Untuk kedua kalinya saya mampir ke Richeese Factory Jombang. Setelah tiga bulan, kini suasana franchise makanan cepat saji itu tampak sepi.
Sejak buka pada Oktober 2024 lalu, sebenarnya tidak sedikit netizen Jombang yang pesimis: memprediksi bahwa hype Richesse Jombang hanya akan terjadi sesaat.
Mengingat, taraf ekonomi masyarakat Jombang umumnya masih rendah. Sehingga, jelas saja tidak bisa terus-menerus mengonsumsi ayam Richeese yang harganya terlampau mahal untuk ukuran keuangan umumnya masyarakat Jombang.
Saya pertama kali mampir ke sana pada November 2024 lalu. Selepas Magrib. Suasananya penuh sesak. Antreannya panjang mengular.

Waktu itu, saya wawancara dengen beberapa pengunjung. Kesimpulan dari wawancara itu: selama ini Richeese memang menjadi sesuatu yang mewah bagi warga Jombang. Identik dengan makanan orang kota.
Hanya orang-orang Jombang yang pernah merantau ke Surabaya saja yang bisa mencicipinya. Maka, ketika buka di Jombang, mereka ingin mengobati rasa penasaran.
Richeese tak cocok masuk Jombang
Saya ke Richeese Jombang lagi pada Senin (3/2/2025). Menjelang Magrib.
Bedanya dengan tiga bulan sebelumnya, petang itu parkiran motor tidak membludak. Saya bahkan tak perlu antre untuk memesan makanan. Lalu hanya satu-dua orang saja yang tampak duduk di ruang dalam. Sisanya adalah kursi-kursi kosong.
“Richeese nggak cocok masuk Jombang. Terlalu mahal untuk masyarakat yang pemasukannya harus dihemat demi bertahan hidup.” Dengan begitu, setelah hype awal-awal buka rampung, maka masyarakat pun akan kembali ke kehidupan mereka yang sebenarnya lagi: cukup makan di warung-warung murah.
Itu adalah penggalan komentar di media sosial tiga bulan lalu yang masih saya ingat. Dan kini terbukti benar: Richees Jombang sepi pengunjung.
Baca halaman selanjutnya…
Belum saatnya Jombang kemasukan Richeese
Richeese Jombang: indikator kemajuan
Desember 2024 lalu, saya sempat berbincang dengan pakar ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendu Mantilet.
Belakangan, memang ada kecenderungan di tengah masyarakat—terutama Gen Z—yang menjadikan keberadaan ritel atau franchise modern sebagai indikator kemajuan suatu daerah.
Mudahnya begini, jika suatu daerah ada bioskop atau brand-brand besar yang selama ini identik dengan “brand kota” (seperti Richeese), maka daerah tersebut layak disebut maju.
Sebaliknya, jika tidak ada, maka daerah tersebut disebut tertinggal dan jauh dari peradaban.
Indikator itu tak pelak membuat anak-anak muda di suatu daerah kecil berharap agar di daerahnya kemasukan brand-berand besar nan terkenal. Karena tidak ingin daerahnya dianggap tertinggal.
“Padahal kita juga harus lihat, modernisasi itu tidak selalu mencerminkan pembangunan yang subtantif dan sustain,” ujar Yusuf.
Uang jajan harian yang nggak cukup
Menurut Yusuf, kemajuan daerah itu tidak bisa dilihat sebatas ada/tidaknya brand besar yang masuk ke sana. Lebih subtansial dari itu, yakni harus dilihat dari pondasi dasarnya: terjaminnya kesejahteraan masyarakat.
Yusuf menjelaskan situasi yang relevan dengan kondisi di Richeese Jombang.
Sangat wajar jika suatu brand besar di suatu daerah—apalagi daerah kecil seperti Jombang—hanya akan ramai di awal masa bukanya saja. Selebihnya berangsur sepi.
“Ya karena pendapatan orang tua mereka atau pendapatan mereka sendiri tidak meningkat,” jelas Yusuf. Dengan kata lain, dalam konteks Richeese Jombang, kondisi keuangan masyarakat tidak memungkinkan mereka sering-sering makan di sana.
Maka, lanjut Yusuf, hal paling dasar dari kemajuan suatu daerah adalah bagaimana membuat masyarakatnya sejahtera lebih dulu. Salah satunya, dalam konteks jangka pendek, yakni dengan meningkatkan upah daerah bagi masyarakat.
Sebab, dengan upah layak, maka masyarakat punya peluang lebih besar dalam mengakses ruang-ruang yang selama ini identik dengan kultur orang kota/orang kaya.
Untuk konteks jangka panjang, lanjut Yusuf, berkaitan dengan bagaimana pemerintah daerah menciptakan lapangan kerja yang sifatnya bisa meningkatkan kesejahteraan jangka menengah dan panjang. Di saat bersamaan juga bisa menyerap angkatan kerja yang besar.
“Kalau kesejahteraan masyarakat setempat secara umum sudah meningkat, nanti akan ada efek bola salju. Investor akan masuk kembali. Dan itu lebih sustain,” tegas Yusuf.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Hanya karena Nggak Ada Mie Gacoan Bukan Berarti Daerah Saya Tertinggal, Ukuran Maju Tak Sereceh Itu atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan