Drama Merantau di Jogja: Dulu Enggan Cabut, Seiring Waktu Malah Tak Betah karena Realita

Berat tinggalkan Jogja saat lulus kuliah. Tapi saat merantau lagi ke sini malah tak betah karena tertampar realitas sebab tak se-slow living itu MOJOK.CO

Ilustrasi - Berat tinggalkan Jogja saat lulus kuliah. Tapi saat merantau lagi ke sini malah tak betah karena tertampar realitas sebab tak se-slow living itu. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Menjelang lulus kuliah dari kampus di Jogja, rasa-rasanya amat berat meninggalkan “Tanah Sultan” tersebut. Sebab, Jogja memberi banyak kenyamanan dalam ritme hidup yang melamban (slow living). setelah paling tidak empat tahun merantau di sini.

Namun, setelah lulus, pulang ke kampung halaman untuk beberapa saat, lalu kembali lagi ke Jogja untuk tujuan lain, rasa-rasanya malah tak betah setelah merasakan realita hidup yang sesungguhnya.

Romantisasi memuakkan kretaor konten

Sebuah akun media sosial dari seorang kreator konten kerap mampir di lini masa Instagram Zulva (25), seorang perempuan asal Jawa Barat.

Konten kreator—yang juga seorang perempuan—itu kerap membagikan konten yang sebenarnya “itu-itu saja”: Berat meninggalkan Jogja. Si kreator konten berkali-kali mencoba meninggalkan Jogja, pulang ke kampung halamannya. Akan tetapi, pada akhirnya Jogja menjadi tempatnya kembali.

Satu sisi Zulva mengamini bahwa setelah episode merantau di Jogja pasca lulus kuliah—dan harus pulang ke kampung halaman—memang ada perasaan kosong. Bahkan sumpek. Hati sudah terlanjur bertaut dengan Kota Gudeg itu.

Namun, rasa-rasanya romantisasi itu agak berlebihan—dan cenderung memuakkan. Tidak relate saja. Sebab, cara pandang seseorang sebelum lulus dari kampus (episode merantau) dan setelahnya bisa berbeda sama sekali. Begitu juga yang diungkapkan narasumber Mojok lain, Afifin (26), pemuda asal Jawa Timur.

Jogja istimewa karena orang-orang yang pernah dikenal

Saat masih merantau untuk kuliah di salah satu kampus swasta di Jogja, Zulva mengaku amat jarang pulang ke Jawa Barat. Dia merasa sangat betah di kota ini.

Zulva sempat galau setengah mati ketika dia dan beberapa teman kuliahnya sama-sama lulus pada 2022 silam. Karena Zulva dan mereka akan berpisah, kembali ke kampung halaman masing-masing.

“Waktu itu kami sampai bikin acara staycation perpisahan. Nangis-nangis. Kami saling cerita betapa Jogja sangat istimewa bagi mereka,” ucap Zulva, Minggu (21/9/2025).

Dari kampung halaman masing-masing, mereka juga saling berkirim reels Instagram di grup WhatsApp. Isinya: Meromantisasi Jogja, ungkapan gagal move on, dan saling berbagi momen nostalgik.

Sedih rasanya bagi Zulva. Itulah kenapa, dia hanya bertahan satu tahun di Jawa Barat. Sebelum akhirnya kembali merantau lagi ke Jogja untuk lanjut S2 di sebuah kampus negeri.

“Malah setelah balik buat S2, rasanya beda, aku jadi nggak betah di sini,” ujar Zulva.

Dari situ Zulva sadar. Jogja bisa menjadi istimewa karena orang-orangnya: Teman-temannya dulu. Sosok yang sudah tidak bisa dia temui lagi saat menempuh S2 itu.

Dia tentu punya teman baru di bangku S2. Akan tetapi, tidak ada teman yang bisa sangat dalam sebagaimana teman-teman S1-nya dulu.

Dulu, bersama teman-teman S1-nya, Zulva sering kali melakukan banyak hal bersama. Nugas bareng. Nongkrong bareng. Hunting bareng. Seru lah. Kini dia merasa sangat kesepian, sehingga merasa tak betah berlama-lama di kota ini.

Dulu nyaman di Jogja karena tak punya beban hidup

Afifin mengamini itu. Hanya saja, dia punya cara pandang lain yang membuatnya dalam posisi “Dulu betah, sekarang malah tidak betah”.

“Dulu betah dan merasa nyaman karena aku pribadi misalnya, nggak punya beban hidup,” katanya.

Bagaimana tidak. Dulu dia tidak merasa kekurangana atau terhimpit apapun. Tidak ada beban hidup. Uang saku selama kuliah S1 di kampus negeri Jogja masih ditanggung oleh orangtuanya hingga lulus pada 2021.

Afifin bisa nongkrong di coffee shop sehari hingga tiga kali. Bisa makan tanpa kepikiran mahal atau tidak. Tak takut juga kehabisan uang karena kalau habis masih bisa minta lagi. Itu membuatnya merasa bisa hidup melamban di Jogja, tanpa tekanan.

Wajar saja jika akhirnya dia merasa berat ketika meninggalkan Jogja. Dia sempat gamang setelah lulus kuliah: Balik ke Jawa Timur atau menetap di Jogja. Tapi pilihan jatuh pada opsi kedua.

“Teman-temanku masih ada beberapa yang stay di Jogja. Tapi saat kami ketemu, sekarang jadi serba sumpek, adu nasib,” tutur Afifin.

Ternyata tak se-slow living itu…

Jogja slow living (katanya). Ah, kini ungkapan itu jadi bahan tertawaan getir bagi Afifin bagi Afifin.

Tidak ada istilah slow living. Afifin bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jogja. Gajinya sebenarnya sedikit di atas UMR. Tapi tetap terasa kurang karena dia akhirnya tahu, ternyata banyak hal serba mahal di sini: Makan, ngopi, hingga indekos.

“Kucoba bandingkan dengan Surabaya misalnya. Ternyata Surabaya, dari obrolanku dengan beberapa teman di sana, ternyata masih masuk akal. Masih gampang cari makan di harga di bawah Rp8 ribu. Di Jogja Rp15 ribu rata-rata. Begitu juga dengan ngopi dan indekos,” beber Afifin. Alhasil, Afifin merasa tertekan betul dalam upaya mengelola uang.

Afifin sedikit lebih beruntung. Karena ada beberapa temannya di Jogja yang berakhir menjadi pekerja bergaji rendah. Pekerja di sektor informal pun ada. Uang mereka selalu kurang, sehingga harus berhemat dan empet-empetan.

Ditambah lagi, kini mata Afifin lebih terbuka melihat Jogja secara utuh. Dulu pandangannya terbatas pada kampus dan tongkrongan yang penuh nuansa hedon dan slow.

Tapi kini dia melihat, betapa banyak orang di Jogja yang harus mati-matian bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi.

“Tapi tak bisa dimungkiri, banyak orang juga merasa tenteram. Karena mereka merasa cukup dengan hidupnya, nrima ing pandum,” sambung Afifin.

Ini soal persepsi saja

Zulva merasa kesepian. Sementara Afifin merasa penuh tekanan. Tapi mereka mengakui, ini hanya soal persepsi dan pengalaman subjektif keduanya saja.

Zulva memilih akan kembali ke Jawa Barat. Hidup tidak jauh dari rumah rasanya lebih baik ketimbang di rantau dengan kesepian yang menyiksa.

Sedangkan Afifin, sedang mencari opsi untuk kembali ke Jawa Timur. Bagi Afifin, Jogja memang nyaman sebagai tempat singgah. Tapi untuk menggantungkan hidup, bagi orang seperti Afifin yang merasa harus mencari angka yang lebih, sepertinya dia harus bergegas ke tempat lain.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Derita Mahasiswa Kuliah di Jogja yang Tak Disadari: Sulit untuk Lanjut Hidup di Jogja karena Properti yang Mahal, tapi Jika Lanjut, Harus Siap Bergesekan dengan Warga Lokal atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

Exit mobile version