Julukan Boyolali sebagai Kota Susu tinggal 10 tahun lagi. Setelah itu hanya patung-patung sapi yang akan jadi saksi bisu di kota tersebut. Julukan sebagai Kota Susu terancam hilang karena trauma peternak dengan wabah penyakit kuku dan mulut (PMK) dan tidak adanya regenerasi peternak sapi perah.
***
Eka Desi Fitriasari (21) menatap lahan kosong di belakang kandang sapi milik orang tuanya di Dusun Kebonrejo, Desa Tambak. Lahan sekitar 200 meter persegi itu belum lama orang tuanya beli. Tujuannya tentu saja untuk memperluas kandang sapi yang mereka miliki.
Mahasiswi yang akrab dipanggil Triyas ini adalah sedikit dari anak muda di kampungnya yang punya keinginan untuk meneruskan usaha peternakan milik orang tuanya. Dari usaha sapi perah orang tuanya itu lah ia kini bisa kuliah di Sekolah Vokasi Jurusan Agribisnis Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). “Saya ingin meneruskan usaha orang tua saya, tentu dengan cara yang lebih modern,” kata Triyas saat berbincang dengan Mojok, Selasa (14/11/2023).
Anak muda Boyolali tak tertarik ternak sapi perah
Bagi Triyas, merawat sapi perah sudah ia lakukan sejak kecil. Mulai dari membersihkan kandang, memandikan sapi hingga memerah sapi rutin ia lakukan. Baru ketika ia kuliah aktivitas rutin itu tidak ia lakukan karena harus keluar kota.
Soal memerah sapi, tidak semua teman-teman sebayanya yang bisa. Ia juga sedikit dari anak muda di kampungnya yang mau meneruskan ternak sapi perah milik orang tua. Bagi anak-anak muda seusianya, bekerja di pabrik adalah pilihan menarik.
“Mereka mungkin berpandangan kalau ternak sapi kan jorok, kotor, jadi pilih ke pabrik,” kata Triyas.
Ia menambahkan, perempuan seumurannya atau satu angkatan di kampungnya, hanya dia yang melanjutkan kuliah. Sebagian besar bekerja di pabrik atau ada juga yang menikah. “Kalau saya inginnya meneruskan usaha orang tua, tapi lebih modern, misal dari sisi pakan, bisa buat pakan fermentasi, sehingga nggak kesulitan pakan seperti sekarang ini di musim kemarau,” kata Triyas.
Ia tahu, tantangan jadi peternak sapi perah itu sangat berat, namun di sisi lain ia optimis bisa meneruskan usaha kecil peternakan sapi milik orang tuanya.
Sriyadi (46) orang tua Triyas, membenarkan bahwa ternak sapi perah itu tidak mudah. Ia sudah lebih dari 25 tahun menjadikan susu dari sapi perah sebagai sumber pendapatan keluarga. Sebelumnya ia sempat merantau, sampai kemudian memutuskan pulang ke kampung halaman untuk meneruskan usaha orang tuanya.
“Kemarin sempat punya 12 sapi perah, tapi dua sapi perah dewasa mati kena PMK dan LSD, kemudian yang anak-anak ada tiga yang mati,” kata Sriyadi.
Kini ada 10 sapi di rumahnya, terdiri sapi perah dewasa ada 4 dan 6 sapi perah yang masih anak-anak. Menurut Sriyadi, wabah PMK beberapa tahun lalu cukup membuat trauma para peternak sapi dan banyak yang enggan untuk meneruskannya. Namun, baginya, beternak sapi adalah satu-satunya pilihan. Apalagi, dari sapi perah itu ia bisa menghidupi keluarganya, menyekolahkan anaknya hingga kuliah.
Baca halaman selanjutnya…
Ancaman untuk Boyolali sebagai Kota Susu