Grogol, Jakarta Barat, menjadi salah satu kawasan di eks ibu kota negara ini yang menjadi jujugan para perantau. Khususnya bagi mereka yang masuk kategori berpendidikan rendah.
Sayangnya, banyak dari mereka hidup miskin dan sengsara. Para perantau harus rela tinggal di kos kumuh dan mengandalkan makanan kadaluarsa demi bertahan hidup. Salah satunya adalah narasumber Mojok, sebut saja Afif (23), seorang perantau asal Jogja.
Sebagai informasi, Grogol beda tipis dengan kawasan di Jakarta Barat lain, yakni Tambora. Sejak awal 2000-an, banyak pendatang memadati kawasan ini. Karena jumlah penduduk makin tak terkendali, pada 2002 ia ditetapkan sebagai kawasan kumuh oleh Dirjen Cipta Karya.
Bahkan, kalau menukil data BPS pada 2024 lalu, ada sejumlah 106 ribu penduduk miskin di Jakarta Barat. Sementara Grogol, adalah salah satu kawasan dengan penyumbang terbesar.
Kendati demikian, bagi Afif, ia tak punya pilihan. Ketika salah satu saudaranya mengajaknya merantau ke ibu kota pada arus balik lebaran 2023, tanpa pikir panjang ia langsung menerima.
“Daripada nganggur. Soalnya sejak lulus SMA pada 2020, aku cuma nganggur karena Covid-19,” ujar lelaki asal Jogja ini, saat Mojok temui Selasa (8/4/2025) malam. “Di Jogja mah susah nyari kerja. Kalaupun ada, kadang gajinya yang kurang cocok.”
Tiba di Grogol, harus rela menginap di kos sempit penuh kecoa
Ketika memutuskan ikut saudara merantau ke Grogol, Jakarta Barat, Afif dijanjikan pekerjaan sebagai penjaga bangunan. Di Jakarta Barat, dari yang saudara Afif jelaskan, banyak rumah dan bangunan kosong–hanya ditinggali pemiliknya di hari-hari tertentu saja.
“Nah, aku ini ditawari kerja ngejaga sekaligus ngerawat rumah itu,” kata dia. “Gaji 3 juta sebulan, udah tinggal sama makan di situ, siapa yang nggak tergiur,” imbuhnya.
Pada arus balik 2023, Afif berangkat bersama saudaranya naik bus. Namun, alangkah kagetnya dia; setelah sampai di Grogol, jujugan pertamanya adalah kos-kosan saudaranya yang kondisinya amat memprihatinkan.
“Itu kayak di tengah-tengah kawasan kumuh gitu. Dekat sama tol kalau nggak salah,” ungkapnya.
Kos ukuran kira-kira 3×5 meter itu disekat menjadi dua kamar tidur dan satu ruang tengah. Dinding pembatasnya hanya menggunakan triplek. Sementara dapur dan kamar mandi berada di bangunan yang berbeda.
Selama berhari-hari Afif tidur di ruang tengah. Tanpa kasur, hanya beralas matras dan bantal. Parahnya lagi, nyaris setiap malam ada kecoa yang terbang dan merayap sampai masuk-masuk ke pakaiannya.
“Itu pas malam pertama tinggal di situ, rasanya pengen pulang aja. Nggak betah. Cuma bisa nahan tangis.”
Andalkan makanan yang sudah kadaluarsa
Tempat tinggal Afif di Grogol, Jakarta Barat, menjadi satu dengan permukiman pemulung. Jaraknya juga tak jauh dari tempat pembuangan sampah. Maka tak heran kalau bau sampah sangat menyengat di sini.
Namun, itu bukan hal terburuknya. Yang belakangan Afif ketahui juga, penduduk di sana gemar mengonsumsi makanan kadaluarsa. Mulai dari nugget, sosis, bakso, daging, dan lain sebagainya.
Baca halaman selanjutnya…
Awalnya jijik. Tapi lama-lama terbiasa bahkan belum pernah sakit.
“Jadi para pengemis ini ngambilin makanan-makanan sisa buangan dari hotel atau supermarket. Nah dijual lagi dengan harga murah sama penduduk di sana,” jelasnya.
Awalnya, Afif mengaku jijik. Namun, karena merasa nggak enak dengan saudaranya, ia terpaksa ikut makan. Lama-lama malah makin terbiasa.
“Kalau dibilang rasanya beda sama yang fresh ya jelas beda,” kata dia. “Tapi anehnya aku nggak pernah sakit, mungkin karena imunku dah kebal aja,” sambungnya, dengan tertawa.
Bertahan enam bulan dengan ngojol
Seminggu lebih tinggal di Grogol, Jakarta Barat, Afif masih menganggur. Pekerjaan yang dijanjikan saudaranya, belum juga dipenuhi. Sementara ketika dia ingin ikut kerja sebagai kuli bangunan, dilarang oleh saudaranya dengan alasan “pekerjaannya terlalu berat”.
Mau tak mau Afif pun kudu memutar otak, sebab uang saku yang diberikan orang tuanya kala berangkat ke Grogol sudah habis. Ia pun nekad ngojol, profesi yang sempat ia jadikan sampingan selama masih di Jogja.
Sekadar untuk makan di hari itu, penghasilan dari ngojol memang cukup. Namun kalau untuk pekerjaan jangka panjang, rasanya memang tidak mungkin.
“Sehari bersih 50 ribu, paling besar 100, lumayan lah. Seenggaknya buat makan dan rokok udah bisa,” ungkapnya.
Lama-lama Afif berpikir, kalau cuma sama-sama ngojol, ngapain dia jauh-jauh di Grogol. Di Jogja pun bisa. Malahan dia bisa tidur di rumah sendiri, tanpa harus numpah di kos saudaranya yang tak layak huni.
Kurang lebih selama enam bulan Afif bertahan hidup di perantauan. Sekitar akhir 2023 ia memilih kembali ke Jogja karena memang tak ada kejelasan soal pekerjaan di Jakarta Barat.
“Dari yang aku pelajari, kalau saudara pamer pencapaian saat lebaran terus sok-sokan nawarin kerja, jangan langsung diiyakan,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Ciledug, Kawasan Paling “Terurus” di Tangerang yang Sebaiknya Jangan Kamu Tinggali Kalau Fobia Ormas atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
