Saat hendak melepas anak merantau, misalnya saat anak akan berangkat kuliah (menjadi mahasiswa baru) di daerah yang jauh, seorang ibu biasanya akan memberi beberapa nasihat atau pesan sederhana.
Akan tetapi, jika meminjam kata mendiang Joko Pinurbo (Jokpin), hal sederhana kadang justru merupakan sesuatu yang amat tidak sederhana. Sehingga nasihat atau pesan dari ibu sering kali terabaikan begitu saja.
#1 Jangan tinggalkan salat, pesan sejak mahasiswa baru hingga bekerja
Baik melalui telepon, pesan singkat, atau bahkan saat sedang bersua, ini menjadi pesan yang tak pernah luput dilontarkan oleh sang ibu. “Jangan tinggalkan salat.”
Dalam beberapa kesempatan, Iqbal mengaku ibunya betul-betul menekankan hal tersebut. Ibu Iqbal tak meminta Iqbal harus menjadi mahasiswa berprestasi. Lalu lulus menjadi orang sukses atau kaya. Itu semua urusan Allah Swt.
Hanya satu yang selalu ibunya tekankan, jangan tinggalkan salat. Pesan itu terus dia terima dari zaman menjadi mahasiswa baru di Jogja hingga kini sudah bekerja.
“Dulu pesan itu kupegang betul. Aku nggak berani ninggal salat. Karena itu jadi pesan utama ibu,” ungkap Iqbal, Senin (21/7/2025) malam WIB.
Akan tetapi, keistikamahan Iqbal ternyata memiliki batas. Ketika memasuki semester 3, dia mengaku ketekunannya mengerjakan salat lima waktu mulai luntur. Lingkaran pertemenannya tidak menganggap salat sebagai sesuatu yang penting dan sakral.
Namun Iqbal menyadari, pengaruh teman bukan jadi faktor yang menentukan taat atau tidaknya dia dalam salat. Tapi dari dirinya sendiri.
“Sekarang juga makin jarang salat. Apalagi kalau sudah sibuk kerja, terus pas pulang juga sudah capek. Langsung tidur. Bangun sudah agak siang, nggak Subuhan,” ucapnya.
#2 Jadi mahasiswa harus belajar sungguh-sungguh (kuliah tenanan)
Sang ibu memang tidak menuntut Iqbal menjadi mahasiswa berprestasi. Akan tetapi, paling tidak, Iqbal kuliah dengan sungguh-sungguh.
Indikasinya adalah: Ya rajin mengikuti mata kuliah, tertib dengan aturan, dan syukur-syukur tidak mengabaikan tugas-tugas dari dosen.
Di semester 1-semester 2, Iqbal mengaku masih sanggup masuk kuliah secara penuh. Bahkan misalnya ada jam mata kuliah yang pagi-pagi sekali, setelat-telatnya Iqbal pasti akan tetap masuk kelas. Tugas dosen pun selalu tuntas tepat waktu.
“Tapi setelah sibuk organisasi, mulai suka bergadang, kuliah jadi sering terbengkalai. Sering bolos, mengulang banyak matkul, sampai lulus pun telat,” kata Iqbal.
Padahal, tak jarang pula—melalui pesan singkat maupun telepon-sang ibu berpesan agar Iqbal jangan bergadang. Jaga kesehatan dengan makan dan tidur yang cukup. Tapi pesan-pesan itu selalu seperti suara sepintas lalu. Masuk kuping kanan, langsung keluar kuping kiri.
#3 Jaga pergaulan sebagai anak perempuan yang merantau
Sama seperti Iqbal, Yuniar (24), bukan nama sebenarnya, mengaku mendapat pesan utama “Jangan tinggalkan salat” dari sang ibu saat dia hendak kuliah di Malang, Jawa Timur.
Rasa-rasanya, pesan itu memang menjadi pesan utama bagi setiap ibu Muslimah untuk anak-anaknya yang hendak merantau—entah untuk kuliah (menjadi mahasiswa) atau bekerja di daerah jauh.
Yuniar pun awalnya taat belaka. Sebab, salat lima waktu adalah nilai yang melekat dalam dirinya sejak kecil.
Akan tetapi, persinggungan dengan banyak cara pandang dan lingkaran sosial baru, baginya, sedikit banyak berpengaruh pada ketaatan yang meluntur seiring waktu.
“Pesan lain yang ibuku tekankan adalah jaga pergaulan. Karena aku perempuan. Jangan sampai terjerumus pada hal-hal yang dilarang agama. Yang ibuku sorot adalah pergaulan bebas: Zina,” kata Yuniar.
Yuniar mengaku pada akhirnya dia melanggar pantangan dari sang ibu tersebut. Dan pada awalnya dia menganggapnya sebagai kebebasan individu dari dogma dan konstruksi sosial yang mengikat.
#4 Jangan keluar malam, jangan ikut demo
Jika Iqbal dipesani ibunya agar tidak bergadang, sebagai anak perempuan, Yuniar mengaku mendapat pantangan lebih ketat lagi: Jangan keluar malam.
Di lingkungan desa Yuniar di Jawa Timur, norma sosial mengatur perempuan agar tidak keluar malam. Takutnya jadi sasaran kejahatan—misalnya pelecehan seksual.
Kerap kali selama merantau—menjadi mahasiswa di Malang—saat sedang keluar dan ibunya menelepon, biasanya pilihan Yuniar adalah berbohong.
“Kalau ditanya, lagi di mana? Ya kujawab lagi di kos. Padahal aslinya di luar. Kadang ya kujawab, lagi di luar cari makan, lapar. Habis itu pulang. Padahal aslinya sedang di kafe dan berpotensi pulang dini hari,” ungkap Yuniar.
Ibu Yuniar menghendaki Yuniar menjadi “perempuan baik-baik”. Menjaga dirinya dari larangan agama dan hukum sosial. Bahkan, jika sedang ada berita demo mahasiswa, ibu Yuniar akan langsung menelepon Yuniar: Memintanya tidak ikut-ikut. Sementara, saat mengangkat telepon itu, Yuniar sedang berada di tengah kerumunan massa.
“Dia cuma khawatir aku kenapa-kenapa. Karena demo identik dengan kerusuhan. Selain itu juga baginya nggak kodratnya saja perempuan ikut demo-demo. Tapi aku tetap ikut demo karena demi membela kepentingan publik,” ujar Yuniar.
Penyesalan abadi di kemudian hari (1)
Namun, baik Iqbal maupun Yuniar kini mengaku, kerap kali batin mereka dikungkung penyesalan karena mengabaikan pesan ibu.
“Tiap aku baca pesan jangan tinggalkan salat di WhatsApp, atau lihat ada orang salat jamaah di masjid, aku kadang nelangsa. Padahal ibuku nggak minta apa-apa, cuma minta aku salat. Tapi itu saja nggak kuturuti,” kata Iqbal.
Lebih dari itu, Iqbal menyadari bahwa di rumah, sang ibu selau khusyuk ibadah, yang di tengah-tengahnya terselip doa tulus untuk kemudahan hidup Iqbal. Sementara Iqbal malah tidak tahu diri. Jangankan salat, mendoakan ibunya saja nyaris tak pernah.
Iqbal meyakini, sebagian urusannya terasa mudah tidak lain berkat doa dari sang ibu. Sementara kondisi batinnya yang terus-menerus sumpek dan anxiety tidak lain adalah karena salatnya berantakan.
Oleh karena itu, dia pelan-pelan berupaya menaati pesan-pesan ibunya. Minimal dengan rajin salat waktu.
Penyesalan abadi di kemudian hari (2)
Sedangkan pergaulan bebas yang Yuniar jajaki atas nama kebebasan pada akhirnya membuatnya menyimpan sesal yang mengganggu.
“Kayak merasa murah banget jadi perempuan,” kata Yuniar.
Selain itu, Yuniar merasa, banyak laki-laki mendekatinya bukan tulus atas dasar cinta. Melainkan ada maunya. Ingin sekadar mendapatkan tubuh Yuniar. Kalau meminjam kalimat Yuniar sendiri, di mata banyak laki-laki, Yuniar diperebutkan bukan karena bak permata, tapi karena “murah” saja.
Iqbal dan Yuniar berpesan bagi setiap perantau—terutama para calon mahasiswa baru yang hendak merantau—agar tak mengabaikan sama sekali pesan-pesan orangtua. Apalagi jika pesannya baik. Mengabaikannya sama dengan memupuk penyesalan abadi di kemudian-kemudian-kemudian…hari.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Lulusan Universitas (Sarjana) Jadi Beban: Saat Kuliah Habiskan Biaya, Pas Lulus bikin Bapak Mumet Carikan Kerja, Simbol Gagal bagi Tetangga atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
