Kapitalisme terpimpin ala Prabowo memberi ruang para oligarki untuk mengendalikan sistem ekonomi. Hasilnya, ya, mereka tambah kaya, dan rakyat makin nelangsa.
***
Film Dirty Vote II o3 (2025) yang baru saja tayang di Youtube, bukan cuma bikin jantung berdebar karena ngomongin busuknya politik dan kecurangan pemilu. Film dokumenter itu juga memancing satu pertanyaan lama yang kini terasa makin relevan: sebenarnya, ekonomi Indonesia mau dibawa ke mana?
Salah satu momen paling menarik datang dari ekonom Bhima Yudhistira. Dengan gaya khasnya yang tenang tapi menusuk, ia menyebut Prabowo Subianto sudah lama tergila-gila pada konsep state capitalism–atau dalam bahasa yang lebih umum: “kapitalisme terpimpin”.
Bhima menunjuk langsung isi buku Paradoks Indonesia dan Solusinya, yang ditulis langsung oleh Prabowo. Di halaman 28, misalnya, Prabowo menulis bahwa kunci sukses ekonomi Tiongkok adalah penerapan dengan sungguh-sungguh prinsip state capitalism, di mana “seluruh cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dan seluruh sumber daya alam dikuasai negara.”
Pada halaman berikutnya, Prabowo menambahkan, “Dengan kata lain, kita tidak secara sungguh-sungguh menjalankan Pasal 33 UUD 1945 sementara Tiongkok menjalankannya.”
Kalimat itu terdengar gagah, seperti ingin bilang: “Lihat Tiongkok, kita bisa seperti itu kalau negara memimpin ekonomi!”
Masalahnya, siapa yang dimaksud “negara”? Apakah rakyat, atau mereka yang duduk di singgasana kekuasaan?
Riwayat kapitalisme terpimpin, dari Bung Karno ke Beijing
Istilah kapitalisme terpimpin sendiri bukan temuan baru. Konsepnya sudah beredar sejak pertengahan abad ke-20. Intinya sederhana: negara memimpin, tapi pasar tetap berjalan. Pemerintah mengatur arah ekonomi, tapi kepemilikan dan akumulasi modal tetap di tangan swasta.
Model ini dulu jadi idola banyak negara pasca-kolonial yang ingin cepat kaya tanpa harus menyerahkan diri sepenuhnya pada kapitalisme liberal. Korea Selatan di bawah Park Chung-hee dan Tiongkok pasca-Deng Xiaoping adalah dua contoh yang sering disebut.
Indonesia sendiri pernah mencicipi varian konsep ini di era Demokrasi Terpimpin Bung Karno. Bedanya, kala itu negara tampil sebagai pelindung rakyat dari pengaruh modal asing.
Sekarang, kapitalisme terpimpin versi abad ke-21 tampil dalam balutan neoliberal: negara tampil gagah di depan publik, tapi fungsinya justru jadi fasilitator modal besar. Kalau dulu negara memimpin rakyat, kini negara memimpin proyek–dan rakyat tinggal menonton dari “pinggir lapangan”.
Di atas kertas, Prabowo menawarkan kemandirian ekonomi dalam balutan Prabowonomics: swasembada pangan, penguatan industri dalam negeri, kontrol negara atas sumber daya strategis.
Namun, seperti kata Bhima, ada bahaya laten yang sulit diabaikan: ketika kendali ekonomi hanya dipegang segelintir elite, kapitalisme terpimpin bisa berubah jadi kapitalisme kroni. Ia tampak nasionalis, tapi sesungguhnya cuma memperkuat aliansi antara kekuasaan politik (pemerintah) dan pemodal besar (oligarki).
Nah, pertanyaannya: kok bisa negara dan kapital saling rangkul?
Kapitalisme terpimpin: kisah cinta negara dan pemodal
Riset berjudul “Crony Capitalism as a Variable for Growth“ (2019) yang diterbitkan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), mengurai akar hubungan mesra ini.
Sejak Orde Baru, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebenarnya tak pernah benar-benar ditopang pasar bebas, sebagaimana yang digembar-gemborkan. Faktanya, ia bertumpu pada “politik kedekatan”. Siapa yang dekat dengan kekuasaan, dialah yang dapat proyek, kredit, dan akses ekspor.
Pemerintah membangun jalan, pelabuhan, dan pabrik. Namun, kontraktor dan pengembangnya itu-itu saja. Sialnya, model ini berlanjut hingga sekarang, hanya ganti nama dan slogan saja.
Yeremia Widjanarko dalam risetnya yang berjudul “21st Century Competition: State & Conglomeration-Driven Capitalism”, menyebutnya sebagai bentuk capitalism hybrid. Sederhananya, negara dan konglomerat bahu-membahu menguasai proyek strategis nasional, dari tambang nikel sampai pembangunan ibu kota baru (IKN).
Negara jadi perencana, konglomerat jadi pelaksana, dan rakyat jadi penonton. Kira-kira begitu ilustrasinya.
Sebelumnya juga, Jeffrey Winters pernah menulis lewat istilah “oligarki pelindung”. Negara memberi perlindungan politik dan hukum pada para kapitalis besar (oligark), sementara para kapitalis itu menopang kekuasaan dengan modal mereka.
Jadi, jangan heran mengapa antara negara dan para pemodal, bisa terus berdampingan mesra. Karena, para elite-nya saling kongkalikong, patgulipat, mencari celah buat saling untung.
Alhasil, dalam sistem kapitalisme terpimpin yang mengakomodasi kepentingan oligarki, pertanyaannya bukan lagi “apakah kekuatan itu kuat”, tapi “untuk siapa kekuatan itu bekerja?”.
Proyek-proyek raksasa, tapi manfaat bagi rakyat amat kecil
Kalau mau tahu dampak konkret dari kapitalisme terpimpin, lihat saja proyek-proyek besar yang katanya demi rakyat itu.
Riset UGM berjudul “Pseudo State Capitalism dan Marginalisasi Masyarakat: Studi Kasus KEK Mandalika”, misalnya, menemukan bahwa proyek wisata supermegah di Mandalika ternyata tak banyak membawa kesejahteraan bagi warga lokal.
Lahan mereka diambil, pekerjaan yang dijanjikan cuma sementara, dan keputusan ekonomi dikontrol dari Jakarta. Warga Lombok jadi tamu di tanah sendiri. Persis seperti wisatawan yang datang, hanya bedanya mereka tak punya kemewahan apa-apa.
Kisah serupa muncul di sektor sawit. Investigasi The Gecko Project (2023) lewat laporan “The Promise Was a Lie” mengungkap bagaimana janji bagi hasil antara perusahaan dan masyarakat lokal tak pernah terealisasi.
Rakyat dijanjikan 20 persen kepemilikan lahan lewat skema plasma. Nyatanya, mereka hanya dapat serpihan janji. Perusahaan besar memanen, masyarakat hanya menatap dari balik pagar kebun. Negara, sekali lagi, hadir bukan sebagai pelindung, tapi pelayan bagi kepentingan oligarki.
Dua contoh itu memperlihatkan wajah asli kapitalisme terpimpin: proyek digerakkan atas nama rakyat, tapi hasilnya tak pernah kembali pada rakyat. Ini belum termasuk proyek supermegah lain, seperti IKN, yang kabarnya mangkrak itu.
Bahaya laten lain: negara kuat, rakyat lemah
Muhammad Ridha dalam risetnya “The State, Class Struggle, and Capitalist Development in Indonesia and South Korea: A Marxist View” (2022), menjelaskan mengapa fenomena ini terus berulang.
Menurutnya, kapitalisme negara tidak otomatis berarti keadilan sosial. Sebaliknya, ia bisa jadi alat baru bagi kelas berkuasa untuk mempertahankan dominasinya. Negara tampil sebagai “pengelola pembangunan,” tapi sesungguhnya ia bekerja untuk kepentingan kapital besar.
Ridha juga menyoroti bagaimana ide tentang “kemandirian nasional” sering dipakai untuk menekan kritik. Ketika semua diklaim demi kepentingan bangsa, siapa pun yang mengkritik dianggap sebagai pengkhianat pembangunan. Padahal, tanpa transparansi dan partisipasi, negara yang kuat justru menciptakan masyarakat yang lemah.
Familiar, bukan?
Pada akhirnya, kapitalisme terpimpin ala Prabowonomics bukan lagi sekadar teori ekonomi. Ia menjelma menjadi ideologi kekuasaan: sistem yang lihai menyamarkan ketimpangan dengan slogan kebangsaan. Bahaya!
Atau, dalam wajah yang lebih modernnya, kapitalisme terpimpin bisa jadi bukan tentang kemandirian nasional, tapi tentang siapa yang diizinkan memimpin sistem itu. Di tengah janji-janji besar tentang pangan, industri, dan kedaulatan, bahaya laten itu tetap mengintai: ekonomi yang dikendalikan dari pusat, oleh segelintir tangan yang dekat dengan kekuasaan.
Dan seperti diingatkan Ridha, tanpa transparansi dan partisipasi, “kepemimpinan ekonomi” mudah berubah menjadi rezim rente–di mana rakyat kembali diminta berkorban demi pertumbuhan yang bukan milik mereka.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Memahami “Bahasa Bayi” Swasembada Pangan yang Dibanggakan Presiden Prabowo selama Satu Tahun Menjabat di Saat Petani Makin Nelangsa atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












