Tidak sedikit mahasiswa Jogja dari luar daerah dibelikan rumah saat menempuh studi di Jogja. Kami menggali cerita mahasiswa UMY dan UII yang punya pengalaman serupa. Hal yang dianggap salah satu penyebab mahalnya tanah Jogja.
***
Selama kuliah di UMY rentang waktu 2017 hingga 2022 silam, Qodir* (24) tak perlu risau mengatur barang di ruang kamar kos yang sempit. Ia adalah satu dari segelintir mahasiswa perantau di Jogja yang dibelikan rumah oleh orang tuanya.
Pengalaman seperti Qodir sebenarnya bukan barang asing di antara mahasiswa kampus swasta besar seperti UMY, Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), hingga UII. Hampir selalu ada mahasiswa di setiap jurusan kampus tadi yang orang tuanya memilih langsung membelikan rumah alih-alih membiayai anaknya ngekos.
Tidak tanggung-tanggung, rumah yang Qodir tempati selama kuliah terbilang megah. Ia lupa tipe rumahnya. Namun, bangunannya terdiri dari dua lantai dengan tiga kamar, dua kamar mandi, serta dapur dan ruang tengah yang lapang. Ada pula ruang untuk memarkirkan mobil yang ia pakai sehari-hari.
“Dulu belinya sekitar Rp1,5 miliar. Lokasinya ya strategis, di dekat Jalan Gamping,” ujarnya.
Sebelum itu, Qodir sebenarnya pernah sempat tinggal di kos seharga Rp800 ribu per bulan. Untuk biaya listriknya sekitar Rp100 ribu per bulan, lumayan besar lantaran kamarnya menggunakan pendingin ruang.
Tinggal di rumah yang cukup besar sendirian, tentu membawa banyak kenyamanan. Menurut Qodir, kenyamanan paling utama tentu karena tempat tinggalnya lapang. Beda dengan saat ia di kamar kos berukuran 4×3.
“Ya ngga usah mikir bayar bulanan lagi juga. Sudah beres lah pokoknya,” cetusnya saat kami berbincang pada Rabu (11/10/2023). Kebetulan, beberapa bulan belakangan Qodir sedang pulang ke kampung halamannya, sebuah kabupaten di pesisir utara Jawa Tengah.
Suka dan duka mahasiswa UMY dibelikan rumah di Jogja
Selain urusan kelapangan tempat, menurutnya punya rumah sendiri juga membuat ia bisa berbagi manfaat bersama teman-teman kuliah. Jika ada keperluan untuk rapat organisasi, ia dengan ringan menawarkan rumahnya sebagai lokasi berkumpul.
Jika ada teman dari luar kota pun, bisa ia ajak menginap di rumahnya tanpa segan karena tidak ada orang tua. Seperti kebanyakan mahasiswa, ia mendambakan kebebasan. Meski berada di kompleks perumahan gedongan, menurut Qodir, aturannya tetap bebas.
“Untung nih di blok tempatku bebas. Blok sebelah yang masih di perumahan sama itu ketat. Soalnya penghuninya kebanyakan keluarga,” paparnya.
Kuncinya hanya satu yakni tidak menimbulkan keributan. Selain itu, nyaris tidak ada aturan yang merepotkan termasuk urusan normal kesopanan dan asusila.
Soal keributan itu, alumnus UMY ini mengaku pernah kena tegur sekali. Saat itu mobilnya berknalpot blong yang menyebabkan suaranya bising. Suatu ketika, ada beberapa temannya yang mampir ke rumah menggunakan mobil serupa. Alhasil, ia kena tegur satpam kompleks dan warga.
Selain itu, semuanya nyaris membuat Qodir merasa lebih nyaman ketimbang tinggal di kos. Paling-paling, ia harus melakukan perawatan rumah ketika ada engsel pintu yang rusak maupun saluran air yang mampat.
“Kalau itu mah memang tanggung jawab. Bapakku cuma berpesan suruh ngerawat rumah ini. Nggak ada konsekuensi lain seperti uang saku dikurangi karena nggak tinggal di kos lagi,” paparnya.
Investasi menggiurkan alasan mahasiswa UMY hingga UII dibelikan rumah
Orang tua Qodir sebenarnya sudah berencana membeli rumah di Jogja sejak awal anaknya hendak masuk UMY. Namun, selama satu semester pertama masih mencari-cari hunian yang tepat dan strategis.
Pada masa Qodir hendak masuk kuliah, kebetulan kakaknya juga sedang menyelesaikan skripsi di sebuah kampus swasta lain di Jogja. Adiknya juga berencana melanjutkan pendidikan ke sebuah pondok pesantren di Jogja. Sehingga, orang tuanya bakal lebih sering menyambangi kota ini.
“Daripada setiap ke Jogja nginep di hotel kan mending cari rumah sekalian. Bisa bermanfaat. Sekarang saja pas aku lagi nggak di Jogja, saudara bisa menempati rumah itu,” ungkapnya.
Selain itu, saat mendapati harga yang cukup mahal yakni Rp1,5 miliar, orang tua Qodir justru melihat peluang. Pasalnya, saat perumahan itu baru selesai dibangun, harga unit rumah mereka masih di angka sekitar Rp750 juta.
“Jadi rumahnya itu beli dari tangan kedua. Ya sudah sekitar 3-4 tahun sejak awal perumahannya jadi. Harganya meningkat dua kali lipat artinya potensi juga buat investasi,” terangnya.
Apalagi, orang tua Qodir juga merupakan pengusaha yang mengerti hitung-hitungan bisnis. Terlebih, kompleks perumahan itu berada di Jalan Gamping yang jadi rute utama menuju Bandara YIA dari pusat Kota Yogyakarta. Potensi kenaikan harga tanah di kawasan itu terbilang tinggi.
Rumah masa depan untuk pensiun orang tua
Selain alasan investasi, ada orang tua yang membelikan rumah karena ingin punya tempat menikmati masa pensiun di Jogja. Cerita itu disampaikan Bima* (24), alumnus Fakultas Kedokteran UII yang saat ini sedang menjalani masa co-ass.
Pada semester kedua perkuliahan, orang tuanya membelikan rumah kecil di Candibinangun, Pakem, Sleman seharga Rp400 juta. Letaknya sekitar dua kilometer dari UII. Rumah dua kamar tidur dan satu kamar mandi di cluster perumahan kecil.
“Orang tua itu sebenarnya jarang ke Jogja tapi ngelihat daerah Pakem itu sejuk dan asri. Akhirnya pengin beli rumah,” tuturnya.
Seperti Qodir, Bima mengaku rumah ini sekaligus jadi tempat teman-temannya berkumpul saat mengerjakan tugas bersama. Maklum, ia dulu merupakan mahasiswa kedokteran dengan sederet tugas yang menyita pikiran. Bima juga tidak punya saudara yang tinggal di Jogja sehingga rumah itu ia rawat seorang diri.
Saat ini saat Bima sedang co-ass di luar daerah, rumah itu ditinggali oleh temannya. Hitung-hitung ada yang merawatkan rumah.
Sejauh pengetahuannya, orang tuanya tak pernah menyinggung urusan investasi rumah di Jogja. Rumah ini, selain untuk tinggal Bima semasa studi, hanya jadi proyeksi tempat singgah orang tua saat pensiun kelak.
Orang tua mahasiswa beli rumah di Jogja salah satu alasan harga tanah melonjak
Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) DIY, Ilham Muhammad Nur berpendapat, banyaknya orang tua yang membelikan rumah bagi anak yang studi di Jogja menjadi salah satu pendorong kenaikan harga tanah. Sebab, sebagian pembeli tidak berencana untuk menjadikan rumah itu sebagai hunian jangka panjang.
Tanah di sekitar UMY dan UII menurutnya juga jadi daya tarik bagi pengembang. Namun, saat ini potensinya lebih besar di wilayah UMY.
“Jogja bagian barat sekarang jadi tempat investasi properti yang menggiurkan. Tentu karena ada Bandara YIA dan juga pengembangan jalan tol juga,” paparnya.
“Selain itu harga tanah di sana masih dalam jangkauan pengembang. Di Sleman atas itu sudah terlalu mahal,” imbuhnya.
Ia juga memaparkan bahwa harga rumah bisa naik dua kali lipat dalam kurun waktu 4-5 tahun saja. Hal ini sesuai dengan cerita Qodir yang membeli rumah dari tangan kedua seharga Rp1,5 miliar. Padahal, empat tahun sebelumnya developer menjual seharga Rp750 juta.
Jika dananya tersedia, Ilham beranggapan banyak orang tua memilih membelikan rumah bagi anaknya. Selepas anak lulus dan cabut dari Jogja, orang tua bisa menjual rumah itu harga yang lebih tinggi.
Meski menggiurkan, di sisi lain hal pembelian tanah oleh pendatang dengan niat untuk investasi menjadikan harga tanah semakin mahal. Mereka yang ingin punya hunian dengan dana cekak pun semakin terhimpit dan tak punya banyak pilihan.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono