Di balik pesatnya perkembangan warung nasi padang di berbagai daerah, ada beberapa hal yang bisa jadi penanda warung tersebut dimiliki orang Minang. Penanda ini bisa dilihat dari berbagai aspek.
***
Sebagai informasi, warung nasi padang juga berkembang dengan berbagai ragam menyesuaikan segmennya. Ada warung yang memang menyasar kalangan atas atau premium tapi banyak juga warung padang murah yang berkembang.
Satu hal yang jelas, saat ini warung nasi padang berkembang dengan begitu pesat. Gambaran itu saya dapat dari Yati (49), seorang pedagang yang sejak 2016 membuka warung di Kalasan Sleman.
Ia sudah merintis usaha nasi padang di Jogja sejak lebih dari satu dekade. Namun, cabang di Kalasan baru dibuka pada 2016.
“Saat 2016 itu di radius enam tiga kilometer kami hitung paling 4-5 warung padang. Tapi setelah pandemi kami survei lagi sudah ada 28,” ungkapnya saat saya wawancarai Rabu (26/6/2024).
Memang, seiring berkembangnya zaman warung nasi padang tidak hanya jadi bisnis yang diminati oleh para perantau dari Sumatera Barat. Mengingat potensi bisnisnya sudah banyak juga pengusaha dari berbagai daerah yang membuka usaha serupa. Dan hal itu, menurutnya tidak menjadi masalah.
“Ya biasanya itu dulunya pegawai terus sudah belajar banyak akhirnya bikin usaha sendiri,” katanya.
Namun, ada beberapa penanda warung nasi padang yang dikelola orang Minang asli dengan yang bukan. Mulai dari aspek menu hingga operasional warungnya.
#1 Pegawai warung nasi padang dibawa langsung dari Sumatera Barat
Yati bercerita, bertahun-tahun ia mengandalkan pekerja yang dibawa langsung dari kampung halaman di Sumatera Barat. Pekerja dari tanah Minangkabau lebih memahami lika-liku dunia usaha ini.
Sehingga, jika datang ke warung nasi padang langsung kentara percakapan antar pegawai dengan dialek Minang. Itu jadi salah satu penanda mudah bahwa pemiliknya merupakan orang Sumatera Barat asli.
Sayangnya, beberapa tahun belakangan ia mengaku mengalami kendala untuk mendatangkan pegawai dari kampung halamannya. Beberapa di antara pegawai itu juga tidak betah di Jogja.
“Akhirnya kalau lagi terkendala begitu cari pegawai yang dekat. Banyak yang dari Wonosari dan Kebumen,” ungkapnya.
#2 Menu tidak selalu jadi penanda warung nasi padang milik orang Minang
Selanjutnya, urusan menu tidak selalu jadi penanda warung milik orang Minang asli. Akan tetapi, untuk menyesuaikan dengan lingkungan dan segmen pasar yang disasar menu itu tidak selalu ada.
Yati mengaku kalau beberapa menu, seperti gulai tambusu, tidak bisa diolah oleh sembarang orang. Jenis ini ahlinya adalah orang dari Kabupaten Agam. Ia yang asalanya bukan dari sana mengaku tidak pandai mengolahnya.
Narasumber lain, lelaki kelahiran Padang Panjang, Bayu Ramadani (33), menceritakan pengalamannya mengeksplorasi warung nasi padang di Jogja. Saat di Jogja, ia memindai setidaknya ada tiga jenis warung padang. Pertama warung padang yang pengelolanya memang orang Minang dan menyajikan kuliner dengan bumbu sesuai selera kampung halaman.
Kedua warung padang milik orang Minang namun menyesuaikan dengan cita rasa daerah setempat. Biasanya menyediakan lauk-lauk yang digemari warga sekitar. Lalu cita rasanya juga menyesuaikan, jika di Jogja, penjual akan menguatkan rasa manisnya.
Ketiga yakni warung padang yang pengelolanya benar-benar orang Jawa. Biasanya, pengelolanya adalah mantan pegawai di warung milik orang Minang yang akhirnya mencoba mandiri. Beberapa di antara warung jenis ini menyediakan masakan layaknya warung asli Minang. Namun sebagian memodifikasinya jadi padang murah untuk menyesuaikan segmen menengah ke bawah.
Baca halaman selanjutnya…
Deretan menu yang sulit dibuat selain orang Minang hingga tata letak yang unik