Di balik megahnya gedung-gedung perkantoran di Slipi, Jakarta Barat, ada banyak pekerja yang hidupnya sengsara. Beberapa di antaranya bertahan dengan gaji kecil dan tinggal di kos tak layak huni. Padahal, mereka punya latar belakang pendidikan yang mumpuni: lulusan S2.
***
Nino (26) datang ke Jakarta dengan gagah. Modalnya mumpuni, yakni punya ijazah S2 dari kampus ternama di Jogja. Sialnya, setelah sembilan bulan bekerja, yang ia dapat bukanlah hidup sejahtera sebagaimana yang dibayangkan sebelumnya. Melainkan tekanan mental yang tiada tara, hingga dia kudu rutin mengonsumsi obat dari psikiater.
“Hal-hal yang nggak pernah dibayangkan orang-orang di luar sana tentang Jakarta, semua aku alamin di sini,” ujar lulusan S2 ini, kala dihubungi Mojok, Kamis (15/5/2025).
Nino sendiri bekerja di Slipi, kawasan perkantoran elite di Jakarta Barat. Konon, kawasan ini merupakan “rumah dari para pekerja”.
Wajar saja disebut demikian, mengingat kelurahan di Palmerah ini dekat dengan Sudirman dan Thamrin. Sehingga ia pun masuk ke dalam kawasan Central Business District (CBD)–kawasan perkantoran kelas atas di Jakarta.
Namun, di balik megahnya gedung perkantoran di kawasan ini, ada orang-orang seperti Nino yang kudu bertahan dari kerasnya dunia kerja ibu kota.
Meninggalkan UMR Jogja demi… gaji yang sebenarnya sama saja
Sebelum ke Slipi, Jakarta Barat pada 2024 lalu, Nino sudah bekerja di Jogja. Meski pekerjaannya pasti, penghasilan bulannya lah yang tidak pasti. Ia bekerja di sebuah perusahaan jasa yang sistem upahnya by client. Artinya, besaran gajinya tergantung banyak klien yang di-handle tiap bulannya.
“Mengandalkan UMR Jogja saja hidupnya susah, apalagi aku yang waktu itu rata-rata sebulan UMR saja nggak sampai,” ungkapnya.
Alhasil, ketika ada tawaran kerja di Jakarta, ia tak butuh waktu lama untuk menerima. Bayangannya cuma dua: 1) keluar dari Jogja yang kecil gajinya, dan 2) kerja di Jakarta yang UMR-nya tinggi.
“Bayanganku dulu, sekecil-kecilnya gaji di Jakarta, pasti lebih besar dari Jogja. Makanya ketika dikasih disclaimer bakal digaji bawah UMR, tetap aku terima.”
Ketika menerima tawaran kantor barunya itu, yang ada di bayangan Nino cuma bagus-bagusnya saja. Mulai dari gaji yang besar, hingga lingkungan kerja sehat–setidaknya lebih baik dari Jogja. Sayangnya, itu ibarat panggang jauh dari api.
Ternyata, gaji yang ia terima tak lebih dari Rp3 juta per bulan. Hanya dua koma sekian juta. Tak berbeda jauh dari UMR Jogja. Padahal, UMR Jakarta Rp5,3 juta.
“Di Jakarta, gaji 3 juta nggak nyampai bakal dapat apa? Ini sih keluar kandang singa, masuk kandang buaya,” ungkap pekerja Slipi, Jakarta Barat ini.
Belum lagi beban kerja yang ternyata makin berat membuatnya makin kalut. Ia mengaku pernah sampai dua hari tak tidur karena tuntutan bos. Situasi demikian tak cuma sekali dua kali, sampai-sampai dia mengalami gangguan mental.
“Aku sekarang, atas saran psikiater, kudu mengonsumsi obat tidur sebagai penenang.”
Baca halaman selanjutnya…
Tinggal di kos tak layak huni yang berada di antara gedung-gedung tinggi.
Tinggal di kos tak layak huni
Hal serupa juga dialami Dito (26). Sama seperti Nino, ia merupakan lulusan S2 yang mencoba peruntungan di Slipi, Jakarta Barat. Ia tinggal dalam kos-kosan yang berada di gang sempit. Kompleks kosnya berisi 20 orang, semuanya pekerja.
Beberapa dari mereka ada yang bekerja di Slipi, tapi ada juga di kawasan lain Jakarta Barat.
“Kebanyakan alasan mereka, karena di Slipi masih ada kos murah. Kayak di sini, 600 ribu sudah dapat, meski nggak begitu layak,” ujarnya, Jumat (16/5/2025) pagi.
Menurut amatan Dito, Slipi memang kawasan yang penuh ironi. Di balik megahnya gedung-gedung perkantoran, terdapat gang-gang kecil–yang bahkan motor tak bisa masuk. Gang-gang ini menjadi saksi bisu bagaimana pekerja seperti dia rela tinggal di kos tak layak huni demi bertahan di kerasnya ibu kota.
“Rata-rata yang kerja di sini kantoran semua. Tapi ada juga yang jadi driver ojol, dan ada satu jadi comic yang baru merintis.”
Bertahan hidup Rp30 ribu sehari di Slipi
Secara gaji, Dito tak lebih beruntung dari Nino. Ia mendapatkan upah Rp2,8 juta sebulan. Itulah alasan dia rela tinggal di kos sempit, demi menghemat biaya.
“Gaji segitu, di Jakarta, itu cuma cukup buat hidup. Kalau mau muasin hobi, fesyen gitu-gitu, mana bisa,” kata pekerja Slipi, Jakarta Barat ini.
Ia bahkan ada keinginan buat double job atau mencari side job. Misalnya, seperti yang dilakukan teman-temannya, menjadi asisten artis. Namun, melihat jobdesk di kantornya yang begitu banyak, agaknya sangat tidak mungkin.
Oleh karena itu, Dito pun sebisa mungkin menghemat pengeluarannya. Per harinya, ia cuma bakal mengeluarkan uang makan paling mentok Rp30 ribu. Dengan uang makan sekecil itu pun, ia masih mengaku tak bisa menabung karena kudu mentransfer uang ke orang tuanya.
“Aku pernah dinasihatin sama seseorang, kata dia ‘datang ke Jakarta, banyak gedung mewah, kerja di sana, pasti bakal makmur,” kata lulusan S2 ini.
“Mungkin dia belum tahu saja, kalau di Slipi situasinya nggak semudah itu.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Manggarai, Saksi Bisu Sarjana Pura-pura Sukses di Jakarta Selatan: Tinggal di Gang Sempit dan Bertahan Hidup Rp20 Ribu Sehari atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
