereka. Rahasia umum di kotaku,” imbuhnya.
Abdul merupakan pekerja asal Malang, Jawa Timur. Kebetulan pada hari pertama bulan puasa, Sabtu (1/3/2025), ia mengunjungi Jogja untuk menghabiskan waktu liburnya.
Tentu yang Abdul maksud “pengemis punya bos” tadi adalah pengemis yang ada di Malang. Menurutnya, persoalan pengemis meresahkan adalah masalah menahun di kotanya.
Pengemis “dipekerjakan” bukan cerita baru di Malang
Belakangan, di Malang memang sedang viral pengemis yang duduk bersandar di pojokan ATM Mandiri sambil video call menggunakan ponsel pintar. Momen ini tersebar melalui akun Instagram @info_malang dan dibanjiri respons oleh netizen.
Kebanyakan dari mereka mengecam. Dan, tak sedikit juga yang bercerita menjumpai pengemis serupa di berbagai tempat di Malang. Ada pengemis yang punya dua HP, mengemis sambil live TikTok, sampai pengemis yang ternyata rumahnya bagus.
Abdul sendiri tak menafikan hal tersebut. Berdasarkan yang di tahu, di Malang memang ada beberapa jenis pengemis. Yakni lansia-lansia yang benar-benar hidup susah, anak jalanan, dan pengemis “yang dipekerjakan”.
Menurutnya, pengemis tipe terakhir ini yang paling meresahkan.
“Mereka ini punya bos. Dari yang aku dengar memang kebanyakan dari luar kota. Di-drop di Malang pagi, nanti sorenya dijemput buat setoran hasil ngemis,” jelasnya.
Dari pemberitaan yang Mojok telusuri, modus demikian memang kerap terjadi di Malang. Misalnya, pada 13 Desember 2024 lalu, Satpol PP Kota Malang mendapati dua truk yang memuat puluhan pengemis dari luar daerah. Aparat menduga para pengemis ini hendak di-drop di wilayah Kota Malang.
Kejadian serupa juga kerap terjadi pada bulan-bulan sebelumnya. Pengemis-pengemis ini pada akhirnya berakhir di rumah penampungan gelandangan dan pengemis (gepeng).
Titik paling banyak dijumpai pengemis
Sore itu, kami jalan-jalan menyusuri pedestrian di Malioboro. Abdul sendiri mengaku senang karena tak menjumpai satupun pengemis di lokasi wisata tersebut.
“Beda sama Malang. Tiap lokasi wisata pasti ada pengemisnya,” ujarnya. “Tapi gara-gara trust issue sama pengemis jadi-jadian, aku juga mikir dua kali buat ngasih,” imbuhnya.
Menurutnya, ada beberapa tempat yang menjadi spot favorit bagi para pengemis di Malang. Selain di lokasi wisata, tempat lain yang menjadi favorit mereka adalah dekat-dekat area kampus.
“Bahkan waktu aku masih kuliah, banyak pengemis masuk-masuk area kampus. Kayaknya sekarang juga masih kayak begitu,” tuturnya.
Sementara Satpol PP Kota Malang pernah merilis 13 lokasi yang menjadi favorit para pengemis. Tempat-tempat ini biasanya merupakan titik-titik kemacetan di Malang.
Ke-13 titik ini meliputi simpang tiga Masjid Sabilillah, simpang tiga Sawojajar (Jalan Danau Toba), simpang tiga Jl. MT Haryono, simpang empat Kasin, dan simpang empat Sulfat.
Kemudian di simpang empat Jalan Veteran, simpang empat Jalan Kaliurang, simpang empat Jalan LA. Sucipto, simpang empat Lapangan Rampal, simpang empat Dieng dan simpang empat Galunggung.
Sementara dua titik lain yang bukan merupakan persimpangan lampu merah adalah Jembatan Tunggul Mas dan di Fly Over Jalan Ahmad Yani.
Beda pengemis di Malang dan Jogja
Saya menimpali Abdul bahwa Jogja tak lebih baik soal pengemis meresahkan. Berdasarkan banyak pemberitaan, di Jogja, pengemis juga menjadi masalah akut.
Oknum pengemis yang aslinya kaya, banyak dijumpai. Mojok pernah mewawancarai seorang pengemis yang penghasilannya bisa mencapai Rp300 ribu per hari. Ada juga pengemis yang pura-pura lumpuh demi mendapatkan simpati orang lain.
Meski demikian, sependek yang Abdul tahu, pengemis di Jogja tak lebih ekstrem daripada pengemis di Malang. Ia menjelaskan, di Malang, banyak pengemis yang minta-minta sambil memaksa.
“Mungkin karena dasarnya itu dipekerjakan, dikejar setoran, jadi mereka kudu dapat nominal tertentu. Makanya kalau nggak dikasih, maksa, marah-marah. Untungnya di Jogja belum nemu,” jelasnya.
Ia menambahkan, di Malang nyaris tiap lampu merah ada pengemis yang minta-minta. Sementara di Jogja, tidak. Kebanyakan yang dia jumpai adalah manusia silver.
“Paling nggak, di Jogja itu nggak ngemis. Manusia silver tetap ada effortnya.”
Bahkan, Abdul sampai punya analisis gembel mengapa di Malang banyak dijumpai pengemis. Parahnya lagi, kebanyakan “diimpor” dari kota tetangga.
“Sejak lama, orang Malang itu punya label ‘loman’ alias ringan tangan. Gampang ngasih, gampang kasihan. Makanya banyak pengemis datang ke Malang,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Jogja (Nggak) Istimewa karena Ada Banyak Lansia yang Makan, Tidur, dan Mati di dalam Becaknya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
