Banyuwangi dengan alas Purwo-nya selama ini mendapat label sebagai kota santet dan daerah angker di Jawa Timur. Padahal, kota berjuluk The Sunrise of Java itu menjadi tempat nyaman untuk tinggal hingga menua.
***
Ketika mendengar nama “Banyuwangi”, beberapa orang lantas memvisualisasikan sebagai daerah yang kelam dan mencekam. Seperti gambaran desa dalam film-film horor.
Hal tersebut tidak lepas dari label yang sudah kadung melekat pada kota di ujung Jawa Timur tersebut: kota santet hingga daerah angker. Apalagi di sana ada Alas Purwo yang konon merupakan kerajaan jin dan tempat pembuangan demit-demit dari seantero Jawa.
Ketagihan ke Banyuwangi
“Kamu kok seneng banget bolak-balik Banyuwangi?” Begitu tanya seorang teman.
Dulu ketika masih di Surabaya, kalau ada sisa uang cukup, saya biasanya menggunakannya untuk menuju Banyuwangi. Awalnya memang untuk wisata ke beberapa destinasi. Setelahnya, saya ke Banyuwangi ya hanya sekadar ingin menikmati kotanya saja. Menginap di rumah singgah (gratis), ngobrol dengan banyak traveller, lalu muter-muter untuk kulineran.
Pertanyaan tersebut kemudian berkembang menjadi pandangan aneh kenapa saya memasukkan Banyuwangi ke dalam daftar daerah impian saya untuk menua selain Pacet, Mojokerto.
Pilihan saya tak umum dari teman-teman saya. Sebab, kebanyakan mereka menyebut Wonosobo, Jogja, hingga Purwokerto sebagai tempat pensiun ideal. Pilihan menua di Banyuwangi terkesan aneh karena dalam benak mereka sudah tergambar suasana penuh hal mistis di kota tersebut.
Saat di Banyuwangi, saya memang beberapa kali bersinggungan dengan kejadian mistis. Tapi bukankah hal semacam itu lumrah juga terjadi di daerah-daerah lain? Jadi saya tak begitu menganggapnya sebagai masalah.
Saya ketagihan main—hingga bercita-cita menua—di sana karena saya menemukan rasa tenang dan hening yang sulit ditemukan di daerah lain karena terus bergerak menjadi kota urban. Ritme hidup yang pelan, kondisi daerah yang masih asri, banyak spot juga untuk menenangkan diri: pantai, gunung, bukit, dan lain-lain.
Banyuwangi tak ingkar janji
Delia (24), alumnus kampus Surabaya, dengan puitis menyebut kota yang terkenal dengan Alas Purwo itu dengan adagium “Banyuwangi tak ingkar janji”. Sama seperti saya, Delia jatuh hati pada kunjungan pertamanya ke Banyuwangi saat menjalani KKN dulu.
Ia pun tak pernah punya pikiran buruk soal Banyuwangi. Melihat postingan di Instagram betapa indahnya kota tersebut, asosiasi sebagai daerah angker langsung lenyap di kepalanya.
“Selama di sana aku juga nggak pernah merasakan hal horor. Aku menikmati suasananya. Bener-bener hening. Sangat cocok buat slow living,” tuturnya, Rabu (14/8/2024) petang WIB.
“Bener-bener tak ingkar janji. Kupikir keindahan yang dijanjikan di Instagram hanya hasil editan. Tapi memang bener-bener indah,” sambungnya.
Usai KKN itu, ia lalu menjadi lebih sering ke Banyuwangi. Bedanya dengan saya, ia sudah membuat list tempat-tempat wisata di sana yang hendak ia kunjungi.
Cerita betapa nyamannya KKN di Banyuwangi membuat beberapa adik tingkatnya di kampus juga berharap bisa mendapat tempat KKN di sana. Untuk mengonfirmasi, apakah Banyuwangi memang tak ingkar janji?
“Satu tahun lalu, adik tingkatku ada yang sampai nangis gara-gara KKN-nya nggak dapat di Banyuwangi,” tutur perempuan asal Sidoarjo tersebut.
Alas Purwo dan keangkeran yang mengganggu
Sebagai orang asli Banyuwangi, Farhan (27) merasa sangat terganggu setiap kali kenalan dengan orang luar daerah. Sebab, ketika ia mengaku berasal dari kota berjuluk “Kota Gandrung” tersebut, respons orang-orang pasti terkejut.
“Wuh, jangan disantet loh, Mas.” Begitu jawaban yang umum Farhan dengar. Ia hanya bisa tersenyum kecut. Ia tahu maksud mereka hanya bercanda. Tapi, dasar dari mana mereka mengasosiasikan bahwa semua orang Banyuwangi pasti ahli santet?
“Sering juga diminta cerita yang serem-serem. Ditanya Alas Purwo itu seangker apa? Lama-lama keganggu juga,” tutur pemuda yang kini sedang studi S2 di Jogja tersebut.
Tak ada yang menyeramkan
Lahir dan tumbuh di Banyuwangi, ia menyaksikan bahwa aktivitas masyarakat sebenarnya ya normal-normal saja seperti di daerah lain. Tidak kok berhubungan dengan hal-hal mistis.
Jika membicarakan aspek budaya, di Banyuwangi memang masih kental dengan tradisi atau budaya berbau Kejawen. Misalnya menaruh sesajen di bawah pohon keramat dan sejenisnya (banyak terlihat di area Alas Purwo Banyuwangi). Namun, tidak serta merta bisa disimpulkan kalau di sana jadi sarang demit. Karena sesajen bisa juga bermakna mensyukuri pemberian alam oleh Tuhan YME.
“Dan nggak setiap orang Banyuwangi itu tukang santet, itu yang perlu dicamkan,” tegas Farhan. Selebihnya, ia sendiri menilai bahwa sejauh ini Banyuwangi adalah tempat pulang terbaik.
Ia pernah kuliah S1 di Surabaya. Kota yang padat dan penuh ketergesa-gesaan. Sehingga pulang ke kampung halamannya menjadi semacam relaksasi, kembali dalam hening dan roda hidup yang melamban.
Lalu kini, saat ia studi di Jogja sebagai daerah yang konon ideal untuk pensiun, bagi Farhan ternyata tak seideal Banyuwangi. Ia begitu mencintai kota kelahirannya tersebut dan sangat tak keberatan jika kelak harus menua di sana.
Hal senada juga diungkapkan oleh kontributor Terminal Mojok Rino Andreanto. Banyuwangi mungkin saja berlabel daerah angker. Tapi menurutnya, kota kelahirannya tersebut sangat layak masuk daftar tempat pensiun ideal. Ia membeber alasannya dalam artikel berjudul “Banyuwangi Seharusnya Masuk dalam Daftar Tempat Pensiun Paling Enak“.
Riwayat pembantaian dukun santet
Melansir dari berbagai sumber pemberitaan, Banyuwangi kemudian lekat dengan santet bermula dari pembantaian dukun sentet pada medio 1998. Saat itu tanpa motif yang jelas, tiba-tiba terjadi pembantaian oleh sosok tak dikenal—berjubah hitam bak ninja—menyasar nama-nama yang diduga memiliki kekuatan magis (mereka lalu disebut dukun santet).
Waktu itu, Bupati Banyuwangi Purnomo Sidik mengirim radiogram kepada seluruh jajaran aparat pemerintah dari camat hingga kepala desa untuk mendata orang-orang yang dianggap dukun santet.
Radiogram itu dikeluarkan oleh bupati pada 6 Februari 1998. Sejatinya, pendataan itu dilakukan untuk memberi perlindungan kepada orang-orang yang diduga merupakan dukun santet di Banyuwangi. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Radiogram bocor. Lalu tiba-tiba muncul kelompok yang memburu dan membantai daftar nama-nama berlabel dukun santet tersebut. Sepanjang Februari-September 1998, ada ratusan orang yang terbantai. Karena kemudian tidak hanya menyasar nama-nama yang terdaftar, tapi semakin luas dan membabi buta.
Sialnya, salah satu pelanggaran HAM berat Indonesia itu tak kunjung terusut tuntas hingga saat ini. Yang tersisa justru label “kota santet” yang terus melekat hingga sekarang. Padahal, belum jelas juga bagaimana label “dukun santet” tersebut tersemat dan apa alasan menghalalkan darah mereka.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News