Nyatanya, kuliah saja tak cukup
Setelah menjalani perkuliahan, ia sedikit menyesal. Bagaimana tidak, masih banyak dosen di kampusnya yang tidak disiplin dan mengikuti aturan. Beberapa dari mereka bahkan sampai ditegur karena terlalu sering absen mengajar.
Jadi boro-boro mau jadi guru, untuk dapat gelar sarjana saja susah karena ketidakefektifan pengajarnya. Alhasil, ia menempa diri secara mandiri dengan aktif berorganisasi seperti OSIS. Walau sebenarnya tak terlalu berguna, apalagi untuk menjalani kehidupan setelah sarjana.
Usai lulus. Roxi baru menyadari bahwa proses pengangkatan guru terlalu rumit. Pemerintah menghapuskan status guru honorer di sekolah negeri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, hanya terdapat dua jenis pegawai ASN yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan perjanjian Kerja (PPPK).
Alur pengangkatan guru yang penuh ketidakpastian itu juga membuat Roxi semakin bingung. Berdasarkan informasi yang ia ketahui saat itu, pengangkatan PPPK harus mengikuti pelatihan minimal 2 tahun mengajar.
Atau istilah lain yang dibuat pemerintah adalah Program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Untuk mengikuti program tersebut, pendaftarnya pun harus sudah punya tempat mengajar.
“Pertanyaannya adalah, gimana bisa masuk PPPK atau PPG, sedangkan guru honorer dihapus?” tanya dia.
Alih-alih membangun kesejahteraan guru, Rozi merasa kebijakan di atas malah kurang tepat. Bahkan guru honorer pun masih bisa mendapatkan gaji meski sedikit. Berbeda dengan syarat PPG yang baru dapat gaji jika dinyatakan lulus.
“Alhasil, banyak juga teman-temanku yang kerjanya tidak sesuai profesi, bahkan setahuku banyak yang nganggur setelah sarjana,” kata Roxi.
Pilih kerja realistis ketimbang jadi sarjana nganggur
Hingga saat ini, Roxi pun masih berjuang mencari sekolah yang punya kuota kosong untuk guru pendidikan agama Kristen. Sebab, peluangnya akan lebih besar.
Sayangnya, nasib baik tak kunjung menghampirinya. Sudah puluhan sekolah yang ia kunjungi di Palangkaraya, tapi tak ada satupun yang menghubunginya. Tak pelak membuat Roxi berpikir, sulitnya mencari kerja.
Oleh karena itu, daripada menganggur dan sering overthinking karena mengecewakan orang tua, Roxi memilih kerja sebagai buruh tambang. Mengikuti jejak kakaknya. Meski ia tahu, bukan ini yang diharapkan orang tuanya setelah lulus dan mendapat gelar sarjana.
Tapi minimal, dari gaji buruh itu ia bisa mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Tentu saja pekerjaan itu tak membutuhkan gelar sarjana, yang penting adalah rajin dan beruntung.
Sebab, pekerjaan yang ia lakukan adalah nyedot. Sangat bergantung dengan ada tidaknya emas di tanah.
“Ada beberapa jenis cara nyedot, aku sendiri pakai kupas. Kami dibagi tim kerja sekitar 5-6 orang yang tugasnya nyedot satu lubang. Jika mujur, upah kami per orang bisa Rp3,7 juta dalam 20 hari kerja,” jelas Roxi.
Meski begitu, risikonya tidak sepele. Sebab, kata Roxi, taruhannya adalah nyawa. Tapi, mau bagaimana lagi? Hidup memang tak bisa ditebak. Ia pun tak pernah membayangkan akan kerja menjadi tukang sedot, alih-alih mengikuti mimpi orang tuanya yang menyuruhnya menjadi guru.
“Mau tidak mau, saya harus lakukan karena kebutuhan ekonomi dan belum ada lowongan sekolah untuk saya mengajar,” ucapnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Ijazah S1 Kampus Malang Terasa Sia-sia karena PHK di Usia Tua, Ribuan Lamaran Kerja Juga Ditolak atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












