Menunggu berjam-jam, keroyokan, hingga berdiri sepanjang perjalanan
“Kalau malam hari raya, Idul Fitri atau Idul Adha, malah lebih menyiksa. Ratusan orang keroyokan di Bungurasih untuk cari bus,” beber Hanifa.
Karena saling keroyokan, Hanifa sering kali tidak kebagian di jam-jam awal keberangkatan. Karena dia kalah berdesakan untuk menerobos masuk pintu bus.
Alhasil, dia masih harus menunggu hingga berjam-jam. Menunggu bus dari magrib, dia bisa baru dapat menjelang tengah malam. Karena di jam-jam setelah magribpun kondisinya masih sama: saling keroyokan.
“Itu kalau dapat di jam tengah malam juga masih berdiri. Jadi sepanjang Surabaya-Jombang berdiri,” kata Hanifa.
Pada momen Idul Adha tahun 2024 lalu, Hanifa mengaku nyaris saja pingsan. Setelah puasa Arafah/9 Zulhijjah) dan lelah seharian bekerja, apalagi Hanifa belum buka puasa selain minum air dingin, dia harus berdiri sepanjang perjalanan.
Lebih-lebih dalam situasi yang berdesakan, bus Harapan Jaya melaju kencang, membuat penumpang terguncang-guncang. Kepala makin pening, ditambah kondisi perut kosong yang memicu mual-mual.
Beruntung, saat itu, ada bapak-bapak baik yang mempersilakanya duduk. Betapa lega karena dia tak jadi pingsan di tengah kerumunan penunmpang yang berdesakan dari depan sampai belakang.
“Tipuan” kernet bus Harapan Jaya
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ubaid (25). Apalagi dia menggunakan bus Harapan Jaya untuk perjalanan Surabaya-Kertosono (dan sebaliknya) sudah sejak kuliah pada 2017.
Bedanya dengan Hanifa, Ubaid tak terlampau sering menggunakan bus tersebut di akhir pekan atau libur panjang. Hanya saja, dia membenarkan cerita Hanifa, bahwa naik bus Harapan Jaya di momen libur memang harus siap-siap tersiksa sepanjang perjalanan.
“Yang membuatku kesel ya “tipuan” dari kernet busnya,” kata Ubaid.
Ketika keluar dari lorong keberangkatan Terminal Bungurasih, kondisi bus sebenarnya sudah penuh sesak: kursi penuh, banyak penumpang berdiri berdesakan dari depan sampai belakang.
Akan tetapi, di pintu luar, saat melihat banyak penumpang berbaris menanti, si kernet langsung berteriak, “Ayo masih kosong, masih kosong. Tengah kosong, tengah kosong.”
“Lah matanya. Yang di tengah saja kejepit. Masih dijejal-jejal,” tutur Ubaid.
Di level paring parah, sering kali penumpang berjubel hingga di tangga pintu. Benar-benar dijejal dan digencet-gencet.
Tidak ada kemewahan doubke decker seperti rute Jakarta
Sejauh yang Hanifa dan Ubaid amati, untuk rute Jawa Timuran belum ada bus Harapan Jaya double decker yang kini jadi kebanggaan PO asal Tulungagung, Jawa Timur tersebut.
Harapan Jaya double decker tersedia untuk rute Jakarta dan rute-rute luar Jawa.
Fasilitas dan kenyamanan jenis double decker tentu saja lebih baik ketimbang jenis biasa. Sayangnya, “kemewahan” itu tidak bisa turut dirasakan oleh Ubaid dan Hanifa di rute Jawa Timuran.
Tapi sekalipun ada, merekapun sepertinya akan berpikir beberapa kali untuk menggunakan jenis itu. Sebab, asumsinya, tarif karcis yang dipasang akan lebih mahal. Sedangkan mereka naik Harapan Jaya saja niat awalnya karena alasan murah.
Banyak cerita membekas
Kalau berangkat di hari aktif, Ubaid mengaku sangat menikmati perjalanan dengan bus Harapan Jaya. Selain karena urusan murah dan cepat, Ubaid mengaku mendapat banyak cerita dari penumpang lain yang membuatnya belajar untuk terus bersyukur.
“Aku sering duduk di kursi tengah atau belakang. Kalau ada penumpang lain di sebelahku, terutama bapak-bapak, kami saling berbagi cerita,” kata Ubaid.
Bus Harapan Jaya, lanjut Ubaid, menjadi saksi perjalanan para perantau ke Surabaya. Alasan orang-orang merantau sangat sentimentil bagi Ubaid.
Kebanyakan dari yang Ubaid dengar: Para perantau itu pada dasarnya tidak ingin merantau. Ingin hidup di rumah, menemani orangtua atau anak-istri.
Akan tetapi, hidup tidak memberi mereka banyak pilihan. Untuk terus menyambung hidup, meninggalkan rumah menjadi satu-satunya pilihan.
“Rata-rata yang kudengar adalah pekerja kasar. Kuli. Hasilnya nggak seberapa. Jadi kadang aku dengar keluh kesah mereka. Kerja banting tulang, tapi hasil masih kurang. Ada bahkan yang tertipu proyek. Setelah kerja berbulan-bulan, si mandor lari bawa uang yang harusnya buat bayar kuli,” lanjut Ubaid.
Ada satu momen yang sangat membekas bagi Ubaid. Yaitu kala suatu waktu dia berdiri di belakang bersama seorang pedagang asongan (kacang dan permen).
Si pedagang asongan jualan dari bus ke bus siang-malam. Bahkan bisa tidak pulang selama beberapa hari. Sebab, anaknya waktu itu hendak mendaftar kuliah. Si bapak pedagang asongan mau tidak mau harus bekerja lebih keras, meski dia tahu belaka bahwa penghasilannya nyata-nyata tidak akan cukup untuk biaya kuliah anaknya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Apes saat Naik Bus Eka dan Sumber Selamat, Lengah Dikit Dompet hingga Laptop Lenyap Ditukar Batu Bata atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












