Berkhidmat di Nahdlatul Ulama (NU) melaui Banser seyogianya adalah suatu kehormatan. Namun, sering kali hati merasa sedih. Sebab, caci maki yang melayang kepada para anggotanya kelewat kejam dan tak berperasaan.
***
Di era media sosial sekarang, sejauh yang saya amati, setiap ada momen pernikahan anggota Banser hampir bisa dipastikan berujung viral.
Sebenarnya konsep pernikahannya terbilang unik: melangsungkan pernikahan dengan seragam Banser NU lengkap atribut-atributnya. Lau dalam selasar menuju pelaminan, beberapa anggota lain berderet menyambut dengan melakukan sikap Hasta Pora. Mirip upacara pernikahan untuk anggota TNI-POLRI dan sejenisnya.
Pedasnya ceng-cengan pada pernikahan anggota Banser
Bagaimanapun, ia yang menikah pasti punya kebanggaan tersendiri pada organisasi tempatnya mengabdi. Sehingga mengekspresikannya sampai di salah satu momen penting dalam hidupnya: menikah.
Sayang, warganet melihatnya sebagai hal yang berbeda. Sindiran dan cacian pedas tak segan-segan melayang.
Lihat postingan ini di Instagram
“Amalan apa yang sudah dibuat mbaknya sehingga dapat suami anggota Banser,” sindir warganet di media sosial Instagram.
“Dream wedding banget ya,” timpal warganet lain.
“Buat yang jaga hidangan, tolong dijaga betul-betul ya makanannya. Takutnya tamu belum datang, makanan udah habis diserbu Banser,” ujar warganet lainnya pedas.
Di tengah komentar-komentar tak menyenangkan itu, tidak sedikit warganet yang memberi komentar positif. Menyebut bahwa setiap orang punya caranya masing-masing untuk bahagia. Toh juga tidak merugikan pihak lain.
Baru-baru ini, beberapa anggota organisasi semi-otonom di NU tersebut berkeluh kesah kepada saya perihal lika-liku dan keresahan mereka mendapat cap kurang baik dari khalayak di jagad maya.
Banser bukan pelarian gagal seleksi TNI
“Ya memang apa yang salah? Menyalahi aturan nggak? Toh si pasangan ya suka sama suka.” Begitu komentar Khoir* (33), bukan nama asli, saat saya mintai pendapat soal anggota Banser yang menikah “ala militer” dan tak luput dari caci maki.
Saat menikah, Khoir memang tak melangsungkannya dengan upacara semacam itu. Meski sebelum menikah ia sudah menjadi anggota. Bukan karena malu. Tapi memang ia merancang pernikahannya sesederhana mungkin.
Namun, ia merasa tidak sepatutnya jika warganet memberi komentar kurang baik pada anggota Banser yang menikah “ala militer”. Alasannya seperti yang ia beberkan di atas.
Khoir juga “tak terima” jika ada orang yang mengolok-olok setiap orang yang bergabung organisasi di bawah NU tersebut, sepertinya dirinya.
“Dulu lulus SMA aku pernah daftar TNI, tapi gagal. Lanjut kuliah. Nah, di tengah kuliah itu aku aktif di Banser. Banyak yang ngecengin, gagal TNI masuk Banser pun jadi. Konteksnya mungkin candaan, tapi aku agak tersinggung,” beber Khoir yang saat ini menjadi pengajar di salah satu SMA swasta di Sidoarjo.
Khoir bukan satu-satunya yang mengalami hal tersebut. Sebab di lingkungannya, jika ada anak muda gabung dengan organisasi di bawah NU itu pasti dapat ceng-cengan “lagi main tentara-tentaraan”.
“Bukan pelarian. Gabung Banser itu ya karena dasarnya suka aktivitas lapangan. Selebihnya kuniati untuk khidmat aja. Memang keluarga besarku dari kalangan NU yang kental,” tegas Khoir, Rabu (24/7/2024) melalui sambungan telepon menjelang larut malam.
Ingin tegakkan toleransi tapi malah kena caci
Sebelumnya saya sempat berbincang dengan Mukmin* (37), juga nama samaran, seorang anggota Banser NU asal Mojokerto, Jawa Timur.
Mukmin merasa semakin ke sini caci maki pada Banser makin kenceng. Menurutnya, banyak warganet yang menyalahpahami apa yang mereka lakukan.
“Stempel yang sekarang dicapkan ke kami itu kan tukang bubarkan pengajian dan tukang jaga gereja. Orang harus paham dulu (konteksnya), sebelum menghakimi,” ungkap Mukmin.
Menurut Mukmin, bukan tanpa alasan kenapa anggota Banser kerap membubarkan pengajian. Sebab, kerap kali mereka mendapati pengajian atau ceramah dari penceramah—yang menurut mereka—radikal dan memecah belah.
Indikatornya: dalam ceramah cenderung menyalah-nyalahkan, membid’ah-bid’ahkan, bahkan mengkafirkan (takfiri) kelompok lain. Bagi Mukmin, paham semacam itu tentu berpotensi memecah belah.
Di level ekstrem, bisa menjadi awal aksi terorisme. Di mana sasaran terorisme tersebut kerap menyasar kelompok yang dicap kafir (penganut agama lain nos-Islam). Sehingga Banser merasa perlu menjaga tempat ibadah umat lain—termasuk gereja—biar tidak ada ancaman-ancaman seperti bom-bom bunuh diri yang sudah sering terjadi.
Karena jika kejadian seperti itu terus berulang, umat Islam justru memiliki citra buruk karena bertolak belakang dengan konsep ber-Islam yang rahmatan li al-alamin. Islam dicap sebagai agama terosis.
“Utamanya bukan agar nggak ada pengajian dari kelompok itu. Tapi dengan adanya penolakan terhadap penceramah radikal, harapannya kan ada introspeksi dari pihak bersangkutan. Terus lebih mengedepankan rahmatan li al-alamin dalam ceramahnya di kemudian hari,” papar Mukmin.
Bukan barisan pemburu nasi kotak
Label kurang baik lain yang menyasar Banser adalah “barisan pemburu nasi kotak”. Hal tersebut merujuk pada kehadiran organisasi NU tersebut dalam banyak acara. Dari pengajian hingga pernikahan.
“Seperti fungsinya, kami ini tugasnya untuk mengamankan, terutama acara yang berkaitan dengan NU dan acara-acara sosial lain,” ujar Khoir.
“Tugas itu kami jalankan dengan niat tulus, mengabdi pada NU dan masyarakat. Memang sering kami dapat nasi kotak, itu sebagai bentuk terimakasih (si pemilik hajat) pada Banser. Jadi salahnya di mana? Kami ini kan nggak menodong? Nggak minta-minta bayaran juga,” sambungnya.
“Dalam tubuh organisasi itu kan ada banyak bagian berdasarkan tugas masing-masing. Prinsip tugasnya itu berifat saling tolong. Kami juga sering terlibat dalam banyak aksi kemanusiaan. Misalnya membantu saat bencana. Kenapa itu nggak dilihat?” sementara begitulah kata Mukmin saat saya mintai pendapat atas konteks yang sama dengan Khoir.
Melansir NU Online, dalam Peraturan Organisasi (PO) Pasal 23, tertulis bahwa Banser yang lahir pada 1960-an adalah organisasi yang bersifat keagamaan, kemanusiaan, sosial kemasyarakatan, dan bela negara.
Dalam PO Pasal 23 itu pula diuraikan, ada tujuh satuan khusus dalam Banser berdasarkan kategori-spesifikasi tugas/fungsinya, antara lain: Densus 99 Asmaul Husna, Banser Tanggap Bencana (Bagana), Relawan Kebakaran (Balakar), Relawan Lalulintas (Balantas), Relawan Kesehatan (Husada), Maritim (Baritim), dan Protokoler.
Terakhir, baik kepada Khoir maupun Mukmin, saya mengirim link video viral saat Banser turut mengawal sosok kontroversial: Mama Ghufron.
Tentu organisasi NU tersebut menuai hujatan. Mengingat, Mama Ghufron sendiri saat ini menjadi sosok yang dianggap “meresahkan” dan melakukan pembodohan umat melalui ceramah—yang klaimnya—berbahasa Suryani berciri khas “maqoli maqoli”.
Lihat postingan ini di Instagram
“Kalau itu mungkin bisa minta keterangan ke Banser yang bersangkutan, di Banten atau di Malang itu. Kalau aku sendiri, si Ghufron itu memang meresahkan,” respons Khoir.
“Cobaannya Banser dan NU, Mas. Belakangan ini ada-ada saja (masalahnya),” sementara begitulah jawaban dari Mukmin.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.