Program MBG telah meracuni banyak siswa di berbagai daerah. Sialnya, anggaran pendidikan terus “disedot” demi program populis dan politis ini.
***
Malam itu, suasana rumah seorang siswa SMA Negeri 2 Wonogiri mendadak riuh. Anak yang baru pulang sekolah tergolek mual, perut melilit, lalu muntah berulang kali. Orang tuanya panik, segera membawanya ke puskesmas.
Keesokan harinya, kabar serupa bergema dari banyak rumah: puluhan siswa tidak hadir di sekolah, sebagian dilarikan ke fasilitas kesehatan. Semuanya bermula dari makanan kotak yang dibagikan lewat program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dalam hitungan jam, kegembiraan menyantap makan siang gratis berubah jadi derita massal. Peristiwa itu kemudian terkonfirmasi: lebih dari 100 siswa SMAN 2 Wonogiri mengalami keracunan pada 12 September 2025.
Di Sragen dan Lampung, keracunan MBG juga terjadi
Beberapa hari berselang, tragedi serupa muncul dari Sragen, kabupaten tetangga. Kali ini, ratusan siswa dan guru SMP-SMA dilaporkan sakit usai menyantap jatah MBG. Gejalanya mirip: mual, pusing, muntah, hingga sebagian harus dirawat inap di rumah sakit daerah.
Orang tua murid pun mempertanyakan kualitas makanan. Bahkan ada yang mengunggah foto dapur katering di media sosial: ruang sempit, lantai becek, dan tumpukan bahan makanan yang tidak tertutup rapat.
Dari Jawa Tengah, kabar keracunan juga terdengar hingga Lampung. Puluhan siswa SMP di Bandar Lampung mengalami gejala sama setelah menyantap makanan program MBG.
Beberapa saksi menyebut nasi sudah dingin dan lauk terasa asam ketika dibagikan. Pemerintah daerah memang mengakui distribusi makanan kerap terlambat karena harus menempuh perjalanan jauh dari dapur katering ke sekolah-sekolah pelosok.
Program dipaksaan, cara masak pun ugal-ugalan
Rangkaian peristiwa ini menunjukkan sebuah pola, yakni ada yang keliru dalam sistem penyediaan dan distribusi makanan. Investigasi sementara di lapangan menemukan dapur katering MBG tidak memenuhi standar higienitas.
Banyak yang masih berupa rumah kontrakan dengan peralatan seadanya, tenaga masak tanpa pelatihan khusus, dan minim pengawasan. Bahkan ada katering yang memasak ribuan porsi dengan hanya tiga tungku kecil.
Sehingga, wajar kalau kualitas dan keamanan makanan rentan bermasalah. Apalagi ketika harus diangkut berjam-jam menuju sekolah tanpa pendingin.
“Sejak awal, program ini sarat konflik kepentingan politik dan ekonomi. Skema yang dipaksakan lebih mirip proyek mercusuar ketimbang layanan publik,” kata Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, kepada Mojok, Rabu (24/9/2025).
Ia menegaskan, MBG yang digadang-gadang menyehatkan anak bangsa justru berulang kali mengancam nyawa anak.
Data JPPI mencatat, hingga 21 September 2025, total 6.452 anak menjadi korban keracunan MBG. Angka itu melonjak 1.092 hanya dalam sepekan.
“Ini seharusnya ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) dan dihentikan sementara untuk evaluasi. Sayangnya, pemerintah dan DPR justru menutup mata dan tetap melanjutkan program,” ujar Ubaid.
Tapi, anggaran MBG malah terus ditambah
Ironisnya, hanya sehari setelah lonjakan kasus itu, DPR mengesahkan RAPBN 2026 yang menempatkan MBG sebagai salah satu prioritas utama dengan anggaran Rp335 triliun.
Dari jumlah itu, Rp223 triliun diambil langsung dari pos pendidikan. Akibatnya, porsi anggaran pendidikan yang semestinya minimal 20 persen APBN—sebagaimana amanat UUD 1945—merosot menjadi hanya 14 persen.
JPPI menyebut, langkah ini sebagai bentuk “pengkhianatan terhadap konstitusi”. Pendidikan yang seharusnya dijamin sebagai hak dasar anak justru dikorbankan demi proyek populis.
“DPR dan pemerintah bersama-sama telah merampas hak anak Indonesia atas pendidikan dan memporak-porandakan masa depan bangsa,” kata Ubaid.
Padahal, di lapangan, kebutuhan dasar pendidikan masih jauh dari kata terpenuhi. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menunjukkan lebih dari 60 persen ruang kelas SD di Indonesia dalam kondisi rusak, mulai dari ringan hingga berat. Banyak sekolah yang masih menumpang di balai desa atau bangunan darurat.
Krisis guru juga nyata. Per 2024, lebih dari 1 juta guru belum tersertifikasi. Artinya, mereka belum mendapat jaminan kompetensi sekaligus tunjangan yang layak.
Kondisi ini berimbas langsung pada kualitas pembelajaran. Tidak sedikit guru terpaksa mencari pekerjaan tambahan demi mencukupi kebutuhan hidup, sementara pemerintah justru mengalihkan ratusan triliun ke program makan siang.
Di beberapa daerah, cerita memilukan datang dari ruang kelas yang bolong atapnya, meja kursi reyot, hingga perpustakaan kosong tanpa buku.
“Gizi penting, tapi jangan sampai mengorbankan hal-hal fundamental. Anak-anak kita butuh ruang kelas yang aman dan guru yang sejahtera,” tegas Ubaid.
PR-nya A, yang dikerjakan malah B
Masalah lain adalah putusan Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-XXII/2024 yang memerintahkan sekolah bebas pungutan biaya, hingga kini belum bisa dijalankan. Pemerintah beralasan anggaran tersedot untuk MBG.
Alhasil, jutaan keluarga masih terbebani iuran sekolah. Sementara menu MBG tetap hadir di meja makan anak-anak dengan risiko keracunan.
Publik pun makin resah. Orang tua murid, organisasi masyarakat sipil, hingga pakar gizi mendesak evaluasi total. Tuntutan mereka serupa: tetapkan KLB atas kasus keracunan, hentikan sementara program, realokasikan kembali Rp223 triliun untuk kepentingan esensial pendidikan, serta libatkan masyarakat sipil dalam perumusan kebijakan.
Namun, hingga kini, suara-suara itu seolah terhempas di ruang hampa. Pemerintah tetap menegaskan MBG akan dijalankan penuh pada 2026, dengan klaim telah menyiapkan mekanisme pengawasan.
Sementara itu, kasus keracunan terus terjadi dari satu daerah ke daerah lain, menimbulkan trauma bagi anak-anak dan keresahan bagi orang tua.
Pada akhirnya, cerita Wonogiri, Sragen, hingga Lampung bukan sekadar peristiwa lokal, melainkan cermin rapuhnya manajemen program nasional yang menyangkut hajat hidup jutaan anak.
Di satu sisi, negara mengklaim sedang memberi gizi, tapi di sisi lain, anak-anak justru jatuh sakit karena makanan yang seharusnya menyehatkan.
“DPR dan Pemerintah bersama-sama telah mengkhianati UUD 1945. Mereka merampas hak anak Indonesia atas pendidikan dan memporak-porandakan masa depan bangsa demi proyek populis bernama MBG,” pungkas Ubaid Matraji.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Keracunan Massal MBG Bukan Lagi Masalah Teknis, tapi Sistemik: Hentikan Sementara Kalau Keselamatan Tak Dijamin atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
