Aksara Jawa di era sekarang kerap dinilai sebagai klenik semata, alias mantra tak masuk akal. Padahal, maknanya lebih dari itu jika dipahami secara sains.
***
Sewaktu kecil, Rendra Agusta sering merapalkan “carakan walik” sebanyak tiga kali sambil memegang telur. Harapannya, telur itu tidak menetas menjadi anak ayam meski dierami oleh sang induk. Dan benar saja, hal itu terjadi sesuai keinginannya.
Pada dasarnya, caraka walik berisi aksara Jawa yang dibaca terbalik, yakni:
Nga Tha Ba Ga Ma yang berarti “Tidak ada kematian”,
Nya Ya Ja Dha Pa artinya “tidak ada kejahatan”,
La Wa Sa Ta Da yang berarti “tidak ada peperangan”,
Ka Ra Ca Na Ha yang berarti “tidak ada utusan”.
Masyarakat jawa memahami kalimat tersebut sebagai mantra untuk membalikkan atau menolak kekuatan negatif yang datang. Lebih dari sekadar menolak telur menjadi anak ayam, mantra carakan walik diharapkan bisa menolak bala seperti santet, malapetaka, atau hal negatif lainnya.
Namun seiring berkembangnya waktu, aksara Jawa hanya dianggap klenik. Tergerus oleh tradisi-tradisi negara asing. Bahkan, bukan hanya makna aksaranya yang tergerus secara harfiah, tapi juga budaya Jawa yang diajarkan.

“Jadi aksara (Jawa) sudah sampai level ajian (mantra). Sebagai simbol, bahasa, kemudian ada bahasa yang disemukan, diukur lewat tone bicara. Berarti kan ini sangat tinggi peradabannya. Kok tiba-tiba, ketika ada arus baru, semua jadi slow saja?” kata Rendra yang merupakan filolog sekaligus praktisi dari Universitas Sebelas Maret (UNS).
Aksara Jawa baru vs kuno
Dalam podcast Sebat Dulu berjudul “Rendra: Aksara Jawa itu Mantra” yang tayang di Youtube mojokdotco pada Selasa (21/10/2025), ia menjelaskan sejarah tentang aksara Jawa. Rendra berujar aksara berasal dari huruf ‘a’ dan kata ‘kesara’.
“A berarti ‘tidak’ sedangkan kesara berarti ‘musnah’ atau ‘hambar’. Jadi, aksara digunakan untuk menyimpan sesuatu agar tidak musnah,” ucap Hendra.
Dalam perkembangannya, aksara berisi 20 huruf yang memiliki keunikan bentuk masing-masing. Namun, Rendra mengungkap jika aksara Jawa yang kita kenal 20 huruf itu termasuk aksara baru.
“Bagi masyarakat Jawa kuno, aksara tertingginya ya ‘ong’ atau ‘hong’,” kata dia.
Ong sendiri biasa digunakan masyarakat Jawa dalam berdoa. Ia menjadi simbol kekosongan yang sekaligus utuh dan dibunyikan pada kalimat pertama. Misalnya, doa yang paling populer ialah, “hong wilaheng awighnam astu namah siddham.” Secara umum, artinya adalah “semoga tidak ada rintangan”.
“Kata ong adalah aksara tertingginya. Nanti di bawahnya ada pancaksara, triaksara. Nah di masa Jawa kuno, itu sangat dihormati. Namun semakin kesini kita menjadi Jawa baru karena sedikit banyak terpengaruh oleh tradisi Arab, Tionghoa, dan Eropa,” jelas Rendra.
Mantra adalah doa untuk keselamatan manusia
Menurut Rendra, tradisi negara barat tak hanya memengaruhi susunan kata dari aksara Jawa, tapi juga cara penerapannya. Jadi tak sekadar merapal atau menuliskan mantranya di depan pintu atau mengukirnya di lemari, bahkan ada yang menggambarnya di tubuh alias rajah.
Masalahnya, kata Rendra, mantra itu belum tentu manjur meski sudah diucapkan, diukir, bahkan digambar, melainkan harus benar-benar dipahami maknanya. Sebagai contoh mantra rajah kalacakra yang cukup populer di Solo, Jogja, dan Cirebon.
Dalam mantra itu terdapat kalimat “yamaraja jaramaya” yang artinya tanamkanlah kasih sayang. Lalu “yamarani niramaya” yang artinya bawakanlah kebaikan. “Yasilapa palasiya” yang artinya enyahkanlah kepapaan. “Yamiroda daromiya” yang artinya hadirkanlah kemerdekaan. Dan seterusnya.
Jika dipahami secara awan, kalimat itu tampak hanya dibolak-balik. Di mana yamaraja jadi jaramaya. Namun, jika dipahami lebih jauh, yama sendiri artinya dewa kematian dalam agama Hindu dan Buddha. Sementara jara berarti melindungi atau mengekang yang maya (kebalikan dari yama).
“Jadi sebenernya ada banyak bahasa Jawa kuno yang menyelamatkan kita,” kata Rendra.
Menerapkan ilmu palindrom
Meski begitu, proses pembalikan kata di atas tidak bisa dilihat secara sederhana. Dalam dunia tulis para sastrawan, proses pembalikan kata, bilangan, frasa, atau susunan karakter lain seperti di atas disebut palindrom. Sederhananya sama seperti permainan kata: kasur ini rusak, katak, malam, radar, dan sebagainya.
“Nah, aksara di Jawa sudah mengenal itu. Istilahnya caraka walik atau cakra walik, untuk mengembalikan tatanan dunia ke tatanan awal atau semula,” tegas Rendra.
Bahkan merujuk pada pengalaman masa kecilnya dulu, yakni membaca cakra walik sambil memegang telur, ternyata juga memiliki pemaknaan yang mendalam. Dalam bahasa Jawa, telur berarti “tigan” atau tiga, simbol dari triloka alias tiga dunia.
Menurut tradisi Jawa, telur sebagai simbol kehidupan dan kelahiran kembali. Atau sama dengan meyakini sakala (dunia atas), sakala Niskala (dunia tengah), dan niskala (dunia bawah).
“Jadi membacanya begini, carakan walik tidak hanya memengaruhi telur, tapi secara magis digunakan untuk mengembalikan tatanan dunia ke awal yang tenang dan damai,”
“Lebih luas lagi, aksara itu sebagai pintu untuk mengenal diri kita kembali. Kalau kita ingin mengembalikan sesuatu ke hal yang lebih baik, murni dan stabil, maka kita perlu berakar ke diri sendiri lewat aksara dan bahasa.”
Masyarakat Jawa, kata Rendra, meyakini alam akan menyaksikan mantra tersebut dan mendukung mereka saat mereka juga bersahabat dengan tiga dunia tadi.
“Sopo kang teteken tekun bakale tekan artinya siapa yang tekun dan rajin, pasti akan mencapai tujuannya.” Kata Rendra.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Melestarikan Aksara Jawa Ala Yogyakarta, Bukan Sekadar Nguri-uri tapi Juga Ngurip-urip atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan