Beriringan dengan olahraga lari yang menjadi tren di mana-mana—termasuk di Jogja—marak fotografer jalanan yang seolah berlomba-lomba untuk memotret para pelari. Para fotografer itu melihat peluang cuan di sebuah aplikasi bernama FotoYu.
***
Sebelum era FotoYu, aplikasi yang mengundang cuan bagi fotografer adalah Shutterstock. Bimo Pradityo (44) mengamininya.
Bimo adalah salah satu senior street photography asal Jogja. Dia sebenarnya berprofesi sebagai arsitek. Hanya saja, sudah sejak kecil dia tertular hobi fotografi—terutama di jalanan—oleh sang bapak.
Meski lama berkecimpung di fotografi jalanan, Bimo mengaku tidak begitu intens mengikuti tren fotografer yang memotret pelari. Kendati di Jogja ada banyak titik yang menjadi spot pelari. Hanya sesekali saja dia, bersama sang istri, coba-coba menjajalnya.
“Itu sebagai bagian dari proses fotografi saya. Jadi saya ikuti trennya, tapi nggak intens,” ungkapnya saat saya temui di bilangan Jl. HOS Cokroaminoto, Tegalrejo, Kota Jogja, Jumat (14/2/2025) pagi WIB.
“Kalau saya sebelumnya ambil foto kalau nggak buat koleksi sendiri ya diikutkan kompetisi. Sekarang coba-coba saja ikut jual (di FotoYu). Buat cari “duit lanang”,” terang pria ramah yang kini tercatat sebagai brand ambassador Fuji Film tersebut.
Duit lanang adalah istilah Bimo dan teman-temannya fotografer di Jogja untuk menyebut uang khusus suami yang digunakan untuk (misalnya): beli rokok, kopi, dan yang terpenting adalah untuk menyalurkan hobi, dalam hal ini membeli alat-alat penunjang fotografi.
FotoYu jadi oase bagi fotografer
Kendati begitu, Bimo melihat—setidaknya di Jogja—ada sejumlah fotografer pelari yang memang benar-benar “mencari hidup” dari FotoYu.
FotoYu sendiri, kata Bimo, pertama kali mengudara pada 2022. Di tengah-tengah masa pandemi.
Kala itu, aplikasi tersebut menjadi semacam oase bagi para fotografer yang, ketika pandemi memuncak pada 2020-2021, kondisi ekonominya lumpuh.
Apalagi pada 2022 itu mulai tren olahraga seperti bersepeda hingga lari. Foto-foto hasil menjepret orang-orang yang tengah berolahraga tersebut ternyata menghasilkan cuan lumayan saat dijual di FotoYu.
“Kalau dalam konteks Jogja, tren bersepeda kan mulai surut. Sekarang yang tren olahraga lari. Jadi itu yang diburu fotografer,” terang Bimo.
FotoYu awalnya tawarkan cuan menjanjikan
Di awal kemunculannya, FotoYu jelas memberi tawaran cuan yang menjanjikan bagi fotografer.
Bagaimana tidak. Waktu itu penggunanya belum banyak. Artinya, persaingan antarfotografer masih rendah. Sehingga, angka yang masuk dari jualan foto di aplikasi tersebut pun bisa besar.
“Fotografer di GBK, yang saya dengar dari teman-teman, sebulan bisa generate Rp15-Rp20 juta,” ungkap Bimo.
Tak pelak jika akhirnya banyak fotografer yang melihatnya sebagai peluang ekonomi, lalu memutuskan untuk menjadi fotografer full time untuk FotoYu. Tidak seperti Bimo yang memang hanya sekadar untuk menyalurkan hobi. Bisa mendapat duit lanang hanya bonus.
Bisa kasih harga sendiri
Perkara lain yang membuat banyak fotografer “mengerubungi” FotoYu adalah karena kemudahannya. Bimo menjelaskan, kira-kira begini langkah untuk menjual foto di aplikasi tersebut:
- Unduh aplikasi
- Registrasi dengan KTP dan beberapa kali selfie
- Bisa langsung jualan (unggah foto hasil jepretan)
“Kalau langsung jualan itu cuma bisa menentukan harga foto di angka Rp9 ribu. Maka, harus mengajukan verified dulu. Kalau sudah, nanti bisa menentukan harga tinggi,” terang Bimo.
Itu lah enaknya FotoYu. Fotografer bisa menentukan harga sendiri. Mulai dari Rp9 ribu hingga jutaan rupiah.
Cara jualan di aplikasi itu adalah: fotografer tinggal mengunggah beberapa file foto pelari atau subjek lain yang penting subjek hidup (manusia). Di sini juga letak bedanya dengan Shutterstock.
FotoYu hanya menerima foto-foto subjek hidup. Sebab, FotoYu dengan bantuan AI bernama RoboYu akan mengidentifikasi wajah dari subjek foto yang diunggah. Sementara di Shutterstock, apa pun subjek foto bisa diunggah.
“Jadi saat foto diunggah, foto tersebut hanya akan bisa diakses oleh fotografer dan orang yang wajahnya teridentifikasi sebagai wajah orang di foto. Cara jualannya memang person to person,” terang fotografer asal Jogja itu.
Fotografer pemula bisa kalahkan profesional
Kata Bimo, ada bagian anomali dari FotoYu. Di aplikasi ini, kualitas foto, mahalnya lensa, ternyata tidak berpengaruh bagi laku atau tidaknya sebuah foto.
“Contoh istri saya yang pemula. Dia sehari bisa jualan 23 foto. Harga per fotonya Rp35 ribu. Kalau saya cuma laku 12-an. Padahal itu dengan lensa yang mirip-mirip,” kata Bimo.
“Bahkan foto istri saya itu kepotong-potong. Ada yang (gambar) tangannya kepotong. Tapi laku,” sambungnya.
Bahkan, seturut temuan Bimo, ada fotografer yang ketika memotret membawa dua kamera kualitas terbaik. Lensanya saja ada di harga Rp30 jutaan. Memotret di area yang sama dengan fotografer pemula. Tapi lakunya tidak seberapa.
Gesekan dan harga yang mulai drop
Begitu lah hingga akhirnya kini FotoYu diserbu banyak fotografer. Persaingannya makin ketat. Yang terjadi, aplikasi itu kini, setidaknya di mata Bimo, sudah tak semenjajikan dulu.
“Sekarang harganya drop. Banyak fotografer motret pokoknya yang penting laku. Jual Rp9 ribu aja ada,” ucap Bimo.
Belum lagi dua gesekan mulai terjadi. Baik antara sesama fotografer, maupun antara fotografer dengan subjek yang difoto (pelari).
“Misalnya, di sebuah titik CFD, para fotografer bikin kesepakatan harga. Maka itu harga jual yang harus dipasang. Kalau ada yang membanting harga, bisa menimbulkan gesekan antarfotografer,” beber Bimo
Belum lagi belakangan, mulai terjadi gesekan: ketika fotografer bersikap arogan. Memaksa memotret orang yang jelas-jelas menolak difoto. (Bimo memaparkan panjang lebar perihal batas-batas etiknya di liputan ini).
“Ini mirip fenomena ojek online. Dulu pemainnya belum banyak. Jadi sebulan bisa dapat Rp15-Rp30 juta. Sekarang nggak bisa. Pemainnya semakin banyak. Persainganya semakin ketat. Apalagi di Jogja harga julanya nggak terlalu bagus,” tandas Bimo.
***
Untuk mengetahui lebih banyak soal FotoYu, saya mengirim pesan pendek kepada Suvi, owner Fotoyu pada Kamis (13/2/2025). Hingga tulisan ini tayang, pesan tersebut tidak kunjung dibalas.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Resign Kerja Kantoran di Jakarta, Milenial Ini Putuskan Side Hustle di Klaten yang Hasilkan Ratusan Juta per Bulan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












