Harga kuliner tradisional di Surabaya sudah banyak yang mahal, tapi saya beruntung bisa menemukan warung legendaris yang menjual lontong balap di Petemon, Surabaya. Pembelinya ramai, harganya murah, pedagangnya pun ramah.
***
Bapak saya adalah pecinta makanan khas Surabaya: lontong balap. Jadi wajar, saat saya pulang dari perantauan ia minta untuk ditemani membeli lontong balap di warung langganannya. Masalahnya, saya ini tidak terlalu suka taoge, tapi di warung tersebut preferensi kuliner saya jadi berubah.
Sebetulnya, bisa saja saya memesan makan lontong balap tidak pakai taoge, tapi kok terasa aneh kalau tidak ada kecambah. Wong, pada dasarnya makanan khas Surabaya itu memang terdiri dari lontong, taoge, tahu goreng, lentho, dan bumbu berkuah.
Dibanding bahan lainnya, taoge punya porsi lebih banyak. Kalau lentho sendiri berasal dari kacang tolo yang dibentuk jadi gorengan. Nah, sebetulnya yang khas dari lontong balap adalah rasa kuahnya. Apalagi, ditambah lauk pelengkap seperti tusuk sate kerang. Maknyus!
Lontong balap favorit warga Surabaya
Minggu (12/1/2025) lalu, saya pulang ke Surabaya setelah beberapa bulan tinggal di Jogja. Bapak kemudian mengajak saya pergi ke warung lontong balap favoritnya, yakni Lontong Balap Sawo-sawo “Abah Ji”. Letaknya di daerah Petemon, Surabaya tepatnya di Jalan Simo Katerungan Nomor 246.
Itu bukan kali pertama saya pergi ke sana, sebab seperti yang saya bilang tadi: saya nggak suka taoge. Namun, saat lebaran 2022 lalu saya dan bapak kelaparan. Pasca salat, kami akhirnya memutuskan pergi mencari sarapan dan keliling Surabaya dengan sepeda motor.
Saat menyetir, bapak tiba-tiba nyeletuk ingin makan lontong balap. Saya ragu, ingin menolak, tapi kok tidak tega kalau tidak menuruti keinginannya. Akhirnya, saya ikut meski di sepanjang jalan saya masih tolah-toleh mencari menu lain yang saya inginkan.
Namun, saya ragu karena di sepanjang perjalanan tidak ada toko-toko yang buka. Begitupun dengan orang yang jual makanan. Tak kelihatan batang hidungnya.
Namun, bapak tampak santai-santai saja meneruskan perjalanan. Ia sepertinya yakin kalau warung favoritnya buka. Dan benar saja, warung lontong balap yang berada di kawasan Petemon, Surabaya itu buka, bahkan pelanggannya sudah ramai saat kami tiba.
Usai memarkirkan motor, seorang laki-laki yang tampak lebih tua dari bapak saya datang menghampiri kami. Dia melempar senyum, seolah sudah akrab dengan bapak.
“Sama putrinya, Pak?” tanya laki-laki itu dengan nada bertanya.
“Inggih, dua ya, Pak. Seperti biasa,” kata bapak saya sambil menepuk-nepuk pelan lengan laki-laki tua itu, lalu melangkah ke dalam mencari tempat duduk.
Saya manut-manut saja mengikuti bapak dari belakang hingga akhirnya ia bercerita kalau biasanya sering ke sana dengan ibu. Entah kenapa, saya malah makin merasa bersalah karena biasanya tidak mau diajak keluar. Lebih memprioritaskan agenda saya dengan teman-teman.
Pikiran itu membuat saya tak sadar kalau bapak sudah memesan dua porsi. Saya pun tak enak kalau membatalkan pesanan mengingat keakraban dua sejoli tadi. Saya jadi kagok. Serba salah.
Nggak doyan touge tapi jadi suka
Sepuluh menit kemudian, dua porsi lontong balap sudah tersaji di depan meja kami. Melihat banyaknya taoge yang memenuhi piring, saya jadi menyesal: kenapa tadi tidak meminta taogenya dipisah?
Tapi kalau dipikir-pikir, itu justru tidak sopan bahkan aneh. Ganjil saja jika lontong balap tanpa taoge. Saya seperti orang tak bersyukur atau menghargai makanan. Ah, masalah manner jadi alasan. Padahal, saya saja yang sungkan.
“Makan saja, kalau tidak habis bapak habiskan,” ucap bapak di warung Petemon, Surabaya yang seperti mendengar kata hati saya.
Maka, mulailah saya makan secara perlahan. Mulanya, saya masih merasa aneh tapi saat dicampur dengan bahan-bahan lain rasanya jadi nikmat. Lama-lama saya lahap, rasanya jadi pas di lidah.
Kurang dari 20 menit kemudian, tak terasa lontong balap di piring saya hampir habis. Hanya menyisakan beberapa taoge. Bapak tersenyum melihat saya makan, saya hanya mengacungkan jempol.
Turun temurun dari 5 generasi
Usai makan, bapak membayar seharga Rp10 ribu seporsi kepada laki-laki tua yang menyapa kami tadi. Sesuai nama warungnya, laki-laki itu bernama Abah Ji. Saya agak terkejut dalam hati, karena harga lontong balap di Petemon, Surabaya itu murah sekali.
Setahu saya, sudah jarang pedagang yang mematok harga murah untuk satu porsi makanan khas daerah. Mojok pernah menulis liputan soal Surabaya: Berawal dari ‘Rezeki yang Tertukar’.
Saya pun makin penasaran dengan warung Lontong Balap Sawo-sawo “Abah Ji” tersebut. Oleh karena itu, kunjungan saya pada Minggu (12/1/2025) kemarin punya misi khusus. Saya ingin tahu lebih soal sejarah warung Petemon, Surabaya tersebut.
“Warung ini sudah buka sejak lama, bisnis turun temurun dari buyut saya. Bisa dibilang sudah 5 generasi,” ucap Erma, salah satu anak Karmuji – pemilik warung yang sehari-hari ikut membantu bapaknya berjualan.
Erma (36) sudah sejak SMP membantu bisnis bapaknya. Ia berujur bisnis lontong balap ini bermula dari buyut-buyutnya yang suka memasak. Mereka suka meracik makanan khas daerah, salah satunya lontong balap dari Surabaya. Ndilalah, rasanya enak sampai akhirnya dijual.
“Insyaallah kami punya resep keluarga dari turun temurun keluarga terdahulu,” ucapnya. Bisnis itu kemudian berkembang hingga hari ini.
Siap mengenyangkan warga Surabaya
Erma mengungkapkan bahwa keluarganya adalah pendatang asal Gresik. Waktu dia kecil, bapaknya punya 15 pegawai keliling. Kebanyakan dari mereka adalah saudara-saudara terdekat. Bahkan suami dari adiknya juga berjualan di sekitar Pandugo.
“Ada juga pegawai abah yang merantau ke Kalimantan dan sukses di sana,” ucapnya.
Sedangkan Erma dan suaminya membuka bisnis katering. Sebagai guru, mereka juga harus mengajar. Namun, belakangan ini kondisi orang tua Erma mulai menurun. Jadi dia sering ikut membantu berjualan lontong balap.
Pegawai keliling abahnya pun ikut berkurang. Karmuji kini hanya memiliki 5 orang pegawai yang keliling bersama rombongnya di sekitar Petemon. Meski begitu, Erma menegaskan bisnis Lontong Balap Sawo-sawo “Abah Ji” akan terus berjalan
“Yang masak adiknya abah. Adik saya juga punya pegawai rombong keliling,” ujarnya.
Sama seperti biasanya, mereka tetap akan buka di hari libur. Sebab, menurut Erma, jumlah pembeli di hari itu makin ramai.
“Kami sampai bawa sayur cambah 30 kilogram, makanya hari libur dan hari besar bawanya double,” lanjutnya.
Keluarganya pun tak berniat menaikkan harga. Tetap Rp 10 ribu dengan porsi seperti biasa.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Angkringan Cak Mis Surabaya: Jual Krisdayanti, Kulit Landak, hingga Ati Celeng atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.