Lini masa Instagram saya belakangan lebih sering muncul kolase video-video grup salawat yang diresahkan warganet. Ada yang salawat sambil joget-joget. Ada pula yang salah kaprah: mencomot lagu-lagu berbahasa Arab untuk dilantunkan dalam acara salawat. Padahal, lagu berbahasa Arab itu sama sekali bukan berisi pujian pada Nabi Muhammad Saw.
Keresahan atas sebuah grup salawat di media sosial sebenarnya sudah mencuat sejak viralnya syair “Alamate Anak Soleh” 2024 lalu. Waktu itu, ada tren yang mengulang kata “Iku, iku, iku, iku” pada bagian lirik “Iku saking ulama awih pitutur”. Namun karena itu syair, bukan salawat, maka kritiknya tak semasif belakangan ini.
Ketakjuban pada Nabi dicampur pujian untuk Gus Azmi
Namun, hal fatal pun dipertontonkan oleh sebuah grup salawat yang belakangan jadi sorotan saat membawakan “Assubhu bada min thol’atihi”.
Secara umum, liriknya membicarakan ketakjuban kepada Nabi Muhammad Saw. “Assubhu bada min thol’atihi” sendiri berarti: Cahaya fajar muncul dari pancaran wajahnya. Menggambarkan betapa indahnya wajah Nabi Muhammad.
Sementara bait-bait selanjutnya berbicara perihal kemuliaan hingga mukjizat Nabi akhir zaman tersebut.
Akan tetapi, sebuah grup salawat—yang ada Gus Azmi (gus idola Gen Z asal Jawa Timur) di dalamnya—membawakannya dengan menyeleweng dari konteks sebenarnya. Di sela-sela melantunkan “Assubhu bada…”, sang vokalis menyanyikan lagu dengan lirik seperti ini:
Syubbanul Muslimin ada Gus Azmi tampan
Ada Hafid Ahkam bikin cewek melayang
Namun At Taufiq janganlah kau ragukan
Ada Ahmad Tumbuk yang mirip Sahrukh Khan
Syubbanul Muslimin ada Gus Hafid Hakim
Majelis At Taufiq ada Gus Khoiron An Jayin
Nurul Mustofa khotibnya Habib Qodir
Beliau bertiga banyak janda yang naksir
Grup salawat tak paham bahasa Arab
“Semua itu terjadi karena banyak grup salawat yang sebenarnya nggak paham bahasa Arab,” begitu komentar Mizani (26), seorang santri alumni Sarang, Rembang, yang terbilang ngelothok ilmu alat (nahwu-shorof) dan kini tengah mengajar di sebuah yayasan di Pekalongan, Jawa Tengah.
Bukan tanpa dasar Mizani mengatakan begitu. Semasa bertahun-tahun di Sarang, Mizani nyaris tak pernah mendengar syair Arab yang seolah disalawatkan. Setiap salawat yang dilantunkan selalu berdasarkan kitab Burdah atau Simtudduror.
Namun, ketika awal-awal mengajar di Pekalongan di penghujung 2024 lalu, dia kaget. Sebab, ada syair-syair Arab yang dibawakan pada saat kegiatan Burdahan di malam Jumat.
“Santri-santri itu bawakan lagu “Ghannili”. Langsung saya minta berhenti. Itu bukan salawat. Itu lagu romantis kalau dicek arti bahasa Indonesianya,” ucap Mizani. Lagu tersebut saat saya cek ternyata merupakan lagu penyanyi pop Mesir, Umi Kulsum.
Ternyata santri-santri mengira Ghannili adalah salawat. Mereka mencontoh dari grup-grup salawat yang sudah lebih dulu membawakannya. Lagi pula, nadanya memang menyentuh seperti salawat. Alhasil, para santri pun membawakannya begitu saja. Tanpa tahu apa sebenarnya artinya.
Grup salawat gagap dengan bahasa Arab
“Sialnya, di luar sana, banyak grup salawat yang sebenarnya bukan dari kalangan santri. Ada yang hanya kumpulan anak muda dengan keterampilan rebana, terus bikin grup,” tutur Mizani.
Pada dasarnya baik. Karena niat mereka pun awalnya baik: membuat grup salawat. Hanya saja, karena tidak pernah belajar nahwu-shorof, akhirnya banyak yang gagap dengan bahasa Arab. Sehingga menganggap semua-semua yang berbahasa-bernada Arab adalah salawat.
“Contoh dulu grup gambus Sabyan, mereka bawakan lagu “Ya Tab Tab”. Bawakannya seolah kayak bawakan salawat. Padahal itu lagu artinya isinya bermesra-mesraan dan bermanja-menjaan,” beber Mizani. (Ya Tab Tab sendiri adalah lagu Nancy Ajram, penyanyi asal Lebanon).
Habbitak dan Ala Bali: lagu erotis yang salah tempat
Paling baru, kata Mizani, adalah populernya lagu “Habbitak” dan “Ala Bali”. Keduanya sebenarnya dua lagu berbeda. Namun di grup-grup salawat Indonesia, keduanya dinyanyikan sebagai satu lagu.
“Itu kan lagu cinta. Bahkan aku nemu video, dalam versi asli, lagu tersebut dinyanyikan dengan diiringi tarian perut khas Timur Tengah,” ungkap Mizani.
“Eh di kita, malah jadi lagu yang dinyanyikan di pesantren-pesantren dengan niat yang dihaturkan kepada Nabi Muhammad. Kan salah tempat,” sambungnya. Dan masih banyak lagi lagu-lagu bahasa Arab yang dikira salawat di tengah masyarakat kita.
Di media sosial, sebenarnya banyak warganet yang mulai kritis. Memilah mana salawat, mana bukan.
Maka, Mizani berharap, sikap kritis juga dipraktikkan oleh para grup salawat. Agar tidak menerima mentah-mentah setiap lagu berbahasa Arab sebagai salawat.
“Jika para grup salawat itu kritis, menelaah atau minimal mencari tahu artinya dulu, mestinya nggak akan ada salah kaprah seperti “Assubhu bada…” yang disandingkan dengan pujian Gus Azmi tampan. Ngawur sekali itu. Karena “Assubhu bada” adalah pujian untuk Nabi Muhammad,” tutup Mizani dengan nada agak gemas.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Perjalanan Keliling Asia untuk Belajar Bahasa Isyarat demi Ajari Ngaji Anak-anak Tuli di Sleman atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












