Pedagogi adalah kunci
“PPG dan S1 menurutku tetep beda sih, Mas.”
“S1 itu lebih banyak materi jurusan. Sedangkan pedagoginya nggak banyak. Kalau di PPG jelas fokus di pedagogi. Sinau ngajare luwih okeh lah. Kalau disamain, jelas nggak bisa dibilang sama.”
“Pun aku pernah dengar, agar guru sama dengan profesi yangg lainnya makanya dibuat profesi. Misal koyo perawat po dokter do jupuk profesi. Dosen pun seperti itu. Lalu, mereka punya sertifikat.”
Saya tak bisa mengelak tentang hal ini. sertifikat adalah kunci di masa kini. Bootcamp dan kelas-kelas bertumbuhan karena sertifikat pengakuan kemampuan ini benar-benar memudahkan orang cari kerja. Sebelum winter tech terjadi, semua orang berlomba-lomba menjadi QA, data analyst, dan programmer. Winter tech pun tak menyurutkan “penyembahan” pada sertifikat.
Hanya saja, jika sertifikasi dianggap kunci, lalu bagaimana nasib orang-orang yang kuliah S1 pendidikan, tapi tak punya kesempatan untuk PPG? Apakah ilmu yang mereka dapat, tak bisa dianggap cukup untuk modal mengajar?
Kuatkan dasarnya, bukan memberi tambahan
“Saya jawab nanti ya, Mas, setelah kuliah.”
Mbak Yusri meminta saya untuk menunggu dia selesai kuliah untuk menjawab pertanyaan saya. Dan sama seperti Arif, saya memilih untuk melakukan hal lain sembari menunggu. Beberapa jam kemudian, ponsel saya bergetar. Dari layar, terlihat bahwa Mbak Yusri sudah menjawab.
Pertanyaan saya ke Arif dan Mbak Yusri ini sama. Untuk perkara PPG sebagai syarat jadi ASN, keduanya punya pendapat yang terlihat sama. Tapi, Mbak Yusri langsung menyasar ke hal lain yang menurut saya esensial, yaitu basic alias S1-nya.
“Justru ini yang juga saya tanyakan kepada para pengambil kebijakan. Pada intinya kan ingin meningkatkan kualitas pembelajaran dengan meningkatkan kualitas guru, kenapa harus dengan PPG? Memangnya lulusan S1 pendidikan yang memang mencetak calon guru belum cukup berkualitas? Apa yang salah?”
“Saya sama sekali tidak mempermasalahkan jika PPG ditujukan untuk orang-orang dari nonpendidikan yang ingin jadi guru. Tapi jika semua disamaratakan, seolah tidak ada gunanya belajar ilmu pedagogi di S1 pendidikan. Kalo gitu, berarti mending S1 murni, jelas-jelas lebih mendalami materi.”
Ketika isu PPG pertama kali bergulir, kalau tak salah 2014, saya ingat betul resistensi mahasiswa pendidikan begitu besar. Amat besar, malah. Seingat saya, ada dialog antara petinggi kampus dengan mahasiswa-mahasiswa pendidikan yang resah dengan hal ini. suara mereka sama: kuliah pendidikan tapi nggak dianggap bisa ngajar, bagaimana bisa? Lalu untuk apa praktik mengajar, kuliah microteaching, serta magang mengajar di luar kampus?
Terlebih ketika jurusan murni punya kans yang sama untuk jadi guru. Tentu saja bagi mereka aneh. Sebagai mahasiswa jurusan murni, saat itu pun juga merasa aneh. Kalau mau jadi guru, ngapain sejak awal ngambil jurusan murni?
Memangnya PPG menjamin?
Jika memang lulusan S1 dianggap kurang mumpuni dalam mengajar, harusnya solusinya bukan bikin PPG. Tapi, perbaiki kualitas jurusan S1-nya. Mbak Yusri menekankan hal ini juga.
“Belum tau (apakah memperbaiki S1 akan lebih baik ketimbang PPG). Tapi memangnya PPG juga menjamin? Jujur, saya tidak yakin.
Setidaknya, dengan memperbaiki kualitas S1, tidak ada istilah ‘tidak berguna belajar ini itu’ dan lulusan-lulusannya bisa langsung bekerja dengan baik tanpa banyak ini dan itu.”
Khusus di bidang pendidikan matematika, tidak dapat dimungkiri banyak lulusan yang sudah menjadi guru tapi masih memiliki miskonsepsi tentang materi matematika itu sendiri. Ini berdampak pada ‘kesalahan’ yang jadi turun temurun. Jelas, seharusnya peran S1 pendidikan adalah menjadikan lulusannya setidaknya menguasai materi yang akan diajarkan nanti, nyatanya tidak.”
“Ah, intinya, kalo pertanyaannya, apakah kualitas S1 pendidikan harus diperbaiki, saya bisa langsung jawab, IYA, SANGAT HARUS.”
Lalu, perlukah PPG untuk CPNS?
Sebagai penutup, saya kembali ke pertanyaan awal yang jadi dasar kenapa liputan ini muncul: apakah bagi guru yang ingin daftar CPNS, wajib menjalani PPG dulu?
Bagi Arif, dia tetap pada pendapat awal. Semua bisa jadi ASN, semua bisa daftar CPNS, tapi habis itu baru wajib PPG.
“Ra bakal munafik aku mas, karena aku sudah punya serdik, tentu akan milih yang PPG jadi prioritas Jadi PNS, Mas. Tapi, kalau dari segi efektivitas, semua diberi kesempatan yang sama untuk jadi ASN, baru wajib PPG. Jadi nggak ada kesenjangan sosial saat tes ASN.”
Jawaban Mbak Yusri sudah jelas bisa kita tahu. Tapi, dia lebih detil memberi solusi, alih-alih mewajibkan PPG untuk guru.
“Untuk S1 Pendidikan, perbaiki kualitas sejak S1. ASN tidak perlu PPG, bootcamp/pelatihan saja untuk mensosialisasikan kurikulum mah. Untuk non-pendidikan, baru wajib PPG. Kalau udah jadi ASN, kalo masih perlu ada pelatihan, boleh.”
***
Agar guru bisa hidup sejahtera, tak bisa dimungkiri, jadi ASN adalah jawabannya. Tapi, jika aturan baru ini benar-benar berlaku, saya rasa, masalah kesejahteraan tidak akan segera selesai, karena segalanya jadi makin rumit. Untuk daftar CPNS yang belum tentu keterima aja, jadi lebih rumit.
Tapi ya, sejak kapan negara ini tidak bikin segala hal jadi rumit?
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Nasib Sarjana PPG yang Katanya Nggak Pintar-pintar Amat Saat Mengajar
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.