Anak-anak pesisir Pantai Parangkusumo, Jogja terlihat fokus mendengarkan kisah “Jelungan” di Sanggar Belajar Garbage Care and Education (Gardu Action) — suatu komunitas yang terdiri dari anak muda. Komunitas itu tak hanya mengenalkan isu lingkungan kepada masyarakat, tapi juga mengangkat hak difabel kepada anak-anak.
***
“Satu, dua, tiga, empat, lima, ….” hitung Yani dari satu sampai sepuluh, sembari menunggu teman-temannya, Desi dan Novi bersembunyi. Ketiganya sedang asyik bermain petak umpet.
Yani adalah anak penyandang tunanetra. Sementara, Desi adalah penyandang disabilitas fisik, sehingga harus bermain sambil menggunakan kursi roda. Sedangkan Novi harus menggunakan alat bantu dengar karena tuli.
Hingga hitungan kesepuluh, Yani mulai mencari teman-temannya. Meskipun penyandang tunanetra, bukan berarti Yani tidak bisa menemukannya. Dia menemukan Desi dan Novi dengan cara meraba, mendengar, dan membau di lingkungan sekitarnya.
Tak lama kemudian, bunyi suara lonceng milik Desi terdengar oleh Yani. Suara itu pun menuntun Yani untuk menemukan Desi. Lonceng itu biasa Desi bawa sebagai alat darurat. Tidak tahunya malah berbunyi karena tertiup angin saat dia bermain.
“Ketemu!” kata Yani yang menemukan Desi di balik pohon. Yani pun melanjutkan pencarian hingga menemukan Novi yang baunya wangi seperti melati.
Kisah Yani bersama teman-temannya adalah dongeng karya Kus Sri Antoro berjudul “Jelungan” alias petak umpet dalam Bahasa Jawa. Dongeng itu Kus sampaikan dalam Pentas Dongeng Wayang Bocah Difabel Jelungan di Sanggar Belajar Gardu Action, dekat Pantai Parangkusumo, Jogja pada Minggu (29/12/2024).
Kus selaku pendongeng, sekaligus pegiat Wayang Limbah Ki Samidjan Jogja bekerja sama dengan Gardu Action Bantul untuk menyuarakan isu inklusif dan ekologis. Gardu Action adalah komunitas anak muda yang peduli terhadap isu lingkungan di sekitar Pantai Parangkusumo dan Parangtritis, Jogja.
Inklusivitas di Pesisir Pantai Parangkusumo
Gardu Action tak hanya mengelola sampah dari pariwisata, tapi mengedukasi masyarakat pesisir agar lebih peduli terhadap lingkungan, termasuk anak-anak. Setiap Minggu sore, komunitas itu mengadakan kegiatan belajar mengajar bernama “Sunday Sharing and Caring.”
Lewat kegiatan itu, Kus bekerja sama dengan Gardu Action untuk mengenalkan disabilitas kepada anak-anak, agar mereka bisa menerima perbedaan. Dengan alat peraga dongeng serta wayang yang dia buat dari limbah plastik, Kus berharap anak-anak bisa memahami disabilitas sebagai keragaman bukan kekurangan atau bahkan keterbatasan.
“Setiap anak itu unik dan setiap orang punya cara untuk belajar mengenali lingkungannya. Lalu, mengekspresikan pemikirannya dengan cara yang berbeda-beda,” ujar Kus saat ditemui Mojok usai mendongeng di dekat Pantai Parangkusumo, Minggu (29/12/2024).
Sebagai contoh dalam kisah dongeng Jelungan, seorang anak bernama Yani digambarkan sebagai sosok tunanetra. Kus tidak menyebutnya sebagai anak yang tidak bisa melihat. Dia menegaskan bahwa Yani bisa “melihat” dengan jemarinya alias meraba. Yani juga bisa mengandalkan pendengaran dan penciumannya.
Begitu juga dengan Novi yang menyandang disabilitas tuli. Kus tidak ingin anak-anak mengenalinya sebagai tokoh yang tidak bisa berbicara, sebab mereka bisa “berbicara” dengan bahasa isyarat atau menyimak kata dengan menatap gerak bibir saat orang berbicara.
Bahkan di era teknologi yang makin berkembang, anak-anak dapat berkomunikasi menggunakan alat bantu seperti handphone. Lewat aplikasi, anak-anak dapat membuat suara menjadi teks, pun sebaliknya.
“Mereka kini tahu setiap anak itu unik, termasuk diri mereka,” ucap Kus.
Makna difabel di balik dongeng Kus bersama Gardu Action
Pesan lain yang ingin Kus sampaikan adalah setiap orang wajib menghormati hak orang lain. Ibarat dongeng Si Kancil Suka Mencuri Timun, anak yang didongengi tentang perilaku mencuri bisa berpotensi menjadi koruptor.
Kus pun ingin menyederhanakan cerita lewat seni kontemporer dengan menanamkan nilai-nilai baik yang serupa. Misalnya, dalam dongeng Jelungan tersebut, ada anak bernama Desi yang “berjalan” dengan kursi roda.
Tingkah lakunya begitu sopan, sehingga ketika dia bermain petak umpet anak itu sampai tidak berani masuk ke rumah orang lain tanpa izin. Di balik peristiwa itu, Kus ingin menunjukkan bahwa kita seringkali tidak sadar melanggar batas-batas orang lain, tak hanya kepada non-disabilitas tapi juga teman-teman difabel.
“Barangkali kelak kalau mereka sudah besar dan bekerja sebagai pelayan publik, mereka tidak gampang menyingkirkan warga yang tidak mampu karena suatu proyek atau apa. Jadi, konflik agraria itu bisa dikurangi kelak dikemudian hari melalui hal-hal kecil seperti ini,” harap Kus di tengah debur ombak Pantai Parangkusumo, Jogja.
Ruang aman untuk anak dan difabel
Semangat Kus menyampaikan pesan dalam dongeng Jelungan tak terlepas dari lingkungan sekitar anak-anak tersebut. Sebagai warga pesisir, anak-anak itu perlu sadar dan peduli terhadap lingkungan mereka sejak dini.
Sudah menjadi rahasia umum bagi warga Jogja,di mana area sekitar Pantai Parangkusumo, Jogja terkenal sebagai kawasan lokalisasi protitusi. Yang sebetulnya, tak kalah terkenal dengan sebutan kawasan wisata spiritual. Melihat fenomena tersebut, Gardu Action tak tinggal diam.
Sejak tahun 2017, Gardu Action didukung oleh Komunitas Nyala Litera menjalankan sanggar belajar dan pendampingan pada anak-anak pesisir. Kegiatan itu guna merespon fenomena anak-anak usia dini yang tumbuh di area prostitusi.
Ardha Kusuma selaku tim Komunitas Nyala Litera, sekaligus relawan Gardu Action bercerita tentang latar belakang anak-anak pesisir Pantai Parangkusumo. Di mana, mayoritas orang tua mereka bekerja di sektor informal. Banyak juga para pendatang dari luar Pulau Jawa yang mengadu nasib di kawasan tersebut.
Mayoritas pendatang tinggal di perkampungan padat penduduk, yakni Kali Mati. Mereka mulai berdagang asongan, memulung, mengamen, menjadi tukang parkir, hingga membuka usaha karaoke. Sehingga, tak jarang muncul konflik antara warga lokal dan pendatang. Tak hanya itu, kawasan itu juga sering dikunjungi turis.
“Harapannya suara kami dapat di dengar oleh pemangku kebijakan, dan lingkungan yang aman serta nyaman untuk anak-anak dapat tercipta,” ucap Ardha saat ditemui Mojok di sekitar Pantai Parangkusumo, Jogja.
Sementara itu, Kus mengatakan pementasan itu adalah yang pertama sekaligus awalan. Dia berharap anak-anak bisa menikmati pelajaran disabilitas dengan cara yang menyenangkan. Di mana mereka tumbuh dengan keinginan untuk mengembangkan diri melalui seni, entah itu seni rupa, musik, atau tari.
“Konflik itu berdampak pada anak-anak. Anak-anak (dari pendatang) cenderung dijauh karena pekerjaan orang tuanya. Terlepas dari itu, anak-anak berhak mendapatkan ruang aman dan nyaman untuk berkembang, belajar, dan bermain,” ujar Kus.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Difabel Kerap Jadi Alat Penarik Simpati, Tapi Hak-haknya Masih Saja Tak Terpenuhi
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News