Pakuwon Mall Jogja menjadi saksi bisu bagaimana orang kaya bersenang-senang di atas penderitaan orang miskin. Di bagian dalam mal, orang-orang kaya berfoya-foya, menghamburkan uang tanpa mengkhawatirkan hari esok. Sementara hanya beberapa jengkal dari bangunan megah itu, kondisinya seperti bumi dan langit: banyak orang yang jangankan buat nge-mall, sekadar makan di hari itu saja sangat sulit.
Berdiri di lahan seluas 77 ribu meter persegi, Pakuwon Mall menjadi pusat perbelanjaan terbesar dan termegah di Jogja. Di dalamnya, total ada lebih dari 270 tenant yang tersebar di 6 lantai. Beberapa di antaranya termasuk “anchor tenant” seperti Matahari Department Store, H&M, Uniqlo, ACE Hardware, Informa, Hypermart, hingga CGV Cinema.
Tak hanya itu, Pakuwon Mall Jogja adalah bagian dari mix-use development yang tersambung langsung dengan hotel bintang 5 Jogja, yakni Marriott Hotel, yang memiliki lebih dari 300 kamar.
Sejak awal mengakuisisi Hartono Mall dan mengubahnya menjadi Pakuwon Mall pada 2020 lalu, pengelola menyebut kalau pasar yang mereka sasar adalah kalangan menengah dan menengah ke atas. Sebagai orang yang cukup sering “mampir” ke mal ini sekadar buat nonton film, pernyataan tadi saya amini.
Setidaknya, kalau dibandingkan mal-mal lain di Jogja, pengunjung Pakuwon Mall memang kelihatan sebagai “orang-orang berada”. Sayangnya, ketika keluar mal melalui lantai LG di gerai Informa, kalian bakal langsung tertuju ke jalan kecil di sebelah timur bangunan. Di sana, ada berbagai hal yang kondisinya 180 derajat dari yang kalian temui di dalam mal.
Banyak orang yang sekadar mau masuk Pakuwon Mall saja merasa minder
Anggapan kalau Pakuwon Mall Jogja adalah malnya orang-orang tajir memang benar adanya. Banyak mahasiswa, misalnya, merasa “minder” jika harus main ke mal ini karena menganggapnya terlalu “wah”.
“Selain karena mahal-mahal, kalau ke Pakuwon itu kayak ada rasa yang agak beda aja. Susah jelasinnya. Pokoknya kalau mau masuk mal-mal lain biasa-biasa aja, tapi kalau Pakuwon kayak aneh aja, merasa miskin,” ujar Salih (20), mahasiswa UMBY yang mengaku belum pernah masuk Pakuwon meski sudah 2 tahun di Jogja.
Pada Selasa (25/6/2024) kemarin, saya juga menyusuri jalan kecil tanpa nama di sebelah timur Pakuwon Mall. Letaknya hanya 10 meter dari tembok mal tersebut, tapi kondisinya sangat rusak.
Di tepi jalanan itu, ada banyak mobil dan motor terparkir. Kendaraan tersebut adalah ojek dan taksi online yang biasa ngetem di sekitaran Pakuwon Mall.
Sementara di sekitaran jalan itu juga berdiri warung-warung makan tenda, angkringan, dan warmindo yang tak pernah sepi pembeli. Para pembeli ini kebanyakan adalah pegawai Pakuwon Mall, pekerja Marriott Hotel, atau driver ojol yang punya perasaan sama seperti Salih: minder masuk Pakuwon Mall.
“Saya mah nganterin orang aja sampai depan, Mas, kalau masuk jarang. Kalau masuk cuma pas dapat order ambil makanan. Itu pun minder banget, serasa bau matahari,” tawa Rachman, driver ojol yang saya temui siang itu. Rachman sendiri mengaku baru ada dua order yang didapat sampai jam 12 siang.
Kegetiran para pekerja mal yang tak bisa menikmati kemewahan Pakuwon Mall
Di Angkringan Pak Marto, yang lokasinya tak jauh dari Pakuwon Mall Jogja, ketimpangan amat saya rasakan. Angkringan ini sangat sederhana, tempatnya menyatu dengan kebun penuh semak belukar yang mungkin saja bisa dilalui ular kapan saja.
Meski sangat sederhana, angkringan ini menjadi penolong para pekerja Pakuwon Mall yang butuh makan. Bagi mereka…
Baca halaman selanjutnya…
Kerja di mall mewah tapi underpaid. Hidup mengkis-mengkis sampai takut punya anak.
Meski sangat sederhana, angkringan Pak Marto menjadi penolong para pekerja Pakuwon Mall yang butuh makan. Bagi mereka, makanan murah seperti angkringan ini sangat berharga. Mengingat kalau kudu beli makan di dalam mal, uang mereka tak cukup.
“Kadang ada yang ngutang, ‘berhitungnya [melunasi] pas sudah gajian ya, Pak’,” kata Marto (40) sang pemilik angkringan, menirukan kalimat pembelinya. “Karena sudah langganan, ya nggak apa-apa, Mas, saya kasih aja.”
Siang itu, di angkringan Pak Marto, saya berbincang dengan Lita (20), perempuan yang menjadi pekerja salah satu tenant di Pakuwon Mall. Lita mengaku sedang makan siang. Jatah istirahat 30 menit itu ia habiskan buat menyantap dua nasi kucing, segelas es teh, dan sebatang rokok.
“Buat ngelepas stres karena toko ramai banget, Mas,” kata Lita siang itu.
“Tiap hari, Mas, makan di angkringan. Nggak nyampai 10 ribu dah kenyang. Ya kita ini di Pakuwon mah kerja doang di sana, tapi nggak bisa nikmatin mall-nya.”
Pakuwon Mall Jogja dan cerita para pekerjanya yang bergaji underpaid
Mojok sendiri beberapa kali mengangkat uneg-uneg para pekerja Pakuwon Mall Jogja yang sudah kerja keras bagai kuda, tapi gajinya tak seberapa.
Dalam liputan berjudul “Dukuh Sanggrahan, Daerah Termaju di Condongcatur yang Jadi Saksi Muramnya Nasib Para Pekerja Pakuwon Mall Jogja“, misalnya, Mojok mewawancarai Thoriq (23).
Ia merupakan seorang pekerja FnB di Pakuwon Mall Jogja. Sudah dua tahun kerja, statusnya masih freelance. Gajinya pun masih dihitung per shift.
“Sekarang 85 ribu per shift. Dulu awal-awal sampai hampir setahun cuma 60 ribuan,” kata pekerja yang sudah dua tahun ngekos di Sanggrahan, Condongcatur ini kepada Mojok.
Sialnya, meski digaji amat kecil, jam kerjanya kerap overtime. Paling parah terjadi pada bulan puasa lalu. Ia mengaku, saat itu ia bekerja dari pukul 11 siang sampai pukul 10 malam tanpa mengenal istilah “lembur”.
Cerita lain juga Mojok dengar dari Devi (21) dan suaminya. Pasutri muda ini sama-sama bekerja di kedai makan di mal tersebut. Sialnya, meski sudah digabung sekalipun, gaji keduanya tak sampai Rp5 juta.
Saking struggle-nya, Devi bahkan sempat declare ingin childfree karena tak tega jika anaknya lahir di kondisi ekonominya yang masih kacau.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News