Ketawa karier di kantor memang bikin mental lelah. Namun, tidak tertawa, sama dengan cari masalah. Pura-pura bahagia di tempat kerja sudah seperti “mekanisme bertahan hidup”.
***
Banyak pekerja tertawa keras dan lepas saat sedang berada di kantor. Padahal, malam sebelumnya, ia menangis sampai pukul tiga pagi karena merasa hidupnya tak ke mana-mana.
Hal ini dialami Aya (28), staf pemasaran sebuah perusahaan teknologi finansial di Jakarta. Nyaris tiap pagi, ia masuk kantor dengan wajah cerah, segar, seolah semalam hanya dihabiskan untuk istirahat.
Ketika bosnya melempar “semangat pagi” dalam sebuah rapat, Aya adalah orang yang teriak “pagi, pagi, pagi” paling kencang. Saat bosnya melempar jokes garing, ia menjadi orang yang tertawa paling lantang, seolah itu guyonan lucu yang berhasil mengocok perutnya.
“Tertawa respek lah,” ujarnya, Rabu (26/11/2025) siang. “Kalau saya tidak ikut tertawa, takut dianggap tidak kompak. Di kantor, membangun kesan, terutama ke atasan itu penting. Tapi ini bukan berarti menjilat.”
Cerita senada datang dari Ricardo (25), karyawan agensi kreatif yang berbasis di Jakarta. Ia mengaku, selama ini dirinya dikenal sebagai “mood booster” di kantor. Stok humornya nggak habis-habis. Ia juga menjadi orang yang paling rajin mengirim meme lucu ke grup kantor, semata-mata untuk mencairkan suasana.
Namun, tidak banyak yang tahu bahwa setelah sukses mengocok perut rekan kerjanya, ia kerap pergi ke parkiran, membeli segelas kopi di warung dekat kantornya, dan merokok sambil bengong.
“Kadang ngelamun aja sambil mikir, ‘gini amat hidup’, nyari duit kudu pura-pura bahagia,” kisahnya, saat dihubungi Mojok, Selasa (25/11/2025) malam.
Bulan lalu, Ricardo pernah tiga hari tidak ngantor karena sakit. Sebelumnya, ia pingsan di parkiran setelah dua hari begadang mengerjakan sebuah pitch deck. Sekembalinya ke kantor, bukan support, yang ia sambut adalah pekerjaan lain dan humor garing dari sang bos.
“Dia bilang, ‘Kalau kamu sakit sehari lagi, bisa bangkrut kantor kita’ sambil ngasih setumpuk kertas yang kudu ia kerjakan hari itu juga,” ujarnya.
“Namanya bawahan, ya saya tertawa aja waktu itu.”
Tertawa karier = emotional labor
Di kantor, tawa para pekerja memang terdengar seperti kebahagiaan. Namun, bagi orang-orang seperti Aya dan Ricardo, tawa justru berubah menjadi mekanisme penyamaran paling rapi. Bahasa kekiniannya adalah “ketawa karier” atau dalam psikologi disebut emotional labor.
Bagi mereka berdua, tawa bukan lagi ekspresi spontan, melainkan “strategi bertahan hidup”. Ia jadi mekanisme menyembunyikan kelelahan dan kesedihan yang tidak boleh terlihat di lingkungan profesional.
Ketawa karier (atau tertawa karier) adalah seni memainkan peran. Mereka pura-pura baik-baik saja meski hati rapuh, tersenyum meski sedang tertekan, dan tetap tampil chill meski jiwanya sedang misuh-misuh.
Aya sendiri mengakui bahwa ia takut dianggap tidak cukup kuat jika menunjukkan emosinya.
“Di kantor, menjadi lelah itu dianggap lemah. Saya tidak mau terlihat seperti tidak bisa handle tekanan,” katanya. “Kami dituntut adaptif, gesit, tahan banting, jadi ya tawa menjadi cara menunjukkan kalau aku masih dapat diandalkan.”
Begitu juga dengan Ricardo. Bagi pekerja di industri kreatif, citra diri adalah modal.
“Makanya ya saya harus terlihat fun, supel, easy-going,” ujarnya. “Kalau saya mengeluh atau diam, orang akan tanya-tanya. Dan itu lebih melelahkan.”
Selain itu, bagi Ricardo, ketawa karier juga menjadi pelindung terhadap relasi kuasa. Ketika atasan melempar lelucon yang tidak lucu, atau ketika rapat memanjang tanpa arah, satu-satunya reaksi aman adalah tertawa dan mengangguk.
Tidak tertawa, berarti mengambil risiko dinilai tidak kooperatif, tidak suportif, atau bahkan dianggap ancaman. Di ruang rapat, tawa bukan sekadar tawa, ia adalah “bahasa kepatuhan”.
“Semua orang tahu itu jokes yang dipaksakan. Tapi tidak ada yang berani tidak ikut tertawa.”
Pura-pura bahagia di kantor itu bikin lelah mental
Fenomena ketawa karier semakin mencuat seiring dengan meningkatnya tekanan psikologis di dunia kerja modern. Sebuah riset terbaru di restoran-restoran Kota Denpasar, Bali, berjudul “The Impact of Emotional Labor and Workplace Incivility on Psychological Well-Being in Restaurants in Denpasar City with Burnout as a Mediating Variable” menyisir realitas yang dialami para pekerjanya.
Dalam penelitian tersebut, responden yang terdiri dari 180 pekerja, menjawab kuesioner tentang seberapa sering mereka harus “menjaga ekspresi”, seperti tersenyum tertawa, ramah, atau ceria saat bekerja; serta apakah mereka pernah menghadapi sikap tidak sopan dari pelanggan, rekan kerja, atau atasan.
Hasilnya, ternyata menunjukkan sesuatu yang tak sederhana. Untuk sebagian kecil responden, ditemukan bahwa tuntutan menjaga ekspresi (emotional labor) dalam konteks Bali ternyata berhubungan positif dengan kesejahteraan psikologis.
“Ini mungkin terkait dengan nilai budaya lokal,” ungkap I Made Aryan Satriya Wibawa, penulis riset tersebut, dikutip Rabu (26/11/2025).
“Dan, bisa juga diartikan ketika pekerja internalisasi makna bahwa melayani dengan senyum adalah bagian dari profesinya, regulasi emosi itu memberi rasa identitas dan kebanggaan,” imbuhnya.
Namun, riset itu juga mencatat efek negatif ketika di dalam lingkungan kerja ada perlakuan tidak sopan, kasar, atau tidak respek (workplace incivility). Menurut Made, incivility ini terbukti secara statistik meningkatkan risiko burnout para pekerja.
Lebih lanjut, model analisis yang ia bikin juga menunjukkan bahwa kombinasi emotional labor dengan incivility secara signifikan terbukti menurunkan kesejahteraan psikologis pekerja. Dengan kata lain, senyum dan keramahan sebagai bagian kerja bisa jadi beban tambahan, terutama jika disertai lingkungan kerja yang menekan, kasar, atau tidak suportif.
Riset ini menyimpulkan, bahwa dalam konteks pekerja jasa layanan seperti restoran di Denpasar, regulasi emosi dan “pura-pura ceria” mungkin sesekali terasa wajar. Namun, jika terus dipaksakan, terutama dalam lingkungan yang tidak sehat, konsekuensinya bisa sangat berat bagi mental pekerja.
Temuan serupa, dengan cakupan lebih luas, sebelumnya juga pernah dikemukakan oleh para peneliti dari Yonsei University College of Medicine, Korea. Melalui riset berjudul “Emotional Labor and Burnout: A Review of the Literature” (2018), ditemukan bahwa pura-pura bahagia di tempat kerja merupakan stresor pekerjaan yang signifikan dan sering berujung pada burnout, kelelahan emosional, dan stres psikologis.
“Terutama sekali ketika dilakukan terus-menerus dan dalam pekerjaan yang menuntut interaksi intensif dengan klien, pelanggan atau atasan,” tulis laporan yang terbit di Yonsei Medical Journal (YMJ) tersebut.
Para peneliti juga menjelaskan, tidak semua orang merespons emotional labor dengan cara sama. Ada faktor-faktor seperti kepercayaan diri (self-efficacy), kepribadian, hingga kapasitas individu dalam mengelola stres–mempengaruhi seberapa besar dampak negatif dari pura-pura bahagia di tempat kerja itu. Artinya, meskipun emotional labor berpotensi memicu burnout, hasilnya tergantung pada kekuatan mental dan dukungan lingkungan kerja masing-masing.
Penelitian ini penting karena menawarkan kerangka teoretis, bahwa tertawa karier yang selama ini kita lihat sebagai hal lazim, bukan sekadar soal “attitude” atau “budaya kantor”, melainkan bisa dikategori sebagai beban pekerjaan emosional, dengan konsekuensi nyata bagi kesehatan mental.
Jika dikelola buruk–tanpa dukungan, tanpa lingkungan kerja yang sehat–konsekuensinya bisa berupa kelelahan emosional, stres, keengganan terhadap pekerjaan, hingga “kerusakan” psikologis.
Memilih stres kerja daripada stres tidak kerja
Kelelahan emosional, yang dipaparkan dalam berbagai riset tentang emotional labor dan burnout, betul-betul dirasakan Aya dan Ricardo. Aya, misalnya, mengaku mulai mengalami gangguan tidur berbulan-bulan terakhir.
Tubuhnya baru bisa benar-benar terlelap setelah menelan obat penenang, yang awalnya ia dapatkan dari resep dokter ketika mengalami serangan panik pertamanya.
“Kalau nggak pakai itu, kepala rasanya penuh suara dan nggak bisa berhenti,” katanya. Ia tahu obat itu bukan solusi, tapi ia juga tidak melihat ada ruang aman di kantornya untuk bicara jujur tanpa dicap lemah.
Sementara Ricardo merespons ketegangan itu dengan cara yang jauh berbeda. Alih-alih tenggelam dalam keheningan seperti Aya, ia mencoba menciptakan jarak emosional terhadap pekerjaannya lewat humor gelap.
Di grup kecil rekan kerja yang ia percaya, ia sering melemparkan candaan satir tentang kantor: tentang target yang selalu naik, rapat yang tidak pernah selesai, dan budaya “positif harus 24/7.”
“Ngetawain kantor bareng-bareng, dengan guyon paling liar,” ujarnya. “Kalau nggak diketawain bikin stres, tapi kalau humornya bocor, ya kita bakalan habis.”
Meski begitu, baik Aya maupun Ricardo tahu bahwa cara mereka bertahan bukanlah jalan keluar. Mereka sama-sama paham bahwa senyum profesional yang mereka pakai setiap hari adalah bentuk masking yang memakan banyak tenaga. Namun, dalam dunia kerja yang mengukur nilai manusia dari performa dan keceriaan, berhenti tertawa bukanlah pilihan yang aman.
Mengeluh bisa berarti disisihkan. Terlihat lemah bisa berarti kehilangan kesempatan. Terlihat tidak bahagia bisa berarti tidak cocok dengan budaya kantor.
Karena itu, sampai sekarang, mereka tetap tertawa. Bukan karena hidup mereka sedang baik-baik saja, melainkan karena itulah cara paling realistis untuk bertahan.
“Mending capek pura-pura bahagia daripada nggak punya penghasilan. Lebih baik stres karena kerja daripada stres karena nggak kerja,” pungkas Ricardo, menutup obrolan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Anak Muda Tidak Lemah, Masa Depan yang Tak Terlalu Ramah atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












