Bagi beberapa orang yang sering dibanding-bandingkan oleh orang tuanya sendiri, ternyata acara Clash of Champions Ruangguru tak “semengancam” Hafiz Indonesia. Orang tua yang mau banding-bandingin—kemungkinan—cenderung tahu diri: mereka belum bisa memberi akses pendidikan yang layak pada anak-anaknya.
***
Clash of Champions Ruangguru harus diakui menjadi oase atas tontonan kita yang selama ini kerap berisi tayangan non-edukatif. Di media sosial, antusiasme warganet juga terbilang sangat besar.
Hal tersebut tentu menjadi sinyal positif. Karena jika disuguhkan tayangan semacam Clash of Champions, nyatanya warganet juga menikmati bahkan—paling tidak—punya cita-cita untuk menjadikan anak-anak mereka kelak menjadi seperti mereka yang berkompetisi mengadu kecerdasan di acara Ruangguru tersebut.
Di atas adalah versi serius perihal respons publik terhadap tayangan Clash of Champions. Sementara versi gojekan-nya: tayangan tersebut ternyata memberi rasa aman bagi beberapa orang yang kerap dibanding-bandingkan oleh orang tuanya sendiri (khususnya orang-orang desa).
Karena bagi beberapa orang desa—setidaknya dari pengakuan yang saya wawancara—Clash of Champions Ruangguru tak lebih spesial dari acara Hafiz Indonesia (ajang adu hafalan Al-Qur’an) yang selalu tayang tiap bulan Ramadan.
Hafiz Indonesia lebih menggugah dari Clash of Champions
Misalnya yang Iffah (25) ungkapkan. Ia lahir di sebuah desa di kota yang berlabel Kota Santri (Jombang, Jawa Timur). Jadi ketimbang Clash of Champions, para orang tua di desanya cenderung lebih tergugah jika nonton Hafiz Indonesia.
Sebab, Hafiz Indonesia lebih relate (dekat) dengan mereka. Sehari-hari mereka lebih akrab dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan santri-santri yang mengaji.
Bukan karena mereka tak ingin anaknya cerdas seperti Xaviera dkk. Tapi standar cerdas mereka sudah lain: yakni bisa menghafal 30 juz Al-Qur’an di luar kepala.
“Di lingkunganku di Tebuireng, kalau Ramadan para orang tua seneng banget nyimak Hafiz Indonesia. Mereka kagum, kok bisa ada anak-anak kecil yang sudah hafal Al-Qur’an,” tutur Iffah, Minggu (21/7/2024).
Hidup dalam kultur pesantren yang kuat, tak pelak jika hal tersebut menjadi penggugah hati: menghafal kitab suci dari agama yang dianut (Islam) tentu menjadi sesuatu yang membanggakan.
“Apalagi kalau mindset orang desa, ilmu dunia kan nomor sekian, sementara di atasnya ada ilmu agama,” beber Iffah.
Hafiz Indonesia vs Clash of Champions: iming-iming dunia vs akhirat
Wanah (29) pun berpendapat demikian. Ia sendiri merupakan penghafal Al-Qur’an lulusan sebuah pesantren Tahfiz di Rembang, Jawa Tengah.
Ibu satu anak itu mengaku beberapa waktu terakhir kerap melihat cuplikan Clash of Champions di TikTok dan Instagram. Begitu juga ibu-ibu muda lain di sekitarnya.
Wanah dan ibu-ibu lain di sekitarnya jelas tak bisa menyembunyikan kekaguman pada anak-anak cerdas yang berkompetisi di acara Ruangguru tersebut. Namun, menurutnya pribadi, acara itu tak semenggugah Hafiz Indonesia.
Acara Hafiz Indonesia bahkan bisa membuat orang-orang di desa membanding-bandingkan anaknya dengan para hafiz cilik yang tengah unjuk hafalannya di layar kaca.
“Karena pikiran orang desa, apalagi yang kental dengan pesantren, jafi hafiz itu mulia. Tidak Cuma mulia untuk diri sendiri tapi juga memuliakan orang tuanya di dunia dan akhirat,” beber Wanah.
“Kalau di desa saya, orang pinter ngaji itu sama sangarnya dengan anak kuliahan,” sambungnya.
Terlebih, kondisi sosial dan ekonomi orang desa kurang memungkinkan membawa anak-anak mereka untuk kuliah. Jangankan ke luar negeri, di dalam negeri sendiri saja sudah sulit dibayangkan. Mengingat, makin ke sini biaya kuliah makin mahal.
Baca halaman selanjutnya…
Orang tua tidak bisa banding-bandingin anak karena sadar diri