Duduk di Kursi Indomaret Ternyata Juga bikin Orang Makin Nelangsa dan Iri Hati karena Standar Orang Lain

Dari Indomaret Point Jakal km 9, menguak fakta orang-orang yang merasa iri hati pada standar orang lain MOJOK.CO

Ilustrasi - Dari Indomaret Point Jakal km 9, menguak fakta orang-orang yang merasa iri hati pada standar orang lain. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Ternyata tidak semua orang merasa refresh ketika duduk di kursi besi Indomaret. Tapi justru kerap merasa nelangsa dan iri hati ketika mendapati pemandangan manusia-manusia yang berlalu lalang. Persepsi tersebut saya dapat ketika suatu malam duduk di Indomaret Point Jalan Kaliurang (Jakal) km 9.

***

Indomaret Point Jakal km 9 memberi sudut nongkrong yang lebih oke ketimbang deretan Indomaret di sepanjang Jalan Kaliurang. Itu lah kenapa gerai di Jakal km 9 itu nyaris tak pernah sepi dari lalu lalang manusia dan kendaraan yang masuk-keluar. Apalagi ia buka 24 jam.

Pada suatu malam, dengan segelas kopi dan sebungkus rokok, ketika duduk-duduk sendiri di sana, awalnya saya sibuk membaca laporan-laporan dari beragam media. Lalu sebaris kalimat melintas di telinga kiri saya dari dua pasang pemuda yang duduk tidak jauh dari kursi saya di Indomaret Point Jakal km 9 itu.

Wong-wong moro Indomaret wae nganggo Alphard, Bro. Dewe kudu kerja model piye maneh ya ben iso tuku (Orang-orang ke Indomaret saja pakai Alphard, Bro. Kita harus kerja model bagaimana lagi ya biar bisa beli),” ujar satu dari mereka. Lalu mereka tertawa-tawa, sebelum akhirnya pergi berlalu dari Indomaret Point Jakal km 9, meninggalkan asbak berisi berbatang-batang rokok dan dua botol kopi murah.

Dari situ lalu saya melakukan jajak pendapat ke lima orang. Tiga antaranya mengaku memiliki persepsi yang mirip dengan dua pemuda tadi. Alih-alih bisa meredakan kemelut di kepala, duduk di kursi besi Indomaret—terlebih di gerai besar seperti Indomaret Poin Jakal km 9—justru membuat mereka merasa semakin nelangsa terhadap nasib sendiri dan menumbuhkan rasa iri hati.

Lalu lalang mobil di Indomaret, hal biasa tapi bikin nelangsa dan iri hati

Dua dari tiga narasumber Mojok mengaku kerap kali muncul perasaan iri tiap melihat mobil-mobil yang masuk-keluar Indomaret. Perasaan itu muncul tiba-tiba. Padahal sebelumnya, ketika mereka menyusuri jalan raya—yang tentu bersinggungan dengan beragam jenis kendaraan—mereka biasa saja.

Ada beberapa kalimat yang melintas di kepala ketika melihat mobil-mobil pribadi masuk-keluar Indomaret:

  1. “Kapan ya bisa beli mobil sendiri?”
  2. “Dengan gaji di bawah UMR kayak sekarang, kayaknya nggak bakal kebeli deh mobil itu. Buat makan aja susah.”
  3. “Enak kali ya jadi orang kaya, ke mana-mana naik mobil.”

Bayangan mereka pun tidak berhenti pada konteks diri sendiri saja. Tapi juga membayangkan orang tua mereka masing-masing.

Seandainya jadi orang kaya, pasti bisa bahagiakan orang tua. Seandainya punya mobil sendiri, pasti enak bisa ajak jalan-jalan keluarga.

Kok bisa orang punya pacar, romantis lagi

Sementara satu dari narasumber Mojok mengaku kerap tiba-tiba merasa iri hati ketika melihat sepasang muda-mudi di Indomaret. Entah yang nongkrong berdua di kursi, atau sekadar beli sesuatu lalu pergi (dengen berboncengan motor).

Rasa iri itu didorong lantaran si narasumber Mojok merasa sering bertepuk sebelah tangan. Alhasil, yang muncul adalah insecuritas: Merasa tak pantas mencintai dan dicintai.

Insecuritas yang muncul bermacam-macam. Mulai dari penampilan diri hingga yang paling besar adalah kesadaran perihal kondisi ekonomi.

“Kalau mau dapat pacar cantik, mesti kudu punya kantong tebel. Sementara pekerjaan ya gitu-gitu aja,” begitu kata si narasumber Mojok.

Alhasil, si narasumber Mojok hanya bisa iri ketika melihat dua pasang muda-mudi saling brbuat romantis satu sama lain. Misalnya, sesimpel si cowok memasangkan helm di kepala ceweknya. “Sederhana, tapi aku nggak bisa.”

Iri hati sama “pekerja-pekerja necis” yang mampir Indomaret

Tiga narasumber Mojok, yang kesemuanya adalah pekerja bergaji rendah, sama-sama mengaku iri tiap berpapasan dengan “orang-orang necis”. Maksudnya adalah para pekerja di kantor-kantor besar.

Mereka umumnya berpakaian rapi, sepatu bagus, dan kalau nongkrong di Indomaret pasti obrolannya tidak jauh-jauh dari investasi dan istilah-istilah perkantoran yang sulit narasumber Mojok mengerti.

Tiga narasumber Mojok itu: Dua pekerja swasta bergaji rendah, satunya lagi driver ojek online (ojol). Tak pelak jika mereka merasa iri dengan pekerja-pekerja kantoran dengan status sosial dan ekonomi di atas mereka. Dari situ lantas muncul beragam penyesalan dan rutukan atas nasib sendiri:

  1. Menyesal lahir bukan dari keluarga berada.
  2. Menyesal karena tidak punya kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi—dengan potensi pengembangan karier—karena keterbatasan ekonomi.
  3. Merutuki takdir yang tidak berpihak baik pada diri sendiri
  4. Mempertanyakan doa-doa yang kerap dilangitkan, yang rasanya tak banyak yang dikabulkan.
  5. Sedih membayangkan masa lalu: Punya mimpi besar tapi mimpi-mimpi tersebut ternyata tak terwujud.

Hasrat memiliki dan kekurangan diri

Dalam jurnal “Relative Deprivation: A Theoretical and Meta-Analytic Review”, Heather J. Smith, Thomas F. Pettigrew, Gina M. Pippin, dan Silvana Bialosiewicz, menyebut perasaan iri yang dibahasakan sebagai deprivasi relatif merupakan gejala psikologi sosial ketika seseorang melakukan perbandingan sosial secara subjektif atas diri sendiri dengan orang lain karena standar tertentu.

Ketika seseorang merasa tidak memenuhi standar relatif tertentu yang berlaku—misalnya, standar sukses adalah dengan punya mobil—maka sacara psikologis ia akan meresponsnya dengan perasaan-perasaan tak menyenangkan (marah, kecewa, menyesal, hingga putus asa).

Hyunji Min dkk dalam “Social Comparison, Personal Relative Deprivation, and Materialism” menilai deprivasi relatif sebenarnya merupakan kecenderungan bawaan manusia:

  1. Kecenderungan menilai kepemilikan mereka dengan membandingkan diri dengan orang lain.
  2. Materialisme: menjadikan materi sebagai tujuan hidup utama sekaligus meyakini bahwa kepemilikan materi akan membawa kebahagiaan, kesuksesan, atau citra diri yang lebih baik.

Sejumlah pakar menekankan betapa kecenderungan ini harus diantisipasi. Pasalnya, merujuk Relative Deprivation and Individual Well-Being oleh Xi Chen, ada beragam dampak buruk dari kecenderungan deprivasi relatif alias iri hati, antara lain:

  1. Memengaruhi kesehatan mental
  2. Menurunkan kebahagiaan dan kepuasan hidup
  3. Menurunkan kualitas hidup
  4. Memicu aktivitas negatif

Dalam konteks agama Islam, iri hati menjerumuskan seseorang pada kondisi kufur nikmat, dan itu tidak sejalan dengan syariat Nabi Muhammad Saw.

Ada beragam kajian akademis perihal cara-cara efektif untuk mengantisipasi kecenderungan deprivasi relatif. Namun, saya menemukan cara pandang menarik dari KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha): “Kalau untuk bahagia kamu harus nunggu punya mobil mewah, uang banyak, kamu tidak akan pernah bahagia.”

Sementara dalam falsafah hidup Jawa ada “Urip iki mung sawang sinawang”, sebagai cara hidup untuk fokus mensyukuri nikmat dalam diri sendiri tanpa mengukurnya atau membandingkannya dengan orang lain.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Sisi Lain Rajin Tilik (Menjenguk Orang), Menanam Investasi di Balik Tradisi dan Rasa Peduli atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version