Mahasiswa rombongan jarang beli alias rojali semakin meresahkan. Gara-gara ulah tak tahu diri mereka, bisnis coffee shop yang baru dirintis bisa langsung gulung tikar. Masalahnya, kebanyakan dari para mahasiswa rojali tak sepenuhnya menyadari daya rusak yang telah mereka perbuat.
Salah satu pengalaman buruk dengan rojali pernah dialami Dino* (25). Alumni salah satu PTS Jogja ini sempat merintis coffee shop kecil-kecilan pada awal 2019 lalu, meski usianya hanya seumur jagung.
Kala itu, Dino sebenarnya mendapat berkah. Proposal kewirausahaan yang dia ajukan bersama teman-temannya disetujui pihak kampus.
“Di kampus ada program kewirausahaan. Kita mengajukan proposal usaha dan kalau di-acc, kampus bakal ngasih pendanaan. Tapi dalam kurun waktu tertentu, kita wajib balikin ke kampus. Semacam pinjaman usaha gitu, tapi tanpa bunga,” jelas Dino saat ditemui Mojok, Minggu (21/7/2024).
Bersama dua orang temannya, Dino mengajukan proposal usaha coffee shop di Jogja. Setelah menimbang banyak aspek, termasuk modal awal, pasar, dan estimasi keuntungan, proposal itu disetujui.
Alhasil, uang sebesar Rp12,5 juta cair dari kampus. Dari sejumlah uang ini, Rp10 juta ia pakai baut menyewa ruko seluas 3×5 meter di Jogja selama 3 bulan. Sisanya ia jadikan modal usaha.
“Kebetulan aku dan teman-temanku yang lain punya pengalaman part time jadi barista. Jadinya pegawai coffee shop-nya ya dari kita-kita aja.”
Sempat punya ekspektasi yang tinggi dari bisnis coffee shop
Dino punya alasan kuat mengapa ia dan teman-temannya memilih bisnis coffee shop. Menurutnya, pada saat itu tren warung kopi memang lagi mencapai puncaknya.
Pasarnya sangat besar. Tiap malam, dari banyak coffee shop yang ia datangi, tak pernah sepi dari kehadiran mahasiswa yang nongkrong.
“Itu dulu, 2019 awal ya, nongkrong di warung kopi lagi digandrungi banget, baik yang dekat atau jauh dari kampus, penuh semua. Beberapa warung kopi langgananku pada memperluas tempat saking ramainya,” kata Dino.
Maka tak heran ia dan teman-temannya pun memilih bisnis ini. Dino bahkan juga sudah punya ekspektasi tinggi.
Berdasarkan hitung-hitungan mereka, dalam sehari coffee shopnya bisa meraup laba bersih Rp200-500 ribuan–tergantung ramai sepinya. Kalau demikian, dalam waktu 6 bulan saja mereka sudah bisa melunasi pinjaman dari kampus.
“Yang namanya ekspektasi ya, wah, itu tinggi banget. Udah sampai kepikiran dua tahun lagi buka cabang, punya pegawai sendiri. Hahaha!,” kata lelaki yang mengaku “korban rojali” ini, menertawakan kemalangannya.
Apa daya, baru tiga bulan sudah gulung tikar
Dino sebenarnya mengawali bisnis coffee shop dengan cukup baik. Mengingat dirinya sudah cukup “punya nama” di kalangan mahasiswa kampusnya, saat warkopnya buka, banyak orang langsung notice.
Ditambah saat itu coffee shop-nya juga menjadi jujugan pertemuan ormawa. Misalnya untuk rapat organisasi, tempat konsolidasi sebelum aksi, dan sejenisnya.
“Tapi memang ada yang aneh. Ramai, tapi pemasukan kecil banget,” kata Dino.
Setelah ia analisis, ternyata dari banyaknya mahasiswa yang datang ke tempatnya, hanya sedikit yang memesan menu. Itupun menu yang dipesan biasanya yang paling murah, seperti es teh.
“Aku kasih gambarannya nih, ya. Bayangkan lagi rapat BEM, itu bisa 10 atau 15 orang di sana. Tapi yang pesan cuma 2-3 orang,” ungkapnya.
“Yang paling ngeselin, banyak yang kalau datang bilangnya, ‘Bro, pinjam tempat ya!’, seolah-olah kalau kami nggak butuh duit gitu.”
Itu belum ditambah kelakuan rojali yang lain: teman-temannya yang sejak sore datang, pesan es teh, dan WiFian sampai tengah malam untuk mabar.
Alhasil, dalam sehari Dino dan teman-temannya hanya mengantongi penghasilan kotor Rp200-300 ribu. Itu hitungannya rugi karena buat balik modal pun masih jauh.
“Bulan pertama so-so. Bulan kedua mulai kelabakan, bahkan sering nombok. Nah, bulan ketiga kami udah nggak mampu perpanjang sewa ruko. Bubar udah.”
Bisnis gulung tikar, pertemanan juga hancur
Karena bisnis coffee shop-nya gulung tikar, mau tak mau Dino dan teman-temannya harus merogoh kantong sendiri buat melunasi pinjaman kampus. Untungnya, dana tadi bisa mereka lunasi selama 2 tahun, jadi disambi kerja part time pun masih terasa ringan.
“Pokoknya kapok banget. Makanya ketika kemarin viral ada pengusaha coffee shop ngeluh soal rojali, gila aku relate banget. Hahaha!,” tawanya.
Tak cuma bisnis yang hancur, pertemanan Dino pun juga rusak. Gara-garanya, Dino pernah terang-terangan menyindir kelakukan para rojali ini saat nongkrong bareng circle-nya. Entah siapa yang cepu, omongan Dino menyebar di kalangan mahasiswa lain.
Mereka yang merasa tersindir pun sakit hati. Bahkan, Dino sampai mendapat label “pelit”, “tak punya jiwa solidaritas”, bahkan tak sedikit yang mengolok-olok kegagalan bisnisnya.
“Ya akhirnya dijauhi aja sama teman-teman. Sampai sekarang malah. Dari yang dulu akrab, sering nongkrong bareng, sekarang kayak orang nggak kenal,” jelas Dino, di sisa-sisa kegeramannya.
“Boleh dibilang aku sama kecewanya dengan mereka. Paling bikin kecewa, sih, mereka ini nggak sadar dengan perilaku mereka yang merugikan ini,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News