Demo di Jogja dalam “Jogja Memanggil” mengawal putusan MK dan perlawanan atas dinasti politik Jokowi membuat saya, mahasiswa asal UNAIR Surabaya merasa agak terkejut.
Sebagai mahasiswa UNAIR Surabaya yang terlibat dalam organisasi pergerakan kampus, saya cukup sering mengikuti aksi unjuk rasa. Baik demonstrasi atau aksi simbolik.
Meski begitu, ketika untuk pertama kalinya turun ke jalan ikut demo “Jogja Memanggil” pada Kamis (22/8/2024) lalu, saya benar-benar merasa terkejut dan terkagum-kagum. Ternyata iklim gerakan di Kota Pelajar beda dengan yang pernah saya rasakan selama tiga tahun menjadi–ya sebut saja–aktivis kampus.
#1 Massa aksi demo di Jogja melebur jadi satu
Hal paling pertama yang menyita perhatian saya siang itu, ketika menyusul massa aksi yang tengah bergerak dari Jalan Malioboro menuju Titik Nol Kilometer, adalah penampilan para peserta aksi.
Semua hitam. Tak ada almamater warna-warni (yang menunjukkan peserta aksi dari kampus mana). Dan sejauh pengamatan saya, sangat minim saya jumpai bendera simbol organisasi kampus. Khususnya organisasi ekstra (ormek).
Mayoritas kompak membentangkan spanduk atau poster bernarasi perlawanan. Kalau ada bendera, yang banyak terlihat adalah bendera merah putih.
Saya kagum karena demo di Jogja tersebut seolah memang bukan untuk unjuk eksistensi alias gagah-gagahan antar organisasi kampus atau antar kelompok mana. Tapi fokus pada tujuan yang sama: melawan dinasti politik yang coba dibangun oleh Jokowi.
Menurut Sali (21), mahasiswa UNAIR Surabaya yang pernah aktif di Kementerian Kajian Isu dan Aksi Strategis (Kastrat) di fakultasnya menerangkan, sebenarnya misalnya ada aksi demo yang mahasiswanya menggunakan almamater kebanggan, itu bukan berarti dalam rangka unjuk eksistensi.
Meski tentu ada juga yang berpikir demikan (punya kepentingan eksistensi). Namun, terutama sekali adalah untuk misi pengamanan.
“Penggunaan almamater ini buat penjagaan aja sih, dan upaya mempermudah controlling,” jelasnya, Jumat (23/8/2024) sore WIB.
Penjagaan yang ia maksud adalah pencegahan masuknya “penyusup” atau provokator yang bukan bagian dari masa aksi. Meskipun tidak dimungkiri juga kerap ada penyusup atau provokator yang pinjam almamater suatu universitas.
Nah, inilah kekaguman lain saya (selaku mahasiswa Surabaya) pada demo kawal putusan MK di Jogja. Tidak ada ketaukan semacam itu. Karena semua berusaha saling jaga.
#2 Ruang yang inklusif
Ketika tengah kumpul di Lapangan Parkir Abu Bakar Ali (ABA), beberapa saat sebelum parade massa demo di Jogja menuju Titik Nol Kilometer, hati saya tersentuh pada orasi seorang orator dari sebuah mobil komando.
Dari corong suara, terdengar seruan seorang perempuan agar memberi ruang aman bagi kelompok rentan: anak-anak, orang tua, perempuan, hingga kawan-kawan disabilitas.
Dengan mata kepala saya sendiri, siang itu saya melihat massa aksi yang berangkat dari berbagai latar belakang kelas, usia, dan gender.
Dalam kesempatan tersebut, mengikuti wartawan muda yang menjadi mentor magang saya di Mojok, saya berbincang dengan Faris (34). Ia menarik perhatian kami karena ia dengan tanpa rasa cemas menggandeng sang anak (usia TK) di tepian massa demo di Jogja yang mulai bergerak.
“Saya sudah beberapa kali ajak anak kalau ada demo di Jogja. Semuanya baik-baik saja, nggak pernah ada gimana-gimana,” ujar Faris.
“Ini juga sebagai cara saya mendidik anak saya sedari dini, kalau misalnya ada demo seperti ini, berarti ada masalah genting,” sambungnya.
Di luar urusan itu, Faris merasa harus turun ke jalan karena ia juga sudah tak tahan dengan Jokowi. Seseorang yang terlihat kalem dan lugu, tapi ternyata sangat mengerikan.
Baca halaman selanjutnya…
Cara demo yang semestinya ditiru mahasiswa Surabaya