Acer Aspire One, Netbook Mungil Kenangan Besar: “Spek Kentang”, tapi Mengajari Mahasiswa Arti Berjuang

Laptop, Acer Aspire One.MOJOK.CO

Ilustrasi - Laptop Spek Kentang.MOJOK.CO

Kalau tupperware bagi rumah tangga menjadi simbol ketahanan dan kenangan, maka Acer Aspire One adalah versinya kampusnya. Laptop ini punya spek kentang, tapi mengajari mahasiswa arti sebuah perjuangan.

***

Suara kipas kecil itu masih terngiang di telinga Putra (29). Suaranya yang berisik, kadang menjadi bahan tawa teman-teman ketika ia membuka Acer Aspire One di tengah ruang kelas. 

“Guyonan mereka, ‘kalau masuk kelas mesin cucinya nggak usah dibawa’,” katanya sambil tersenyum, tatkala mengenang masa lalunya kepada Mojok, Minggu (21/9/2025).

Bagi sebagian orang, Acer Aspire One mungkin hanya laptop mungil yang sudah ketinggalan zaman. Namun, bagi Putra, netbook keluaran akhir 2000-an ini adalah saksi perjalanan kuliahnya di Jogja, dari semester awal tahun 2015 hingga akhirnya meraih toga pada 2020.

Acer Aspire One, primadona pada masanya

Acer Aspire One memang menjadi fenomena tersendiri di zamannya. Rilis sekitar 2008–2010, laptop ini hadir dengan layar 10 inci, RAM 1 GB, dan hardisk 160 GB. Prosesornya Intel Atom, sederhana sekali jika dibandingkan laptop modern hari ini. 

Tapi kala itu, Aspire One jadi primadona. Sebab, ia ringan, mudah dibawa, harganya terjangkau, dan cukup tangguh untuk sekadar mengetik makalah atau menjelajah internet. 

Banyak orang tua rela mencicil bahkan berutang, termasuk ortu Putra, demi membelikan anaknya perangkat ini. Sebab, pada masanya, status “mahasiswa dengan laptop” seolah menjadi keharusan kalau nggak mau ketinggalan perkuliahan.

Namun, bagi Putra, yang baru masuk kuliah di UNY pada 2015, Acer Aspire One bukan barang baru. Ia mendapatkannya dalam kondisi second, dari seorang senior. Harganya? Seingat dia Rp1,2 juta.

Warnanya putih yang sudah agak pudar, engselnya kaku, dan keyboard-nya mulai aus. Meski begitu, saat pertama kali menentengnya ke kampus, ia merasa menjadi mahasiswa seutuhnya. 

“Tahun segitu, punya laptop sendiri tuh rasanya kayak naik level. Nggak perlu lagi mondar-mandir ke warnet,” ujarnya.

Susah payah bersama si laptop kentang

Namanya saja laptop kentang, second pula. Maka, sudah bisa ditebak, hari-hari bersama Acer Aspire One menjadi “momen penuh kompromi”. Ia kudu banyak sabar, karena booting-nya saja bisa memakan waktu lebih dari lima menit. 

Kata Putra, “cukup lama untuk bikin kopi dan sebat.”

Saking lemotnya, pernah ketika harus presentasi kelompok, file PowerPoint tak kunjung terbuka. Dosen menunggu dengan wajah datar, sementara teman-teman menahan tawa. 

“Waktu itu aku bilang aja, ‘Sabar ya, Pak, ini netbook lagi meditasi’,” kenang Putra sambil tertawa.

Keyboard kecilnya juga kerap jadi sumber masalah. Jari-jarinya yang besar sering salah ketik. Ia mengaku pernah bikin satu tugas kuliah penuh dengan typo aneh yang membuat dosen kebingungan. 

Sampai-sampai ia dikira sedang ngetik sambil naik motor.

Meski kerap bikin repot, keterbatasan ini justru mengasah kesabaran. Putra belajar menyimpan file cadangan di flashdisk, menulis dulu di kertas sebelum diketik, hingga terbiasa bekerja lebih lambat tapi hati-hati. 

“Aneh ya, laptop lemot malah bikin aku lebih disiplin. Kalau laptop cepat, mungkin aku jadi suka nunda kerjaan. Hahaha.”

Tragedi colokan copot

Karena bekas, kondisi baterai juga sudah tak bisa diharapkan lagi. Hanya beberapa minggu setelah dibeli, baterainya soak. Kalau mau digunakan, Acer Aspire One miliknya kudu sambil di-charge.

Ada momen saat kerja kelompok, laptop mendadak mati. Padahal, tugas yang ia ketika belum di-save. Usut punya usut, kabel charger-nya tanpa sengaja tertendang temannya sehingga harus copot dari colokan listrik.

Dalam situasi tersebut, Putra jelas merasa sangat marah. Namun, sekali lagi, punya laptop kentang mengajarinya buat menahan emosi. 

“Dibilang marah, ya, marah karena harus ngulang ngetik panjang. Tapi ya pada akhirnya kompromi aja, ngatur emosi,” katanya.

Tragedi laptop mati ini tak cuma sekali dua kali. Beberapa kali laptopnya mati karena colokan longgar atau mati lampu. Saking seringnya mengulang mengetik tugas, Putra pun sampai berdamai dengan keadaan.

Acer Aspire One saksi doa dan cinta orang tua

Di balik semua kisah lucu itu, ada cerita lain yang membuat Aspire One begitu bernilai. Putra tahu betul, meski ia membeli laptop itu second, keputusannya tidak lepas dari dorongan orang tuanya. 

Sang bapak, yang sudah pensiun, rela berutang ke tetangga agar anaknya bisa kuliah dengan lebih percaya diri.

“Bapak bilang, ‘Kamu harus punya laptop biar bisa bersaing.’ Aku tahu Bapak nggak ada duit, tapi beliau cuma ingin anaknya nggak kalah sama teman-teman,” ucap Putra pelan.

Ibunya juga hadir di momen itu. Ketika Putra pulang membawa Aspire One, meski jelas bukan laptop baru, wajah ibunya sumringah. 

“Ibu jarang ketawa lebar. Tapi waktu lihat aku bawa laptop, dia bilang, ‘Alhamdulillah, sekarang kamu sudah punya alat buat kuliah.’ Itu bikin aku hampir nangis,” kenangnya.

Kini, Aspire One miliknya sudah mati total. Namun, Putra tidak pernah tega menjual apalagi membuangnya. 

“Kalau laptop biasa, rusak ya sudah, ganti. Tapi yang ini lain. Ada pengorbanan bapak, ada senyum ibu, ada perjalanan kuliah di dalamnya,” ujarnya.

Putra kini bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jogja, dengan laptop modern yang jauh lebih canggih. Tapi setiap kali membuka lemari dan melihat Acer Aspire One yang ia simpan rapi, kenangan itu kembali hidup. 

“Kadang saya senyum sendiri. Laptop ini dulu bikin stres, sekarang justru jadi benda paling berharga.”

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Mahasiswa PTN Bohongi Orang Tua, Mengaku Baik-Baik Saja padahal 4 Tahun Kuliah Menderita karena HP Kentang dan Laptop Bobrok atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version