Saat ini guru menjadi profesi yang sangat rentan di Indonesia. Kuliahnya mahal, kesulitan jadi PNS, gajinya mengenaskan, dan kini guru harus dibayangi ketakutan dilaporkan ke polisi oleh orang tua siswa.
***
Saya coba mengetik “guru dilaporkan polisi” di mesin pencari. Hasilnya, dalam satu bulan ini saja (Oktober 2024) ada sangat banyak berita guru-guru di berbagai daerah di Indonesia dilaporkan ke polisi. Motifnya seragam: gara-gara mendisiplinkan siswa.
Lalu di media sosial Instagram, saya menemukan unggahan dari akun @zonamahasiswa.id yang melampirkan rentetan kasus guru yang dilaporkan orang tua siswa ke polisi. Antara lain, Sambudi (dilaporkan gara-gara mencubit siswanya karena tidak mau salat berjamaah), Zaharman (matanya diketapel orang tua siswa yang tidak terima anaknya dimarahi karena merokok), Khusnul Khotimah (dilaporkan gara-gara dianggap lalai menjaga siswanya saat olahraga hingga cedera), dan yang paling baru adalah kasus yang menimpa Supriyani.
Lihat postingan ini di Instagram
Ironi Supriyani
Supriyani adalah guru honorer di SDN 4 Baito, Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Dia dituduh memukul seorang siswa berinisial CD (8) yang merupakan anak dari Kepala Unit Intelijen Polsek Baito, Aipda Hasyim Wibowo.
Supriyani dilaporkan pada Kamis (24/4/2024). Beberapa bulan kemudian, laporan tersebut lantas bergulir di meja kepolisian hingga dinyatakan lengkap dan dilimpahkan ke kejaksaan (P21).
Saat itu, Supriyani tidak langsung ditahan lantaran beberapa pertimbangan. Baru pada Rabu (16/10/2024), Supriyani ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kendari.
Dari sini lah banyak pihak (orang-orang di sekitar Supriyani dan warganet), saling “bergandengan tangan” membela Supriyani: menuntut agar Supriyani dibebaskan. Meskipun saat tulisan ini dibuat, proses hukum masih terus saja bergulir.
Mengiringi kasus yang menimpa Supriyani, warganet ramai-ramai menyampaikan rasa prihatinnya pada kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Ketika guru, dalam upayanya mendidik siswa, justru berada dalam posisi rentan.
Beberapa warganet bahkan membuat video parodi: guru tak mau lagi menegur siswanya yang sedang membuat onar di sekolah, daripada harus dijebloskan ke penjara.
Lihat postingan ini di Instagram
Penyamaan persepsi antara sekolah, guru, dan orang tua siswa
Holy Ichda Wahyuni belakangan intens mengikuti pemberitaan guru-guru yang dilaporkan ke polisi karena mendisiplinkan siswa. “Sungguh ironi” kalau kata Holy.
Menurut akademisi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) itu, ada dua sisi dalam persoalan guru vs orang tua siswa (agar mudah, kita sebut saja begitu).
Pertama, di mana batas peran guru dalam mendisiplinkan siswa kaitannya dengan pendidikan karakter? Sementara di sisi lain (kedua), ada hak-hak perlindungan anak yang memang perlu diperhatikan bersama.
“Saya juga termasuk orang yang dalam hal ini getol menyuarakan pendidikan anti kekerasan. Namun, bukan berarti serta merta saya membenarkan tindakan reaksioner dari orang tua yang melaporkan guru,” ujar Holy saat Mojok hubungi, Rabu (30/10/2024).
Oleh karena itu, Holy menekankan perlu adanya penyamaan persepsi antara sekolah, guru, dan orang tua siswa. Tujuannya, agar guru tahu batasan dan pendekatan yang lebih bijak dalam proses pendisiplinan. Orang tua pun tidak akan serta merta reaksioner dalam menyikapi suatu masalah yang melibatkan anaknya di sekolah, tapi mengedapankan proses tabayun.
Transparansi kode etik
Penyamaan persepsi tersebut, menurut Holy, bisa terwujud melalui transparansi kode etik atau regulasi sekolah yang disosialisasikan sejak awal kepada siswa dan orang tua. Yakni tentang bagaimana level pelanggaan siswa hingga bagaimana tingkatan pendekatan yang dilakukan guru dalam rangka pendisiplinan.
Transparansi kode etik harus clear sejak awal. Dengan begitu, sekolah pun punya payung untuk melindungi hak guru dan tentu saja hak perlindungan bagi siswa.
“Batasannya jelas. Jika guru melakukan kekerasan verbal maupun non verbal dan melanggar kode etik, maka tidak dibenarkan,” tutur Holy.
“Tapi jika teguran dan pendisiplinan masih dalam batas kewajaran sesuai kode etik, maka guru berhak mendapat pembenaran bahwa apa yang dilakukan semata dalam rangka memenuhi perannya mendidik siswa, dalam hal ini adalah pendidikan karakter,” tegasnya.
Selain itu, perlu dipahami pula bahwa pendidikan karakter harus juga terjadi sejak di lingkungan keluarga.
“Sebab, seperti teori sosial kognitif dari Albert Bandura: ada hal yang paling berpengaruh pada behaviour sosial anak, yaitu social culture, bukan school culture,” papar Holy.
Artinya, budaya dalam lingkungan sosial berpengaruh besar pada pembentukan karakter. Utamanya di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat secara umum. Lingkungan sekolah hanya variabel tambahan.
Maka, keluarga harus mengambil tanggung jawab besar untuk bagaimana mengenalkan dan membiasakan nilai-nilai etik pada sang anak. Dengan begitu, potensi pelanggaran kedisiplinan, baik di rumah hingga di sekolah, bisa diminimalisir.
Guru harus memperhitungkan hukuman
Sementara menurut Edi Subkhan, pemberian punishment (hukuman) pada siswa, baik dalam konteks pembelajaran maupun kode etik di sekolah, sebenarnya sah-sah saja. Namun, sebelum memberikan hukuman, guru harus memiliki perhitungan yang bijak.
“Tetap ada batasnya. Bahwa sanksi itu tidak boleh men-downgrade motivasi belajar siswa, mencelakai, mengintidimasi, dan sejenisnya,” ujar akademisi Universitas Negeri Semarang (UNNES) itu kepada Mojok, Rabu (30/10/2024).
“Kenapa? Motivasi belajar, keamanan, dan kenyamanan itu utama. Jadi bagaimana menciptakan sekolah, ruang kelas, dan ruang belajar yang aman bagi siswa. Di sini batasnya mestinya jelas,” sambungnya.
Selain itu, menurut Subkhan, hukuman harus memiliki karakter edukatif. Sehingga, alih-alih merasa tertekan, siswa justru memiliki kesadaran untuk berbenah.
Treatment khusus untuk masalah serius
Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana jika siswanya yang keterlaluan? Misalnya, siswa menantang guru berkelahi, membuat rusuh di kelas, bahkan merusak fasilitas kelas atau sekolah hingga suasana belajar tidak terkendali.
“Nah, kalau begitu perlu diberikan treatment khusus. Treatment khusus ini pendekatannya juga harus psikologis. Digali dulu, diidentifikasi dulu, kenapa misalnya siswa suka merusak, bersikap destruktif, bahkan menantang guru,” beber Subkhan.
“Sebabnya kan bisa jadi karena dia berangkat dari keluarga broken home. Sehingga, treatment-nya bukan kekerasan. Karena jika di-treatment sama kerasnya, maka yang ada dia akan memberontak. Itu nggak akan menyelesaikan masalah,” lanjutnya.
Kalau pun tidak memberontak, maka ada kemungkinan siswa akan kehilangan motivasi belajar. Jika mental si siswa agak “lemah”, efeknya malah bisa sangat fatal: hukuman keras memicu stres, depresi, dan berujung pada orientasi bunuh diri.
Tak cuma dari sisi guru, bagi Subkhan, orang tua pun sudah sepatutnya memiliki kebijakan emosional. Misalnya, ketika menerima laporan dari sang anak perihal masalah di sekolah, orang tua baiknya tidak langsung ambil tindakan sepihak: melaporkan ke polisi misalnya. Melainkan harus konfirmasi dulu ke pihak sekolah.
“Di sini sekolah harus terbuka, jangan defensif. Jika terbuka, emosi orang tua pasti akan lebih terkendali. Kalau sekolah tertutup, ini yang kemudian memicu masalah lapor melapor,” tutup Subkhan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News