Di sebuah desa di Rembang, Jawa Tengah, anak-anak muda yang memilih jadi tenaga kerja Indonesia (TKI) dipandang lebih bermartabat ketimbang para mahasiswa atau sarjana. Pasalnya, para TKI yang pulang dari luar negeri pasti sudah bisa membeli mobil, membangun rumah, hingga membeli tanah. Uang banyak yang mereka bawa pulang pun bisa untuk membantu keuangan orang tua di rumah.
Berbeda dengan beberapa mahasiswa atau sarjana di sebuah desa di Sluke, Rembang ini. Usai lulus kuliah, mereka malah nganggur lama. Alih-alih memberi, para sarjana itu malah terus-terusan menjadi beban orang tua.
***
Desa M (nama desa harus disamarkan) memang menjadi salah satu desa di Rembang yang mayoritas laki-lakinya bekerja sebagai TKI. Baik laki-laki dewasa, umur 20-an, bahkan di bawah umur 20 tahun pun ada yang ikut menjadi TKI. Umumnya mereka menjadi TKI di Malaysia.
Entah sejak kapan bermula, tapi menjadi TKI di Malaysia seolah menjadi profesi turun-temurun di desa ini. Di samping itu, di Desa M, Rembang, seorang laki-laki dianggap tidak benar-benar bekerja kalau belum sampai merantau ke Malaysia.
“Karena uang Malaysia besar. Upah kuli di sana setara dengan gaji pegawai negeri (PNS) di Indonesia,” ujar Yandi* (26), bukan nama sebenarnya, saat kami bertemu, Minggu (7/4/2024) malam WIB.
“Beda misalnya kalau jadi kuli di Surabaya. Gajinya cuma cukup buat makan. Nggak bisa beli lain-lain seperti mobil atau tanah,” sambung pemuda yang baru saja mudik di hari ke 20 Ramadan tersebut.
TKI di Rembang berani sesumbar di hadapan sarjana
Mau diakui atau tidak, kata Yandi, masyarakat Desa M, Rembang tak begitu menganggap penting pendidikan tinggi. Paling umum lulus SMA sudah cukup. Setelah itu ya harus langsung cari kerja kalau laki-laki. Kalau perempuan, antara bekerja atau nunggu ada yang melamar.
Termasuk Yandi sendiri, ia lulus SMA pada 2017 silam. Setelah itu ia langsung mengurus berkas-berkas untuk berangkat menjadi TKI di Malaysia bersama dengan beberapa pemuda seangkatannya yang lain.
“Mikirnya orang tua sini kalau nguliahkan anak bakal habis-habisin ragat. Kuliah itu kan nggak cukup setahun, dua tahun. Belum nanti ngirim uang bulanan. Malah bebani orang tua,” ucap Yandi. Apalagi setelah lulus pun belum tentu dapat kerjaan yang gajinya segede para lulusan SMA yang memilih jadi TKI di Malaysia.
Pada tahun 2017, di Desa M, Rembang sebenarnya mulai ada beberapa orang tua yang mengupayakan agar anak-anaknya yang lulus SMA bisa lanjut kuliah. Yandi sempat merasa iri.
Di mata Yandi, pemuda-pemuda yang jadi mahasiswa itu terlihat keren. Ia juga beranggapan bahwa kelak mereka akan jadi orang besar. Karena konon para sarjana akan lebih mudah dalam mencari pekerjaan yang mentereng, dengan gaji yang mentereng pula.
“Sekarang loh banyak yang nganggur. Iya nggak? Kalau pun ada yang kerja, alah gajinya ternyata nggak segede kami yang kuli,” beber Yandi.
Yandi berani sesumbar demikian karena sejak berangkat menjadi TKI di Malaysia pada 2017 itu, ia sudah berhasil membeli beberapa hal yang dalam tolok ulur masyarakat Desa M, Rembang sangat prestisius: mobil, motor Ninja, membangun rumah, dan bahkan di tahun 2024 ini berencana akan menikah, di mana 80 persen biayanya akan Yandi tanggung sendiri.
Orang tua di Rembang lebih bangga anak jadi TKI
Pagi sebelumnya saya sempat berbincang tanpa sengaja dengan Munadi* (50), salah satu orang tua di Desa M, Rembang yang anaknya menjadi TKI di Malaysia.
“Katanya kok nggak pulang lebaran ini. Ya sudah, wong nyari duit kok,” ujar Munadi menjawab pertanyaan saya apakah anaknya pulang atau tidak lebaran tahun ini, saat kami tanpa sengaja bertemu di Pasar Sluke, Rembang.
“Tapi tiga hari lalu ngirim uang buat belanja kebutuhan lebaran,” imbuh laki-laki yang berprofesi sebagai polang sapi tersebut.
Anak Munadi berangkat menjadi TKI di Malaysia pada 2023 lalu, saat usianya persis menginjak 20 tahun. Sebenarnya Munadi menghendaki anaknya nyantri di pondok pesantren di Sarang, Rembang.
Namun, karena sang anak bersikukuh untuk berangkat menjadi TKI di Malaysia, Munadi pun tak bisa mencegah. Munadi malah bangga. Karena dengan menjadi TKI di Malaysia, itu artinya sang anak telah memiliki pikiran yang matang: berusaha mencari uang sendiri biar nggak terus membebani orang tua. Syukur-syukur malah ngasih (uang) orang tua.
“Kalau ada lebih, pasti ngirimin orang tuanya. Itu kan meringankan beban orang tua. Apalagi kami masih punya anak (kedua) yang masih sekolah (SD),” ungkap Munadi.
Sejak awal, Munadi memang tidak punya bayangan untuk menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi. Dalam benaknya, kuliah hanya untuk anak-anak orang kaya kota. Anak-anak orang desa jangan muluk-muluk, fokus cari kerja untuk menyambung hidup.
Baca halaman selanjutnya…
Sarjana menyesal orang tua jual sawah untuk biaya kuliah
Sarjana menyesal orang tua jual sawah untuk biaya kuliah
Tanpa bermaksud merendahkan dan membuat ciut, saya mengajak berbincang Huda* (28) perihal kondisinya saat ini: sarjana yang nganggur di Desa M, Rembang, Senin (8/4/2024).
Huda lulus kuliah pada 2020 lalu dari sebuah PTN ternama di Malang, Jawa Timur. Karena masih masa pandemi Covid-19, dalam rentang 2020-2021 Huda masih menikmati masa nganggurnya. Toh di masa-masa tersebut memang masih sulit mencari kerja. Namun, memasuki 2022, Huda mulai merasa kuliahnya sia-sia. Ia tak kunjung mendapat kerja.
“Sempat buka konter pulsa di Pasar Sluke, tapi nggak jalan. Mau kerja di luar kota juga belum dapat-dapat,” tutur Huda sendu.
Yang membuat Huda menyesal adalah, pada dasarnya orang tua Huda agak berat jika Huda minta kuliah. Tapi karena Huda terkesan mendesak, alhasil orang tuanya sampai jual sawah demi biaya awal kuliahnya.
Sayangnya, hasil jual sawah itu tak balik modal dalam bentuk materiil, karena Huda sampai saat ini masih menjadi beban bagi orang tuanya tersebut.
“Kalau lihat atau malah ketemu temen-temen yang jadi TKI, aku malu pol. Mereka sudah ‘jadi orang’, aku malah makin jadi pecundang,” ungkap Huda.
“Di depanku orang tuaku biasa aja, nggak mempermasalahkan aku masih nganggur. Tapi nggak tahu ya di luar. Karena aku tahu, aku ini jadi rasan-rasan orang desa dan bahkan saudara sendiri: kuliah ngabisin duit tapi nyatanya nggak bisa apa-apa,” tutupnya getir.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.