Pergaulan saat kuliah di PTN Malang membuat Hana (26), bukan nama asli, sempat lupa diri. Demi mengikuti gaya hidup orang lain, dia sampai menyewa kos mahasiswa yang mahal karena ber-ac. Jika mengingat momen-momen itu, Hana masih terbelenggu dengan rasa bersalah. Sebab, di saat bersamaan pada waktu itu, orangtuanya di rumah saja harus menahan diri untuk beli kipas baru.
Jadi mahasiswa di PTN Malang, malu dengan kos sendiri
Saat menjadi mahasiswa baru di sebuah PTN di Malang, Hana sebenarnya belum terlalu terbawa arus gaya hidup orang lain. Sebagai orang desa dari kabupaten kecil di Jawa Timur, dia berangkat kuliah sebagaimana mestinya saja.
Awal-awal menjadi mahasiswa baru di PTN Malang pada 2018 itu pun, Hana menyewa sebuah kos di harga pada umumnya: Rp500 ribuan.
Namun, hati Hana mulai tersudut kala akhirnya memiliki lingkaran pertemanan sendiri. Jujur, Hana sebenarnya tak tahu persis detail latar belakang teman-teman perempuannya tersebut. Akan tetapi, mereka memang punya gaya hidup hedon.
“Kalau soal kos, mereka ada lah agenda main ke kos satu sama lain. Kos mereka di harga Rp1 jutaan. Karena ambil kos mahasiswa yang ber-ac. Hanya dua orang yang nggak ber-ac, aku dan satu teman lagi,” ungkap Hana, Sabtu (23/8/2025).
Tiap giliran kos Hana yang akan dijadikan tempat ngumpul, Hana berusaha menolak. Dia minder. Tak siap jadi bahan rasan-rasan karena kuliah di kos mahasiswa sekadarnya.
Mahasiswa PTN Malang paksa orangtua bayari kos seharga Rp1 juta
Gengsi membuat Hana buta hati—begitu Hana menyebutnya sendiri. Mahasiswa PTN Malang itu lalu meminta agar orangtuanya menambahi jatah untuk sewa kos, karena Hana ingin menyewa kos yang lebih enak dan ber-ac.
Awalnya, kata Hana, bapak Hana agak keberatan. Sebagai pedagang tahu keliling, agak berat rasanya kalau tiap bulan harus mengirim uang lebih banyak dari sebelumnya.
Tapi Hana berdalih bahwa memang harga-harga di Malang sedang naik drastis. Termasuk harga kos mahasiswa. Orangtua Hana tak punya alasan lagi untuk menolak keinginan sang anak.
“Aku sewa kos mahasiswa di harga Rp1 juta sekian, sebenarnya sewa dekat salah satu temanku (mahasiswa PTN Malang) itu. Ya sudah akhirnya nggak gengsi lagi. Kupersilakan saja kalau ada teman yang main atau nginep,” kata Hana.
Di luar lingkaran terdekatnya, beberapa teman Hana sesama mahasiswa PTN Malang memang sesekali menginap di kos Hana. Rata-rata menunjukkan ketakjuban. Misalnya dengan menyebut, “Wah enak banget kalau punya kos kayak gini. Bisa betah nggak keluar-keluar.”
“Jangankan mereka, aku saja sejak pindah ke kos mahal dan ber-ac itu merasa, ternyata begini ya enaknya punya kamar ber-ac, kasur empuk,” ujar Hana. Walaupun sebenarnya tanpa ac-pun Malang sudah dingin.
Sementara orangtua di rumah hidup dalam keterbatasan
Dari 2018-2019, Hana mengaku seperti tutup mata dengan kondisi orangtuanya di rumah. Yang dia tahu, pokoknya setiap awal bulan sudah harus ada kiriman uang yang masuk. Apalagi soal sewa kos, si pemilik kerap menagih di awal bulan.
Sampai akhirnya pandemi Covid-19 memaksanya harus pulang dan tinggal agak lama di rumah. Karena PTN Malang tempatnya kuliah juga memberlakukan perkuliahan daring sampai waktu yang belum ditentukan.
“Di Malang aku tidur di kos mahasiswa dengan kasur empuk dan ac, sementara bapak ibuku tidur di kasur lusuh dengan kipas angin rusak,” kata Hana.
Sempat Hana mengeluh karena di rumah hanya ada satu kipas angin. Itupun sudah afkir. “Kenapa kok nggak beli baru aja kalau rusak?” Begitu tanya Hana.
“Selama masih bisa, ya kenapa nggak dipakai? Lagian, kalau beli, artinya ada sekian rupiah yang terpakai, sementara itu harusnya bisa dibuat mengirimimu uang bulanan. Katanya di Malang apa-apa makin mahal,” jawab bapak Hana.
Dari situ Hana mulai sadar, ternyata selama ini dia sangat egois. Memikirkan enak untuk dirinya sendiri, tapi abai sama sekali dengan kondisi orangtua di rumah. Hatinya begitu teriris.
Mereka yang hidup dalam gengsi
Saat kembali untuk kuliah luring di PTN Malang pada 2021, Hana memutuskan untuk pindah lagi. Dia mencari kos mahasiswa di harga pada umumnya lagi. Meninggalkan kemewahan-kemewahan gengsional seperti ac dan sejenisnya.
“Saat itu aku udah nggak peduli misalnya ada teman mau rasan-rasan. Di kepalaku, aku kebayang kasur bapak ibuku yang lusuh dan nahan diri nggak beli baru demi aku,” kata Hana.
Seiring waktu, Hana akhirnya tahu situasi sebenarnya dari teman di lingkarannya. Memang ada yang pada dasarnya dari keluarga kaya. Tapi ada juga yang “sok kaya” padahal dari keluarga menengah bawah.
Di titik itu, Hana merasa miris sendiri. Mereka jajan enak di mall, habiskan uang untuk nongkrong di coffee shop, tidur nyaman di kos mahal ber-ac. Sementara Hana membayangkan, nun jauh di tempat lain orangtua mereka tengah hidup dengan menahan banyak hal demi bisa mengirimi sang anak tiap bulan.
“Aku bersyukur Tuhan menyadarkanku,” tutur Hana.
Hana sudah lulus kuliah dari PTN di Malang. Kini dia juga masih di Malang untuk bekerja. Meski bisa mencari uang sendiri, Hana tetap memilih hidup sekadarnya saja. Dia kerap membagi gajinya untuk dikirim ke rumah. Sekalipun tak seberapa, paling tidak bisa digunakan untuk tambah-tambah belanja kebutuhan orangtuanya di rumah.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kuliah S2 Luar Negeri Berkat Beasiswa LPDP: Dibanggakan malah Berakhir Melukai Orangtua karena Lupa Diri atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
