Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Mendalam

Riwayat Pam Swakarsa, Tukang Gebuk Bayaran Tentara yang Berupaya Dihidupkan Kembali. Ancaman Serius bagi Demokrasi

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
5 September 2025
A A
pam swakarsa, militer.MOJOK.CO

Ilustrasi - Riwayat Pam Swakarsa, Tukang Gebuk Bayaran Tentara yang Berupaya Dihidupkan Kembali. Ancaman Serius bagi Demokrasi (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Pemerintah berencana menghidupkan kembali Pam Swakarsa di tengah gelombang demonstrasi besar-besaran. Tukang gebuk bayaran tentara ini bertanggung jawab atas serangkaian pelanggaran HAM 1998, termasuk Tragedi Semanggi I dan II.

***

Pada November 1998, di tengah gelombang euforia dan ketidakpastian yang menyelimuti Jakarta, sebuah fenomena anomali muncul di jalanan ibu kota. 

Di satu sisi, ribuan mahasiswa dan rakyat berkumpul di depan Gedung MPR/DPR, menuntut reformasi total. Di sisi yang berseberangan, sebuah pasukan baru yang tak dikenal, tiba-tiba mengepung kawasan itu. 

Menukil Laporan Majalah Tempo edisi 14 November 1998, pasukan tersebut berseragam seadanya. Ada juga yang berbaju ormas, meski sebagian besar berpakaian sipil biasa dan terkesan lusuh. Yang jelas, pasukan ini membawa bambu runcing, seperti tengah bersiap untuk perang. 

Mereka adalah Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa, atau Pam Swakarsa. Kedatangan mereka ke kala itu untuk mengamankan Sidang Istimewa MPR 10-13 November 1998. 

Kalau kata Kivlan Zen dalam Kivlan Zen: Personal Memoranda, dari Fitnah ke Fitnah (2020), Panglima ABRI saat itu, Wiranto, memerintahkannya untuk membentuk Pam Swakarsa. Sebab, ABRI sudah tidak berani berhadapan dengan massa sipil setelah Tragedi Trisakti enam bulan sebelumnya.

“Apabila pam swakarsa tidak mampu menghadapi massa, maka Polda dan TNI maju ke depan dan pam swakarsa mundur ke belakang,” tulis Kivlan, dikutip Jumat (5/9/2025).

Riwayat Pam Swakarsa sendiri mati bersamaan dengan reformasi di tubuh ABRI. Sialnya, lebih dari dua dekade kemudian, satuan tukang gebuk itu malah akan dihidupkan lagi. Demonstrasi besar-besaran yang terjadi belakangan ini, membuat pemerintah berpikir Pam Swakarsa adalah solusi agar situasi kembali kondusif.

Padahal, kalau membaca lembaran sejarah, Pam Swakarsa bertanggungjawab atas serangkaian pelanggaran HAM sepanjang 1998. Termasuk Tragedi Semanggi I dan II yang menewaskan 29 orang dan ratusan lainnya luka-luka.

Milisi rekayasa bikinan tentara

Meskipun anggotanya adalah warga sipil, sejarawan sekaligus guru besar ilmu politik University of Alabama, John M. MacDougall, menyebut bahwa Pam Swakarsa bukanlah inisiatif murni dari rakyat. Melalui risetnya yang berjudul “Self-reliant Militias“, ia menjelaskan kalau kelompok itu adalah “milisi rekayasa” (engineered militia) yang lahir dari dapur kekuasaan—bukan dari kegelisahan masyarakat yang ingin mengamankan lingkungannya. 

“Kelompok ini sengaja dibentuk dan didanai oleh unsur-unsur di militer untuk tujuan politik, yakni membendung demonstrasi mahasiswa yang menuntut reformasi dan menolak Sidang Istimewa MPR,” paparnya.

MacDougall menegaskan, kelompok ini adalah “milisi bayaran”. Anggotanya direkrut dari berbagai organisasi massa yang pro-rezim dengan imbalan uang, makanan, dan akomodasi. 

Detail tentang pendanaan ini sempat mengemuka dalam kasus gugatan mantan Kepala Staf Kostrad Kivlan Zen kepada Wiranto, yang saat itu menjabat Panglima ABRI. Kivlan Zen mengklaim telah menerima dana hingga Rp400 juta untuk mengerahkan 30.000 anggota Pam Swakarsa.

Iklan

Pengakuan ini menyibak sebuah fakta yang secara gamblang menunjukkan adanya keterlibatan dan kucuran dana dari elite militer.

Berbeda dengan sistem keamanan lingkungan tradisional seperti ronda yang didasari partisipasi sukarela, menurut MacDougall, Pam Swakarsa adalah alat politik yang diposisikan sebagai “tameng hidup” di garis depan. 

Kehadiran mereka di jalanan, lengkap dengan bambu runcing, adalah simbol dari kekuasaan yang sedang terdesak, mencoba memproyeksikan kekuatan tanpa harus mengerahkan tentara secara langsung.

Pam Swakarsa dan detik-detik tragedi berdarah di Semanggi

Peran Pam Swakarsa sebagai tukang gebung bayaran tentara mencapai puncaknya pada Tragedi Semanggi I, 13 November 1998. Di Jalan Jenderal Sudirman, puluhan ribu mahasiswa yang hendak menuju Gedung MPR/DPR dihadang oleh barisan aparat keamanan. 

Namun, di barisan terdepan, bukan hanya aparat yang mereka temui, melainkan juga Pam Swakarsa bersenjata bambu runcing.

Laporan media saat itu, seperti yang dikutip oleh Kompas, menggambarkan bagaimana kelompok ini diposisikan untuk berhadapan langsung dengan demonstran. Mereka menantang, meneriakkan yel-yel, dan memprovokasi mahasiswa. Alhasil, kekacauan pun tak terhindarkan. 

Bentrokan fisik pecah, dengan Pam Swakarsa menyerang mahasiswa menggunakan bambu runcing dan senjata tajam. Ketegangan memuncak saat tembakan dari aparat keamanan dilepaskan ke arah massa. Akibatnya, puluhan orang terluka dan beberapa mahasiswa serta warga sipil tewas.

Menurut MacDougall, peristiwa ini secara telanjang menunjukkan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Pam Swakarsa bukanlah tindakan kriminal biasa, melainkan “main hakim sendiri yang dilindungi” (vigilantism with protection). Kekerasan sipil ini dibiarkan, bahkan didukung, oleh aparat negara untuk membungkam gerakan rakyatnya.

Perpanjangan tangan kekuasaan

Tak sampai di situ, keterlibatan Pam Swakarsa dengan kekuasaan negara ternyata jauh lebih kompleks. Lebih dari sekadar tukang gebuk bayaran tentara.

Antropolog dan peneliti senior di Chr. Michelsen Institute, Norwegia, Kari Telle, mengamati fenomena serupa di Lombok. Dalam risetnya berjudul “Vigilante Citizenship: Sovereign Practices and the Politics of Insult in Indonesia” (2013), ia berpendapat bahwa kelompok keamanan sipil seperti Pam Swakarsa tidak beroperasi di luar negara. Sebaliknya, mereka menjalin hubungan “kesetiakawanan” (convivialitas) dengan pejabat negara dan polisi—berfungsi sebagai “bentuk tambahan kekuasaan negara yang dikontrakkan”.

Telle menyebut, Pam Swakarsa berperan sebagai “warga negara vigilante” yang mengisi kekosongan negara. Mereka membenarkan tindakan mereka dengan dalih ketidakmampuan aparat negara dalam menjaga ketertiban. 

Telle memberikan contoh kasus pembangunan pura Hindu di Lombok Utara yang gagal karena kampanye intimidasi dari kelompok Pam Swakarsa. Ancaman kekerasan dari kelompok ini berhasil membuat pejabat negara menyerah dan mengorbankan hak-hak minoritas demi menjaga stabilitas yang semu. 

Di mata Telle, kekuatan kelompok ini berasal dari dua sumber: potensi kekerasan dan kemampuan mereka untuk “bertindak” laiknya lembaga resmi—lengkap dengan seragam, cap, dan surat, persis seperti birokrasi negara untuk mendapatkan legitimasi.

Sialnya, pola ini juga terjadi di berbagai daerah. Pam Swakarsa menjadi tukang gebuk yang bebas melakukan kekerasan dengan dalih kondusivitas. Yang epik adalah, mereka bebas melakukan tindakan semau mereka karena merasa kebal hukum.

Pam Swakarsa memang mati, tapi jadi warisan yang terus menghantui

Pasca-Reformasi, lanskap militansi sipil di Indonesia tidak surut, melainkan mengalami evolusi. Noorhaidi Hasan, dalam bukunya Laskar Jihad: Islam, Militancy and The Quest For Identity In Post-New Order Indonesia (2006), menunjukkan bagaimana militansi keagamaan yang muncul di era transisi sering kali berakar dari kekecewaan politik dan pencarian identitas. 

Meskipun berbeda konteks, baik Pam Swakarsa maupun Laskar Jihad memiliki benang merah: keduanya adalah milisi yang muncul di tengah ketidakstabilan politik dan berujung pada kekerasan horizontal.

“Keduanya menunjukkan bagaimana kekuasaan di luar negara bisa muncul, beroperasi, dan bahkan berkolaborasi dengan elemen-elemen di dalam negara,” tulisnya.

Pada akhirnya, mempelajari Pam Swakarsa adalah pelajaran tentang risiko-risiko di balik delegasi kekuasaan. Ia adalah sebuah peringatan bahwa keamanan tidak boleh menjadi alasan untuk mengorbankan hak-hak sipil. 

Kelompok-kelompok yang beroperasi di luar ranah hukum formal, terlepas dari niatnya, memiliki potensi besar untuk disalahgunakan dan mengikis fondasi demokrasi. 

Pam Swakarsa adalah simbol dari warisan kelam Orde Baru yang terus menghantui. Ia adalah bukti bahwa reformasi tidak terjadi dalam satu malam, dan bahwa ancaman terhadap demokrasi bisa datang dari arah yang paling tidak terduga: dari dalam, dengan seragam dan slogan yang mengatasnamakan ketertiban.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Belajar dari Sejarah: Darurat Militer Cuma Bikin Negara Menjadi Neraka, Rakyat Makin Menderita atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Terakhir diperbarui pada 5 September 2025 oleh

Tags: Demonstrasimiliterormaspam swakarsaPelanggaran HAMreformasiTentara
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

Alasan Soeharto tak layak dapat gelar pahlawan, referensi dari buku Mereka Hilang Tak Kembali. MOJOK.CO
Aktual

Buku “Mereka Hilang Tak Kembali”, Menyegarkan Ingatan bahwa Soeharto Tak Pantas Dapat Gelar Pahlawan, tapi Harus Diadili Mantan Menantunya

1 November 2025
intoleransi, ormas.MOJOK.CO
Ragam

Pemda dan Ormas Agama, “Dalang” di Balik Maraknya Intoleransi di Indonesia

19 September 2025
darurat milter.MOJOK.CO
Ragam

Saat Darurat Militer Diumumkan, Saat Itu Juga Negara Hukum Telah Runtuh. Kebebasan Sipil dan Akademik Telah Mati

4 September 2025
UI kampus perjuangan tapi BEM-nya kini terbelah. MOJOK.CO
Catatan

UI sebagai Kampus Perjuangan Kini Terbelah dan Hilang Taringnya, Tak Saling Mendukung dan Searah

4 September 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.