Jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih jadi dambaan banyak orang. Tapi tidak dengan Taufik dan Dedek, mereka memilih mundur sebagai abdi negara. Satunya memilih jualan lontong sayur, yang lainnya pilih jadi barista. Keduanya mengelola Lontong Malam Insomnia Medan.
***
Setelah lulus nanti, saya sering diwanti-wanti oleh keluarga untuk jadi PNS saja. Selain kehidupannya damai, keuangan terjamin, tentu akan dapat bonus dianggap sebagai calon menantu idaman.
Di Medan, saya berjumpa dengan Taufik, yang justru melepas pekerjaannya sebagai PNS. Ia banting stir jadi penjual lontong sayur yang cukup terkenal di Kota Medan.
Lontong Malam Insomnia, terletak di Jl. Abadi, menjadi salah satu dari sekian banyak warung yang menjajakan lontong malam di Medan. Berani mengusung konsep kafe sebagai andalannya, alhasil jadi tempat favorit kaum milenial untuk sekadar nongkrong, sekaligus makan berat.
Saya datang ke lokasi ketika menjelang sore di awal Desember 2021, tepatnya tanggal 4 di hari Sabtu. Suasananya masih sepi, hanya ada beberapa orang saja yang datang.
Saya duduk sambil clingak-clinguk. Rupanya tempat makan ini terbagi menjadi dua, yaitu outdoor dan indoor. Ada halaman rumah yang telah disulap sebagai taman kecil dengan meja kursi yang tertata rapi. Ada juga ruangan yang terletak di lantai dua tempat saya duduk, adem dan tenang.
Tak lama, seorang bergaya barista datang menghampiri, kami duduk berhadap- hadapan. Awalnya, saya pikir dia Muhammad Taufik Ginting (35), pemilik Lontong Malam Insomnia. Ternyata bukan, Taufik berhalangan hadir sore itu.
Mengenal lontong sayur Medan
“Medan itu unik ya, dia punya lontong malam. Pasti kalo di Jawa cuma lontong pagi aja, kan?” ucap laki-laki itu, umurnya sekitar 30-an. Dedek namanya. Ia adalah teman Taufik, sekaligus salah satu leader divisi di kafe ini.
“Sayurnya aja sih yang beda, kalo disini pake tauco dan pasti rasa sayurnya lebih pedas,” kata Dedek lagi.
Kedatangan pertama saya ke Lontong Malam Insomnia ini sekaligus menjadi hari pertama saya mencoba lontong di kota Medan. Lontong malam yang disajikan terdiri dari banyak variasi lauk, katanya yang paling best seller sih lauk rendang.
Kalau bicara soal harga, tergolong cukup terjangkau hanya dibanderol sekitar belasan hingga dua puluhan ribu rupiah saja. Kafe yang buka dari pukul 15.00 hingga 03.00 WIB ini juga memiliki kebijakan untuk mempersilahkan para pelanggan meminta ganti jika makanan yang disajikan kurang pedas, terlalu pedas, ataupun komplain rasa lainnya.
Kalau boleh me-review ala-ala food vlogger; dibandingkan dengan lontong sayur di Jawa, isi sayurnya hampir sama, jipang santan, dan bihun. Tapi bagi saya, rasa santannya lebih gurih dan rempahnya lebih terasa. Walaupun kalau orang Jawa bilang, agak nyegrak dikali pertama suap.
“Aku dulu juga mantan PNS loh, sekarang jadi barista,” perkataan Dedek membuyarkan lamunan saya.
Belasan tahun yang lalu, Dedek merantau di sebuah kabupaten sebelah. Ia indekos dengan harga standar pekerja. Singkat cerita, Taufik mendaftar sebagai calon PNS dan menumpang di kosan Dedek.
Ternyata, Taufik lolos seleksi dan resmi menjadi PNS di kantor yang sama dengan Dedek. Sejak itulah, mereka berdua menjadi kawan satu kos sekaligus rekan kerja. Sampai pada akhirnya setelah beberapa tahun menjadi pegawai, mereka berdua memiliki keinginan untuk berhenti. Alasannya, pandangan hidup.
“Aku bukan orang susah lah dulu kalo masalah duit,” Dedek nyengir. Keliling Indonesia pun ia nikmati karena jatah perjalanan dinas.
Pria yang dulu bekerja di bagian database itu menceritakan lika-liku berjuang bersama Taufik untuk berhenti menjadi pegawai. Katanya, mereka berdua sempat melarikan diri ke Medan hampir satu tahun, tidak mengindahkan jadwal kantor agar surat keputusan pengunduran dirinya cepat diproses. “Saking kami bareng-barengnya, sampe SK pengunduran diripun jadi satu!” katanya terkekeh.
Saat ditanya alasannya keluar, Dedek yang sudah tiga belas tahun menjadi PNS ini spontan mengeluarkan satu kata dengan yakin: hijrah.
“Apaya, yang jelas aku lebih suka pekerjaan sekarang. Enak ini!” katanya tertawa kecil.
Begitu resmi menjadi ‘pengangguran’, Dedek mulai menekuni hobinya, yaitu: kopi. Ketertarikannya itu langsung membuatnya berhasil mendapat sertifikasi pekerjaan barista. “Tesnya susah, bule semua yang nguji,” ujarnya.
Sempat memulai bisnis kopi sendiri, tapi akhirnya Dedek bergabung bersama Taufik yang saat itu sedang mengembangkan Lontong Malam Insomnia menjadi sebuah tempat makan sekaligus coffeeshop.
Keluar PNS dan numpang di kafe orang
Minggu (6/12/2021) saya bertemu Taufik di tempat yang sama. Berbeda dengan Dedek, ia baru sekitar tujuh tahun menjadi PNS, baru kemudian muncul keinginan untuk berhenti.
“Masalah prinsip, aku nggak cocok aja. Dan lebih suka bisnis gini karena jelas sumber duitku dari mana,” Taufik mulai bercerita. Saat memutuskan untuk berhenti menjadi abdi negara, Taufik hanya kepikiran untuk jadi ojol dengan bermodal motor yang telah ia punya.
“Jadi, waktu masih ngurus pengunduran diri, aku suka nongkrong di kafe yang namanya Insomnia,” ucap Taufik. Hampir setiap malam, ia ngobrol ngalor-ngidul bersama abang-abang pemilik kafe itu.
Suatu ketika, pemilik kafe nyeletuk, “Mertua abang kan jualan lontong. Suruh jualan aja di sini, kami gak punya menu makan berat,” kata Taufik meniru ucapan si pemilik tadi.
Setelah berkonsultasi dengan ibu mertuanya, Taufik langsung mengiyakan tawaran si pemilik kafe. Namun, ia berpikir biarkan ibu mertua dan adeknya saja yang menjalankan usaha ini. Toh, siapa tau ini jadi ladang rejeki buat mertua yang sebelumnya hanya berjualan lontong di sekitar komplek.
“Tapi ternyata susah, mungkin karena adek masih sibuk urusan sekolah ya,” kata Taufik. Tak lama, setelah dirinya sudah resmi berhenti menjadi pegawai, ia lah yang menggantikan adik dan ibu mertuanya untuk berjualan di kafe Insomnia.
Setiap sore, pria kelahiran Sumatra itu menyiapkan dagangan lontong sayur yang ia susun di etalase kaca. Tak banyak variasi, hanya telur yang menjadi pelengkap makanannya. Awal berjualan, dirinya hanya mampu menjual sepuluh porsi lontong sayur dalam satu hari.
“Pernah cuma laku lima porsi. Sayur kami masih banyak. Aku coba angetin tauco nya setiap 30 menit, biar bisa kujual buat sarapan. Eh paginya jam 7 ada orang mau beli malah basi,” kata Taufik.
Setelahnya, ia pulang ke rumah langsung mendapat amukan dari mertuanya. “Sayur semalem kok dijual pagi!” ucap mertuanya waktu itu
Berbekal optimis, Taufik tetap melanjutkan usahanya. Pelan-pelan tapi pasti, kafe tempatnya menumpang mulai ramai dan dagangannya laku. Dirinya pun berhasil membawa lontong malamnya merambah ke aplikasi online. Pria di hadapan saya tersenyum bangga. “Hampir tiap hari habis dan laris,” ucapnya.
Sekitar satu tahun kemudian ia pindah ke tempat baru dengan nama yang sama, Lontong Malam Insomnia. Namanya ia pakai atas perizinan si pemilik kafe. Tak besar, Lontong Malam Insomnia tetap memakai etalase kaca yang Taufik letakan pada teras rumah sewaannya. “Waktu itu cuma online dan bungkus, tapi sering ada orang minta makan di tempat,” ujar Taufik.
Suatu malam, Taufik duduk di kursi plastik sambil menunggu orderan masuk. Tiba- tiba segerombolan anak muda datang menghampiri etalasenya. “Bang, makan sini ya,” ucap seorang anak muda itu.
Taufik bingung karena tak punya kursi dan meja yang cukup. Sembari tetap menyiapkan beberapa piring pesanan, Taufik mengamati mereka sedang asyik duduk- duduk bersender di tembok, bahkan ada yang rela ngemper beralaskan sandal jepit masing-masing.
“Kukira mereka risih karena nggak ada tempat. Ternyata malah ketawa-ketawa aja. Dari situlah, aku mulai berusaha nambahin kursi meja dan lainnya,” ucap Taufik tersenyum lebar. Saat ini dirinya telah berhasil menyulap satu etalase kaca menjadi sebuah kafe yang memiliki pengikut sekitar tiga ribuan di Instagram.
Kegilaan tentang daun pisang yang dicuci
“Kau pernah makan pake daun pisang?” Taufik melontarkan sebuah pertanyaan. Saya mengangguk.
“Pernah di cuci?” tanyanya lagi.
Saya menggeleng ragu. “Hm.. mungkin dilap aja?”
Pria itu langsung mengacungkan jari telunjuknya ke saya. “Itulah kenapa satu Medan bilang aku gila! Aku cuci pake sabun semua daun pisangku,” tentunya dengan sabun food grade.
Mungkin bagi sebagian orang, hal ini nampak sepele. Namun, menurut Taufik justru inilah bagian yang terpenting dibandingkan soal cita rasa. “Kalau ada pembeli yang komplain soal kurang asin, pedes..gampang, tinggal bawain aja garam dan sambel. Nah, kalo ada yang komplain ada ulat atau putih- putih di daun? Malu lah kita, dek!” ujar Taufik.
Sebenarnya, dulu Taufik sama seperti yang lain. Ia hanya membersihkan daun pisang yang didapat dari pengepul dengan sebuah kain, lalu langsung menggunakannya. Namun lama-kelamaan, Taufik perhatikan kain yang ia gunakan cepat menguning. Palingan baru sepuluh kali dipakai membersihkan daun, warna kain langsung berubah
“Aku cuci kainnya, terus ku pake lagi. Lah kok, kuning lagi,” raut wajah Taufik berubah serius. “Pasti banyak kumannya itu. Jorok kali,” ia melanjutkan. Hal paling logis yang menjadi alasan Taufik lainnya adalah kisah perjalanan daun pisang.
Mantan PNS ini bercerita, mula-mula, ada seseorang yang pergi ke ladang untuk memanen hasil tanamannya, salah satunya daun pisang. Ia hanya membawa alat sederhana, paling-paling pisau atau arit. Terkadang ada yang membawa karung, tapi tak sedikit juga yang hanya mengandalkan punggung dan bahu –penuh keringat- sebagai penopang hasil panen.
Satu persatu daun mulai diambil, seseorang itu meletakannya di tanah untuk dikumpulkan terlebih dahulu. Jika sudah lumayan banyak, barulah daun-daun itu dibawa ke gubug atau bisa dimasukan ke karung -yang sudah berkali kali dipakai- agar lebih mudah membawanya.
“Itu masih dari kebun, loh. Kita nggak tau ada apa aja di tanahnya, mungkin kotoran ayam, kencing anjing?” ucap Taufik di sela- sela ceritanya.
“Intinya, entah apa aja yang menempel di daun itu. Siapa tau si petaninya punya hewan yang kencing di mana-mana? Apalagi kalau masuk pasar, udah berapa banyak tangan yang nyentuh-nyentuh daun pisang itu,” panjang lebar Taufik menjelaskan. Saya mengagguk- angguk.
“Jangan bodoh, lah. Kalo keterusan bisa jadi penyakit, sayangi diri sendiri lah kau ini!” logat Bataknya mulai keluar.
Reporter : Rahma Ayu Nabila
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Mencicipi Gudeg Jogja di Medan yang Diracik Orang Batak Karo dan liputan menarik lainnya di Susul.