Rombongan jarang beli (rojali) di mall jadi perbincangan tanpa akhir belakangan ini. Bahkan sampai muncul istilah-istilah turunannya seperti rohana (rombongan hanya nanya) karena hanya nanya harga barang tanpa membeli, hingga rohalus (rombongan hanya elus-elus) karena hanya ngelus-elus barang tapi tidak membelinya.
Banyak pelaku usaha di mall mengeluh mengalami “kerugian”. Sebab, keberadaan rojali di mall tidak serta-merta membuat pendapatan bertambah. Mall hanya terasa sesak, tapi daya beli si rojali, rohana, hingga rohalus sangat rendah.
Mojok menemukan case unik dari rojali di mall. Bahwa selain kesenangan batin, ternyata jalan-jalan di mall—meski tanpa keluar uang untuk beli barang—ternyata membuat batin agak nelangsa.
Jadi rojali di Mall karena tak ada hiburan lain
Hidup di kota besar seperti Surabaya tak banyak pilihan hiburan. Setidaknya begitulah yang Mega (26) rasakan.
Perempuan asal Jombang, Jawa Timur, itu merantau ke Surabaya untuk kuliah pada 2018 silam. Lalu setelah lulus pada 2022, dia memutuskan tetap di Kota Pahlawan untuk bekerja.
Surabaya, di mata Mega, tak menyuguhkan banyak hal indah yang bisa dinikmati. Hanya ada hamparan gedung tinggi, kemacetan di pusat kota, dan matahari menyengat di siang hari.
Memang ada banyak taman. Tapi apa yang menarik dari sebuah taman? Mega relatif hanya merasa mendapat hiburan kalau sedang di Alun-Alun Surabaya atau Jalan Tunjungan.
“Sebenarnya aku nggak familiar dengan mall. Karena di Jombang nggak ada. Ya ada Linggarjati Plaza. Tapi itu kan bukan mall yang gede,” ungkap Mega, Rabu (7/8/2025).
Perkenalan Mega dengan mall terjadi sejak awal-awal kuliah di Surabaya. Bersama teman-teman perempuannya, mereka kerap main di Royal Plaza, sekadar jajan di lantai food court.
“Tapi sejak itu merasakan sih, di kota seperti Surabaya, mall jadi hiburan alternatif karena bisa ngadem karena Surabaya yang amat panas. Selain juga cari hiburan mata karena kita bisa melihat-lihat barang-barang bagus,” sambungnya.
Elus-elus doang tapi tak beli beri kepuasan tersendiri
Seiring waktu, Mega dan beberapa temannya mengaku akhirnya menjadi rojali bahkan rohalus. Jika sedang libur kuliah—atau kini libur kerja—mereka sengaja pergi ke mall untuk “ngadem” dan lihat-lihat.
Sejak kuliah si Surabaya, khazanah pengetahuan Mega perihal barang-barang bermerk memang bertambah. Dan kebanyakan barang-barang tersebut—seperti pakaian, tas, hingga sepatu—bisa ditemui di mall.
Beberapa kali Mega memang berbelanja di mall. Namun, tidak jarang pula dia menjadi—yang orang sekarang sebut sebagai—rojali, rohana, atau rohalus. Sekadar melihat-melihat di stand-stand barang yang dia sukai, mengelus-elus, tapi tidak lantas membelinya.
“Rasanya kayak ada kepuasan tersendiri aja lihat barang-barang itu,” tutur Mega.
“Sisi lainnya, aku kalau tahu ada yang baru misalnya, dan tahu harganya dari menjadi rojali atau rohalus itu, terus terpancing untuk nabung. Eh siapa tahu bulan depannya bisa kebeli,” sambungnya.
Jadi rojali di mall jadi kemewahan bagi orang desa
Sama seperti Mega, mall juga menjadi sesuatu yang jauh bagi Hairun (23), pemuda asal Blora, Jawa Tengah, yang saat ini kuliah di sebuah kampus di Sleman, Jogja. Di Sleman, ada beberapa mall besar, sebut saja yang kerap jadi jujukan mahasiswa: Jogja City Mall (JCM).
Pengalaman pertama Hairun menginjakkan kaki di tengah bangunan megah JCM terjadi saat dia semester 1. Saat itu dia diajak teman-teman sekelasnya untuk nonton bioskop.
“Kalau aku di desa kan nonton bioskopnya ya bioskop Trans TV hahaha,” ujar Hairun.
Hanya sebatas itu. Tapi Hairun mengaku ada perasaan bungah dalam hatinya. Sebab, bagaimanapun, Hairun adalah orang desa yang baru saja menginjakkan kaki di mall. Sehingga terasa seperti mencecap sebuah kemewahan.
Batin nelangsa
Setelahnya, Hairun terhitung kerap pergi ke mall. Bukan atas kemauannya sendiri, tapi untuk menemani seorang temannya yang memang anak orang kaya. Misalnya kalau dia sedang ingin belanja pakaian atau sepatu.
“Di situ kan aku masuk golongan rojali dan rohalus. Karena saat temanku beli, aku cuma bisa lihat-lihat dan ngelus-elus. Karena nggak punya duit lebih kan,” kata Hairun.
Situasi itu jelas saja membuat batin Hairun nelangsa. Sebab, kadang kala dia tertarik betul dengan suatu barang. Akan tetapi, harga barang tersebut masih sangat jauh dari isi dompetnya.
Tak hanya itu, kenelangsaan yang Hairun rasakan juga terpicu dari pemandangan orang-orang kaya yang berlalu-lalang di mall. Dalam benaknya terbersit pertanyaan, “Mereka ini sebenarnya kerja apa, sih, kok mainnya bisa leluasa di mall?”
“Kadang juga berpikir jauh, aku saja dari kecil nggak pernah nyentuh mall. Sekarang pun cuma bisa jadi rojali dan rohalus. Kelak, bisa nggak ya aku seleluasa orang-orang itu, untuk beli kaos, atau beli makan saja, bisa di mall dengan leluasa. Ngajak keluarga dengan leluasa,” tutupnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pengalaman “Katrok” Pertama ke Pakuwon Mall Jogja, Takut Naik Eskalator hingga Terpaksa Membeli Kaos Rp650 Ribu buat Menutup Rasa Malu atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
