Pemerintah berencana menghidupkan kembali Pam Swakarsa di tengah gelombang demonstrasi besar-besaran. Tukang gebuk bayaran tentara ini bertanggung jawab atas serangkaian pelanggaran HAM 1998, termasuk Tragedi Semanggi I dan II.
***
Pada November 1998, di tengah gelombang euforia dan ketidakpastian yang menyelimuti Jakarta, sebuah fenomena anomali muncul di jalanan ibu kota.
Di satu sisi, ribuan mahasiswa dan rakyat berkumpul di depan Gedung MPR/DPR, menuntut reformasi total. Di sisi yang berseberangan, sebuah pasukan baru yang tak dikenal, tiba-tiba mengepung kawasan itu.
Menukil Laporan Majalah Tempo edisi 14 November 1998, pasukan tersebut berseragam seadanya. Ada juga yang berbaju ormas, meski sebagian besar berpakaian sipil biasa dan terkesan lusuh. Yang jelas, pasukan ini membawa bambu runcing, seperti tengah bersiap untuk perang.
Mereka adalah Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa, atau Pam Swakarsa. Kedatangan mereka ke kala itu untuk mengamankan Sidang Istimewa MPR 10-13 November 1998.
Kalau kata Kivlan Zen dalam Kivlan Zen: Personal Memoranda, dari Fitnah ke Fitnah (2020), Panglima ABRI saat itu, Wiranto, memerintahkannya untuk membentuk Pam Swakarsa. Sebab, ABRI sudah tidak berani berhadapan dengan massa sipil setelah Tragedi Trisakti enam bulan sebelumnya.
“Apabila pam swakarsa tidak mampu menghadapi massa, maka Polda dan TNI maju ke depan dan pam swakarsa mundur ke belakang,” tulis Kivlan, dikutip Jumat (5/9/2025).
Riwayat Pam Swakarsa sendiri mati bersamaan dengan reformasi di tubuh ABRI. Sialnya, lebih dari dua dekade kemudian, satuan tukang gebuk itu malah akan dihidupkan lagi. Demonstrasi besar-besaran yang terjadi belakangan ini, membuat pemerintah berpikir Pam Swakarsa adalah solusi agar situasi kembali kondusif.
Padahal, kalau membaca lembaran sejarah, Pam Swakarsa bertanggungjawab atas serangkaian pelanggaran HAM sepanjang 1998. Termasuk Tragedi Semanggi I dan II yang menewaskan 29 orang dan ratusan lainnya luka-luka.
Milisi rekayasa bikinan tentara
Meskipun anggotanya adalah warga sipil, sejarawan sekaligus guru besar ilmu politik University of Alabama, John M. MacDougall, menyebut bahwa Pam Swakarsa bukanlah inisiatif murni dari rakyat. Melalui risetnya yang berjudul “Self-reliant Militias“, ia menjelaskan kalau kelompok itu adalah “milisi rekayasa” (engineered militia) yang lahir dari dapur kekuasaan—bukan dari kegelisahan masyarakat yang ingin mengamankan lingkungannya.
“Kelompok ini sengaja dibentuk dan didanai oleh unsur-unsur di militer untuk tujuan politik, yakni membendung demonstrasi mahasiswa yang menuntut reformasi dan menolak Sidang Istimewa MPR,” paparnya.
MacDougall menegaskan, kelompok ini adalah “milisi bayaran”. Anggotanya direkrut dari berbagai organisasi massa yang pro-rezim dengan imbalan uang, makanan, dan akomodasi.
Detail tentang pendanaan ini sempat mengemuka dalam kasus gugatan mantan Kepala Staf Kostrad Kivlan Zen kepada Wiranto, yang saat itu menjabat Panglima ABRI. Kivlan Zen mengklaim telah menerima dana hingga Rp400 juta untuk mengerahkan 30.000 anggota Pam Swakarsa.
Pengakuan ini menyibak sebuah fakta yang secara gamblang menunjukkan adanya keterlibatan dan kucuran dana dari elite militer.
Berbeda dengan sistem keamanan lingkungan tradisional seperti ronda yang didasari partisipasi sukarela, menurut MacDougall, Pam Swakarsa adalah alat politik yang diposisikan sebagai “tameng hidup” di garis depan.
Kehadiran mereka di jalanan, lengkap dengan bambu runcing, adalah simbol dari kekuasaan yang sedang terdesak, mencoba memproyeksikan kekuatan tanpa harus mengerahkan tentara secara langsung.
Pam Swakarsa dan detik-detik tragedi berdarah di Semanggi
Peran Pam Swakarsa sebagai tukang gebung bayaran tentara mencapai puncaknya pada Tragedi Semanggi I, 13 November 1998. Di Jalan Jenderal Sudirman, puluhan ribu mahasiswa yang hendak menuju Gedung MPR/DPR dihadang oleh barisan aparat keamanan.
Namun, di barisan terdepan, bukan hanya aparat yang mereka temui, melainkan juga Pam Swakarsa bersenjata bambu runcing.
Laporan media saat itu, seperti yang dikutip oleh Kompas, menggambarkan bagaimana kelompok ini diposisikan untuk berhadapan langsung dengan demonstran. Mereka menantang, meneriakkan yel-yel, dan memprovokasi mahasiswa. Alhasil, kekacauan pun tak terhindarkan.
Bentrokan fisik pecah, dengan Pam Swakarsa menyerang mahasiswa menggunakan bambu runcing dan senjata tajam. Ketegangan memuncak saat tembakan dari aparat keamanan dilepaskan ke arah massa. Akibatnya, puluhan orang terluka dan beberapa mahasiswa serta warga sipil tewas.
Menurut MacDougall, peristiwa ini secara telanjang menunjukkan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Pam Swakarsa bukanlah tindakan kriminal biasa, melainkan “main hakim sendiri yang dilindungi” (vigilantism with protection). Kekerasan sipil ini dibiarkan, bahkan didukung, oleh aparat negara untuk membungkam gerakan rakyatnya.
Perpanjangan tangan kekuasaan
Tak sampai di situ, keterlibatan Pam Swakarsa dengan kekuasaan negara ternyata jauh lebih kompleks. Lebih dari sekadar tukang gebuk bayaran tentara.
Antropolog dan peneliti senior di Chr. Michelsen Institute, Norwegia, Kari Telle, mengamati fenomena serupa di Lombok. Dalam risetnya berjudul “Vigilante Citizenship: Sovereign Practices and the Politics of Insult in Indonesia” (2013), ia berpendapat bahwa kelompok keamanan sipil seperti Pam Swakarsa tidak beroperasi di luar negara. Sebaliknya, mereka menjalin hubungan “kesetiakawanan” (convivialitas) dengan pejabat negara dan polisi—berfungsi sebagai “bentuk tambahan kekuasaan negara yang dikontrakkan”.
Telle menyebut, Pam Swakarsa berperan sebagai “warga negara vigilante” yang mengisi kekosongan negara. Mereka membenarkan tindakan mereka dengan dalih ketidakmampuan aparat negara dalam menjaga ketertiban.
Telle memberikan contoh kasus pembangunan pura Hindu di Lombok Utara yang gagal karena kampanye intimidasi dari kelompok Pam Swakarsa. Ancaman kekerasan dari kelompok ini berhasil membuat pejabat negara menyerah dan mengorbankan hak-hak minoritas demi menjaga stabilitas yang semu.
Di mata Telle, kekuatan kelompok ini berasal dari dua sumber: potensi kekerasan dan kemampuan mereka untuk “bertindak” laiknya lembaga resmi—lengkap dengan seragam, cap, dan surat, persis seperti birokrasi negara untuk mendapatkan legitimasi.
Sialnya, pola ini juga terjadi di berbagai daerah. Pam Swakarsa menjadi tukang gebuk yang bebas melakukan kekerasan dengan dalih kondusivitas. Yang epik adalah, mereka bebas melakukan tindakan semau mereka karena merasa kebal hukum.
Pam Swakarsa memang mati, tapi jadi warisan yang terus menghantui
Pasca-Reformasi, lanskap militansi sipil di Indonesia tidak surut, melainkan mengalami evolusi. Noorhaidi Hasan, dalam bukunya Laskar Jihad: Islam, Militancy and The Quest For Identity In Post-New Order Indonesia (2006), menunjukkan bagaimana militansi keagamaan yang muncul di era transisi sering kali berakar dari kekecewaan politik dan pencarian identitas.
Meskipun berbeda konteks, baik Pam Swakarsa maupun Laskar Jihad memiliki benang merah: keduanya adalah milisi yang muncul di tengah ketidakstabilan politik dan berujung pada kekerasan horizontal.
“Keduanya menunjukkan bagaimana kekuasaan di luar negara bisa muncul, beroperasi, dan bahkan berkolaborasi dengan elemen-elemen di dalam negara,” tulisnya.
Pada akhirnya, mempelajari Pam Swakarsa adalah pelajaran tentang risiko-risiko di balik delegasi kekuasaan. Ia adalah sebuah peringatan bahwa keamanan tidak boleh menjadi alasan untuk mengorbankan hak-hak sipil.
Kelompok-kelompok yang beroperasi di luar ranah hukum formal, terlepas dari niatnya, memiliki potensi besar untuk disalahgunakan dan mengikis fondasi demokrasi.
Pam Swakarsa adalah simbol dari warisan kelam Orde Baru yang terus menghantui. Ia adalah bukti bahwa reformasi tidak terjadi dalam satu malam, dan bahwa ancaman terhadap demokrasi bisa datang dari arah yang paling tidak terduga: dari dalam, dengan seragam dan slogan yang mengatasnamakan ketertiban.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Belajar dari Sejarah: Darurat Militer Cuma Bikin Negara Menjadi Neraka, Rakyat Makin Menderita atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












