Tidak tahan dengan lika-liku dunia kerja debt collector bikin Septian (32 tahun), pria asal Wonogiri ini berhenti dan tobat jadi debt collector. Uang yang didapat memang besar, tapi hatinya tidak sanggup menghadapi dunianya.
***
“Karena hati.”
Itulah alasan Septian memilih berhenti jadi debt collector, pekerjaan yang pernah dia tekuni sebelum menikah, saat saya tanya pada Senin malam (15/04/2024). Meski tak begitu lama jadi DC, tapi dia merasa sudah cukup dan memilih berhenti. Pergolakan batin, emosi, yang berujung pada suara hatilah yang jadi alasan dia keluar.
Septian dulunya adalah DC di salah satu perusahaan leasing di Wonogiri. Masa kerjanya tak begitu lama. Dia berhenti beberapa bulan sebelum menikah, dan kini jadi pekerja di sebuah instansi pemerintahan. Kepada saya, dia menceritakan banyak hal yang bikin dia berhenti jadi debt collector.
Septian adalah debt collector internal, artinya dia adalah DC yang bekerja di bawah perusahaan. Sebelum lebih lanjut, kita pahami dulu, ada dua jenis DC, yaitu internal dan eksternal. Internal, seperti yang sudah dijelaskan, dia bekerja di bawah perusahaan dan digaji oleh perusahaan tempat dia bekerja.
Eksternal, berbeda. DC eksternal bekerja di bawah perusahaan, tapi dalam bentuk kontrak. Biasanya, DC eksternal bergerak jika ada nasabah ruwet, atau nasabah yang sudah telat lebih dari 60 hari angsuran. Juga, DC eksternal biasanya bergerak secara beregu.
Nasabah kena musibah
Tanpa bertele-tele, saya langsung bertanya kenapa dia memilih berhenti. Seperti yang sudah saya tulis di atas, dia menjawab karena hati. Lalu dia menjelaskan detilnya.
Septian kerap bertemu dengan banyak orang yang kesulitan membayar angsuran. Orang-orang ini punya banyak latar belakang, dan banyak alasan. Tapi dari berbagai orang yang kesulitan bayar, ada satu nasabah yang bikin dia merasa tidak sreg dengan kerjaannya.
Ada nasabah Septian yang berprofesi sebagai tukang sayur keliling. Dia kredit motor bekas untuk keperluan jualan. Tapi, nasabah tersebut mengalami kecelakaan parah. Uang yang harusnya dipakai untuk bayar angsuran, terpaksa dipakai untuk berobat. Gara-gara itu, nasabah tersebut telat bayar angsuran dan Septian harus mendatanginya untuk memberi peringatan.
Masalahnya adalah, telat angsurannya tak sebentar. Hampir 60 hari. Otomatis, nasabah tersebut akan berurusan dengan debt collector eksternal. Septian memberi solusi, bayar sedapatnya dulu, biar Septian yang berurusan dengan kantor. Sejak itulah, dia merasa sudah saatnya berhenti.
“Kata orang, kerja ya kerja, jadi mesin. Jangan gunakan hati. Tapi aku nggak bisa. Di saat orang nggak punya uang, tapi dipaksa mengangsur, hatiku nggak bisa menghadapi itu.”
“Padahal selalu ada momen di mana orang nggak bisa ngangsur. Contoh, lebaran, tahun ajaran baru, orang-orang jelas nggak punya duit. Dipaksa bayar ya jelas susah.”
Gaji debt collector memang tinggi
Gaya hidup debt collector juga jadi salah satu alasan Septian untuk cabut dari dunia tersebut. Gaji DC memang tinggi, bahkan bisa beberapa kali lipat UMR Jogja jika tembus target. Septian biasa mengantongi 6-7 juta rupiah per bulan. Itu sudah hampir 3 kali lipat UMR Jogja pada saat ini.
Uang sebesar itu, dipakai hidup di Kabupaten Wonogiri ya amat cukup. Akhirnya dia kehilangan kontrol dan justru bikin dia boros. Meski tidak menyentuh dunia malam, tetap saja uangnya bablas.
Gaji debt collector memang besar. Penghasilan DC terdiri dari gaji pokok dan insentif. Insentif yang diterima mencakup insentif tembus target dan insentif “penarikan”. Septian cerita, jika DC bisa menagih uang angsuran atau menarik unit, ada tambahan pemasukan. Besarannya tergantung perusahaan. Tambahan yang ada itulah yang bikin gaji DC besar, bahkan bisa menembus belasan-puluhan juta, tergantung perusahaan dan jenis unit yang diurus.
Jangan silau dengan gaya hidup
Meski alasan Septian keluar adalah alasan hati yang tidak kuat melihat penderitaan, bukan berarti Septian orang yang tidak tegaan. Dia tetap tega, terlebih pada nasabah yang ruwet. Dia tak memungkiri, bahwa banyak juga nasabah ruwet yang tak bisa diberi keringanan.
“Aku tetap tega menagih nasabah yang ruwet. Soalnya unitnya pasti nggak ada di tempat, biasanya digadaikan. Jelas nggak bisa ditarik saat itu juga, bikin kerja jadi susah.”
Selain tukang gadai unit, ada nasabah ruwet jenis lain yang sering Septian temui, yaitu nasabah yang utang tak hanya pada satu tempat. Septian pernah berurusan dengan orang jenis ini. saat menagih ke rumah nasabah, di rumah itu sudah ada 4 debt collector lain dari 4 perusahaan yang berbeda.
Dari banyak pengalaman tentang menagih dan menarik unit, Septian berpesan untuk menghindari kredit, sebisa mungkin. Terlebih jika alasannya hanya untuk gaya hidup. Biaya kreditnya jelas membengkak dan bikin rugi banyak.
“Aku selalu menyarankan ke nasabah untuk tidak mengambil utang lagi setelah lunas. Apalagi untuk gaya hidup. Daripada berurusan dengan debt collector, mending menahan diri untuk tidak menuruti gaya hidup, kan?
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.