Berbagai cara dilakukan untuk mengenang dan mengabadikan Joko Pinurbo yang telah meninggal dunia. Warga sekitar rumahnya di Jogja, yang sempat lama tak menyadari bahwa sosok ramah dan bersahaja itu adalah sastrawan kondang, mengabadikan Jokpin sebagai nama sebuah gang.
Kemarin, Sabtu 27 Juli, masyarakat RW 04 Wirobrajan Yogyakarta menggelar peresmian Gang Joko Pinurbo. Ini dilakukan dengan prosesi teatrikal pemancangan ‘tetenger’ di sebuah lajur gang menuju jalan rumah sang penyair yang sebelumnya memang tak bernama.
Acara yang sekaligus bertajuk mengenang Joko Pinurbo ini digelar menjelang 100 hari kematiannya, yang jatuh sepekan mendatang, tepatnya pada Sabtu, 3 Agustus.
Ramai sore itu para warga dan seniman, perupa, sastrawan, budayawan, hingga akademisi sejawat Jokpin berkumpul di lajur Jl. Setiaki No.8 Wirobrajan, tempat acara terselenggara.
Saking ramainya seniman, saya merasa ini jadi seperti acara reuni mereka. Satu-persatu mereka datang untuk menghormati mendiang.
Mereka bergantian mengisi panggung, memberikan testimoninya selama mengenal Jokpin, dan tak lupa membacakan puisi-puisi penyair yang dijuluki sebagai “lurah puisi masa kini’’ itu.
Salah satu di antaranya adalah seniman kondang Butet Kartaredjasa. Dalam pidatonya, ia bersaksi bahwa Jokpin adalah figur sastrawan yang unik dan inspiratif.
Ia menyorot, “Satu hal yang harus kawan-kawan ketahui, saya bersaksi hanya Jokpin adalah satu-satunya yang berhasil membuat Raja Jogja, Sri Sultan Hamengku Buwono X, baca puisi!” katanya menggebu.
Sri Sultan memang sempat membacakan puisi Jokpin saat peringatan 40 hari kepergiannya di Monumen Serangan Umum 1 Maret Yogyakarta, Rabu, 5 Juni silam. Demi mempersiapkannya, Butet mengatakan Sri Sultan sangat serius dalam berlatih membaca puisi Jokpin.
Butet mengaku mendapat cerita dari ajudan dan kepala dinas kebudayaan, “konon sebelum membacakan puisi Jokpin, setiap naik mobil berangkat dari keraton ke kepatihan, (Sultan) selalu latihan moco puisi,” katanya dalam pidato.
Penamaan Gang Joko Pinurbo adalah murni inisiatif warga RW 04
Semula, saya pikir ini adalah acara yang diinisiasi oleh pemerintah, atau dinas budaya. Ternyata setelah mendengar sambutan ketua RW 04, saya keliru. Acara sore itu murni inisiatif warga.
Guyub warga masyarakat sekitar jadi penyumbang utama suksesnya acara sore itu.
Di sepanjang lajur jalan, warga telah menyiapkan 12 angkringan yang menyediakan makanan secara gratis sebagai suguhan. Selain takjub sebab warga melakukan bentuk pemberdayaan pelaku angkringan, ini juga membikin saya teringat pada quotes legendaris Jokpin yang kerap dikutip, “Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan”
Pemancangan petanda gang, melibatkan anak-anak dan bapak-bapak desa dengan prosesi yang sarat seni dan budaya.
“Tetenger” dibawa dan ditancapkan oleh para pelaku teatrikal pantomim. Dengan dikerubungi warga dan keluarga, prosesi berjalan amat meriah dan sakral.
Warga RW 04 Wirobrajan tidak tahu bahwa Joko Pinurbo adalah penyair terkenal
Jauh dari kata mewah, Jokpin tinggal di gang kecil pada daerah kampung padat penduduk perkampungan kota Yogyakarta. Ia melebur dalam masyarakat layaknya warga biasa.
Karena kesederhanannya, ternyata warga Wirobrajan tak tahu bahwa ia seorang penyair berpengaruh di Indonesia.
“Pak Joko itu kehidupannya di masyarakat sangat sederhana, ronda yo ronda, arisan yo arisan.. ndak tahu sama sekali,” Kata Gatot (63), ketua RW 04 Wirobrajan. Di kampung, Jokpin disapa dengan “Joko” oleh warga kampung. Mereka tak mengenal siapa Jokpin.
Banyak warga menganggap bahwa pekerjaan Jokpin adalah sekadar sebagai dosen atau pendidik.
“Paling tak sampai 5% warga RW tahu dengan identitas Pak Joko ini. Dia tidak pernah menunjukkan ‘aku ini siapa’ di masyarakat,” kata Budi (53), warga yang tinggal satu RT dengan Jokpin.
Ia sendiri tahu bahwa Jokpin adalah penulis, tapi tidak tahu bila namanya telah sebesar ini. Budi bercerita, Jokpin aktif bermasyarakat dan menduduki posisi sebagai bendahara khas untuk dana sosial di RT-nya.
Ketika ramai perhatian tertuju pada Jokpin saat kepergiannya, barulah warga mulai tahu. Sebagaimana Gatot, ia mengaku kaget ketika mengetahui ramai sekali orang datang juga karangan bunga berjajar luar biasa panjang.
Saat itu ia mulai bertanya-tanya, siapa Pak Joko ini sebenarnya. Saat peringatan 40 hari Jokpin, ia kaget mengetahui bahkan Sri Sultan saja membacakan puisi Jokpin.
Itu adalah titik ia sadar bahwasanya yang dikenalnya sebagai Pak Joko adalah “Orang Penting”. Secara otomatis, sebagai ketua RW ia merasa perlu melakukan sesuatu.
“Melihat Sri Sultan, saya kok merasa ngga berterima kasih dan ngga punya rasa memiliki kalo kami (warga) ga berlaku apa-apa” ungkapnya merasa bersalah.
Berawal dari musyawarah warga
Perasaan itu yang mendasari ia mulai membuka musyawarah dengan warga. Musyawarah berdasar dari pertanyaannya, “Bagaimana kita harus memberikan apresiasi terhadap Pak Joko selaku warga masyarakat RW 04 yang telah membawa nama harum bangsa” ucapnya.
Dari itu, muncullah pemikiran untuk mengabadikan Jokpin dalam nama gang. Acara ia proyeksikan terjadi secara kecil-kecilan sederhana. Panitia sejumlah 7 orang menyiapkan acara secara spontan kurang dari 7 hari, sejak tanggal 21.
Tetapi “kriwihan dadi grojogan”, katanya, datang banyak sambutan dan dukungan baik yang turut menyukseskan acara RW-nya hari itu.
Ramainya seniman juga media datang, tak termasuk dalam perkiraan Gatot. Berita akan acara penamaan Gang Joko Pinurbo menyebar secara sendirinya.
Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024.
Penulis: Alya Putri
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Joko Pinurbo Terbuat dari Jogja, Puisi, dan Tragedi
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.