Aura Farming Pacu Jalur bikin Iri Orang PSHT: Sama-sama Mendunia tapi PSHT bikin Malu, Diajak Perbaiki Diri Nggak Mau

Anggota pencak silat PSHT iri dengan aura farming pacu jalur MOJOK.CO

Ilustrasi - Anggota pencak silat PSHT iri dengan aura farming pacu jalur. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Setidaknya ada satu kesamaan antara perguruan pencak silat PSHT dan aura farming pacu jalur. Sama-sama viral. Sama-sama “go international”.

Seperti diketahui, joget aura farming pacu jalur kini tidak hanya jadi tren domestik. Di luar negeri pun banyak orang yang turut meramaiakan tren joget aura farming. Sampai-sampai, Rayyan Arkan Dhika (si bocah), didapuk menjadi Duta Wisata Riau oleh Gubernur Riau, Abdul Wahid.

Tak hanya itu, kabarnya dia juga menerima beasiswa sebesar Rp20 juta dari Menteri Kebudayaan, Fadli Zon. Sementara berita-berita soal PSHT yang berulah di Jepang masih terus menjadi sorotan.

Namun, anggota PSHT merasa iri dengan aura farming pacu jalur yang dielu-elukan. Sementara PSHT kini tengah banjir makian.

Malu tunjukkan identitas PSHT

Amirudin (26) bersumpah setia menjadi bagian dari perguruan pencak silat PSHT. Darah “Setia Hati” sudah mengalir dan berdenyut di nadinya sejak masih SD.

Namun, Amirudin tidak mau menyangkal fakta bahwa ada saja oknum anggota pencak silat PSHT yang sok jagoan dan menjadi biang keonaran.

“Dulu, PSHT disegani. Bahkan juga ditakuti. Tapi kalau pencak silat cuma untuk sok jagoan dan bikin onar, jadinya malah seperti sekarang,” tutur pemuda asal Tulungagung, Jawa Timur tersebut, Kamis (17/7/2025) sore WIB.

Kini, PSHT dianggap sebagai gerombolan orang-orang rendahan dan pembuat onar. Setidaknya begitulah narasi-narasi di media sosial.

Beranda Instagram Amirudin kerap dipenuhi video-video seputar PSHT. Si akun pengunggah video lantas akan dibanjiri ribuan “suka” dan ratusan komentar.

Sayangnya, komentar rispek jauh sangat sedikit dibanding komentar-komentar bernada sumbang. Bahkan caci maki secara terang-terangan juga dilontarkan netizen kepada PSHT.

“Sampai ada plesetan dari pesilat jadi pesilit. Sudah miris sekali,” kata Amirudin.

Itu membuat Amirudin merasa malu, alih-alih tersulut emosi. Sebab, memang demikian adanya situasi PSHT di beberapa daerah hari ini—bahkan di Jepang sekalipun: berulah, sok jagoan, mengganggu ketertiban.

Baca halaman selanjutnya…

Tak mau diajak perbaiki diri 

Bukan introspeksi malah songong

Ironisnya, caci maki dan hujatan yang sebenarnya berbasis fakta itu, tidak direspons secara jernih oleh oknum-oknum anggota PSHT. Kalau menurut Niam (27), kebanyakan yang merespons tidak lebih seperti bocil-bocil yang secara emosi belum matang sama sekali. Sehingga cenderung reaktif dan denial terhadap kesalahan.

Niam mengambil contoh komentar di unggahan Instagram Mojok berjudul, “Pacaran sama Pendekar PSHT: Dulu Merasa Bangga dan Keren Punya Pacar Jago Gelut, Setelah Putus Eh Imbasnya Nggak Hilang-hilang”.

“Ada yang komen, kalau nggak PSHT nggak FYP. Media butuh makan, carinya lewat PSHT. Kan denial sekali,” ucap anggota pencak silat PSHT asal Tuban, Jawa Timur itu.

Komentar-komentar tersebut tak pelak dibalas oleh netizen dengan tak kalah sengak, misalnya: “Dikritik nggak introspeksi malah songong,” atau “Jadi tukang onar kok bangga.”

Padahal, bagi Niam, kemarahan—hingga kemuakan publik—terhadap PSHT adalah alarm serius. Seharusnya bisa dijadikan sebagai pengingat kalau ada kesalahan yang perlu diluruskan, bukan malah membenar-benarkan yang salah.

“Jika terus begitu, yakin, sampai kapanpun, mau di Indonesia mau di Jepang, kesannya mesti buruk. Karena diajak berbenah malah denial terus,” keluh Niam.

Keirian PSHT kepada aura farming pacu jalur

Pencak silat—seperti PSHT—sebenarnya bukan bela diri pinggiran. Sebab, pencak silat menjadi olahraga yang juga dipertandingan di level internasional. Punya sejarah panjang pula.

Sayangnya, bagian itu tertutup kabut pekat lantaran keonaran yang kerap dipertontonkan oknum PSHT di daerah. Alhasil, kini publik lebih mengenalnya sebagai simbol keonaran alih-alih simbol warisan budaya Indonesia yang patut diapresiasi setinggi-tingginya sekaligus dilestarikan.

Baik Amirudin maupun Niam mengaku sama-sama iri dengan respons publik terhadap aura farming pacu jalur. Sama-sama simbol budaya, tapi aura farming pacu jalur mendapat respons yang sangat positif.

“Aura farming pacu jalur seperti jadi simbol budaya yang menyenangkan. Bukan yang rusuh-rusuh. Berdampak juga di segi pariwisata, bukan berdampak merugikan orang lain seperti konvoi-konvoi pencak silat,” kata Amirudin.

“Seandainya oknum-oknum pencak silat PSHT kembali ke akar ajarannya yang luhur, jika nggak dapat sorotan positif, paling tidak PSHT nggak kena stigma buruk secara massal,” sambung Niam.

Lebih bisa banggakan aura farming pacu jalur

Amirudin dan Niam pun mengakui, mereka lebih bisa bangga ketika orang-orang luar negeri ramai-ramai mengikuti tren aura farming pacu jalur. Karena apa yang bisa dibanggakan dari bendera PSHT yang terbentang di sebuah jembatan di Jepang yang kemudian menuai banyak kecaman?

Awalnya ingin terlihat keren. Tapi justru berujung masalah dan—kalau kata Amirudin dan Niam—malah membuat malu orang Indonesia.

Amirudin dan Niam sama-sama berpendapat, rasa-rasanya perlu ada pembenahan secara menyeluruh baik di level pusat maupun pelosok-pelosok. Misalnya terkait pematangan emosional dan reinternalisasi nilai-nilai luhur.

“Orang PSHT dikritik terus reaktif ngajak share loc atau bahkan denial itu saja sudah nggak produktif. Belajar bela diri itu bukan kok dikit-dikit kalau ada masalah langsung main pukul, emosian, tersinggungan. Tapi justru bagaimana belajar menahan emosi, menahan diri, dan belajar mendengarkan,” ucap Amirudin.

“Pencak silat PSHT bukan untuk merasa sok keren. Misalnya dengan konvoi-konvoi di jalan. Nggak keren blas itu. Membuat orang lain merasa nggak nyaman dan nggak aman kalau berurusan dengan PSHT, itu juga tanda nggak ada keren-kerennya,” begitu kata Niam.

Bagi Niam, keren itu, jika tidak sampai pada tahap seperti aura farming pacu jalur, paling tidak ya tidak menjadi batu kerikil yang membuat orang lain tersandung. Jika tidak mampu jadi solusi atau prestasi, setidak-tidaknya jangan jadi sumber masalah. Itu saja sudah cukup, tak perlu sampai orang luar negeri (misalnya) ikut tren memeragakan kembangan.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Gara-gara Tolak Gabung PSHT demi Karate Jadi Dimusuhi Saudara Sendiri, Tak Menyesal karena Jauh dari Keburukan kayak Pencak Silat atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version