Konon, kalau ingin melihat watak asli seseorang, caranya adalah dengan mendaki gunung. Sementara kalau ingin melihat bobroknya birokrasi negara, maka magang di instansi pemerintahan adalah jalannya. Seperti itulah kalimat yang diungkapkan Berta* (26), saat kami bertemu di sebuah warung kopi pada Minggu (7/7/2024) malam. Enam bulan magang di sebuah instansi pemerintahan Jogja, perempuan ini tahu betul betapa inkompentennya orang-orang yang bekerja di sana.
Perempuan ini mengaku beruntung hanya enam bulan kerja magang di kantor tersebut. Kata dia, lebih lama sedikit saja, mungkin dia bakal menjadi gila.
“Jangan ekspektasi apa-apa deh, nggak stres aja udah bagus,” katanya kepada Mojok. “Udah duit seret, pengalaman pun juga nggak dapet.
Sebenarnya, sekitar tiga bulan lalu Berta sempat membagikan ceritanya ini di Twitter (X). Namun, saat itu ada banyak orang yang memintanya menghapus. Kebanyakan dari orang-orang kantor tempatnya pernah magang.
Sempat mengabaikannya, akhirnya Berta terpaksa menghapus utasnya karena mulai ada ancaman. “Udah kinerja nggak jelas, masih juga antikritik,” kata Berta, dengan sisa-sisa kejengkelan yang masih ia rasakan.
Menyaksikan pejabat habiskan Rp200 ribu untuk sekali makan
Lulus dari UGM pada akhir 2022 lalu, Berta belum memutuskan untuk mencari pekerjaan tetap. Alasannya, ia ingin kerja di luar Jogja. Makanya, sebelum memutuskan merantau, Berta ingin memperbaiki CV terlebih dahulu dengan magang di beberapa tempat, termasuk instansi pemerintahan–sesuai dengan ijazahnya.
Sejak akhir 2022 hingga awal 2024 lalu, total ia kerja part time dan magang di tiga tempat. Salah satunya di instansi pemerintahan Jogja, yang menurutnya lebih banyak kesan negatifnya daripada baik-baiknya.
Berta magang di instansi tersebut dari pertengahan hingga akhir 2023. Selama itu juga, cerita-cerita miring soal pejabat yang selama ini cuma bisa didengarnya via gosip, ia saksikan secara langsung.
“Paling sederhana aja soal omongan kalau pejabat itu sering buang-buang anggaran, boros. Nah, itu valid,” kata Berta. “Pernah aku nyusunin anggaran makan mereka untuk suatu acara. Dan, gila banget sekali makan bisa 200 ribu, coy!,” imbuhnya terheran-heran.
Lebih menyebalkan lagi, kata Berta, di acara yang sama audiens umum rata-rata hanya dipatok anggaran makan Rp25 ribu. Itupun pada realitasnya, peserta acara tak benar-benar dapat makanan seharga tersebut.
Itu baru soal makan. Belum lagi kalau mereka mendapat undangan acara di luar kota, budget yang dikeluarkan bisa berkali-kali lipat dari kebutuhan yang seharusnya.
“Kayak misalnya ada undangan nih ya, ke Solo katakanlah. Itukan bisa dilaju ya, paling pakai mobil sejam. Tapi mereka minta anggaran nginep hotel dan tetek bengek lain yang jumlahnya besar banget. Biasanya sih sekalian dipake liburan bareng keluarga.”
Ada pejabat yang mengoperasikan word dan ppt saja tidak bisa
Mungkin banyak yang bertanya-tanya, mengapa banyak pejabat punya asisten yang tugasnya menuliskan catatan pribadi buat mereka, membuatkan materi, hingga menyusun power point untuk keperluan acara. Tak sedikit yang menduga kalau mereka terlalu sibuk atau memang malas bikin sendiri, padahal aslinya memang tak bisa.
Perangkat lunak sederhana semacam Microsoft Word saja mereka gagap, apalagi yang lebih rumit. Kata Berta, ini kejadian di para pejabat yang umumnya sudah berumur.
“Makanya nggak usah heran, di kantor segala pekerjaan yang berurusan dengan word aja, itu dikerjain asisten. Anak magang kayak aku, pernah handle juga,” kata Berta.
“Mereka dapat lho padahal, laptop mahal dari kantor. Ya tapi itu dipake sama anak-anak mereka buat kuliah, kayak gitu-gitu.”
Alhasil, pekerjaan sesederhana apapun para pejabat ini tak bisa menyelesaikan. Paling absurd, Berta pernah diminta mengubah file dari format pdf ke excel. “Padahal kalau tahu teknologi dikit aja, itu bisa dikerjain nggak sampe 5 menit. Zaman sekarang AI buat convert-convert gitu tinggal cari di Google, Pak, Bu!”
Magang di instansi pemerintahan, duit dan pengalaman yang didapat sama kecilnya
Meski orientasinya adalah mencari pengalaman dan memperbaiki CV, Berta tetap tak memungkiri kalau uang tetap ia kejar. “Apalagi aku statusnya kan ya sama-sama tenaga kerja juga, masa nggak berharap duit, sih,” ujarnya.
Sayangnya, enam bulan magang di instansi pemerintahan Jogja, uang yang dia dapatkan sangat kecil. Bayaran yang diterima Berta lebih kecil dari tenaga honorer di sana, yang rata-rata cuma diupah Rp1,5 juta per bulan. Padahal, di kantor tersebut banyak juga PNS yang mendapat gaji pokok dan tunjangan besar.
Apalagi, saat Berta masuk, ada juga mahasiswa yang ikut menjalani magang. Parahnya, karena mereka dianggap “masih mahasiswa”, tak ada upah yang diberikan.
“Itungannya aku masih beruntung. Dapat kecil banget, tapi ternyata ada yang sama sekali nggak dibayar,” kata dia.
Duit nggak dia dapat, apalagi pengalaman. Jujur, Berta mengaku punya ekspektasi tinggi saat pertama masuk magang. Minimal, relasinya jadi luas, kenalan-kenalannya dengan orang-orang tersohor makin banyak.
Sayangnya, di selama magang di instansi pemerintahan itu, Berta lebih banyak mengerjakan hal-hal sepele–yang idealnya bisa dikerjakan sendiri oleh pejabat. Sementara hal-hal penting, tak pernah sekalipun dia kerjakan.
“Jadi, ya, nggak dapat apa-apa. Duit enggak, pengalaman apa lagi!,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Pengalaman Mahasiswa Magang di DPR RI, Ternyata Tidak (Selalu) Seburuk Omongan Orang
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News